Soal Pendanaan Mitigasi Perubahan Iklim, G-7 Dinilai Hanya Obral Janji
Para pemimpin G-7 memang mengonfirmasi tekad mereka atas pencapain netral karbon pada 2050. Namun, janji soal penyediaan dana yang sudah satu dekade dicanangkan belum juga terealisasi.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Negara-negara maju sepatutnya menjadi kunci dalam berbagai upaya mitigasi global terhadap efek perubahan iklim dan upaya mewujudkan target nol emisi karbon. Alih-alih proaktif dan berperan aktif atas upaya-upaya pencapaian target itu, negara-negara maju dinilai cenderung pragmatis demi kepentingan mereka sendiri di tengah kondisi pandemi Covid-19.
Hal tersebut mengemuka dalam Forum Iklim Tingkat Tinggi Tri Hita Karana di Jakarta yang digelar secara daring, Rabu (23/6/2021) malam. Dalam forum itu, muncul juga penilaian bahwa negara-negara anggota Kelompok Tujuh atau G-7 hanya mengumbar janji palsu, sebagaimana terlihat dalam janji pembiayaan mereka.
Hadir pada forum itu sejumlah pembicara dari beberapa kementerian RI dan pembicara dari beberapa lembaga di luar negeri. Dua pembicara utama forum itu, yakni Menteri Koordinator Maritim dan Investasi RI Luhut Pandjaitan dan Utusan Khusus Presiden Amerika Serikat untuk Urusan Iklim John Kerry. Bertindak sebagai moderator adalah Direktur Pelaksana Kebijakan Pembangunan dan Kemitraan Bank Dunia Mari Elka Pangestu.
Forum Tri Hita Karana merupakan forum inisiasi Indonesia dalam Pertemuan Tahunan Dana Moneter Internasional (IMF)-Bank Dunia pada tahun 2018. Forum ini menyoroti peran bisnis, keuangan, dan inovasi dalam mencapai tujuan pembanguan berkelanjutan (SDGs). Forum itu dikoordinasikan bersama-sama oleh Pemerintah RI melalui sejumlah kementerian dan lembaga-lembaga swasta, baik di tingkat internasional maupun nasional.
Presiden Jaringan Solusi Pembangunan Berkelanjutan PBB Jeffrey D Sachst mengatakan bahwa, pada pertemuan puncak dua pekan lalu di London, para pemimpin G-7 mengonfirmasi tekad mereka untuk mencapai netral karbon pada tahun 2050 dan meminta negara-negara berkembang untuk melakukannya juga. Namun, alih-alih menyusun rencana pembiayaan untuk memungkinkan negara-negara berkembang mencapai target itu, lanjut Sachst, mereka mengulangi janji keuangan yang pertama kali dibuat pada 2009. Padahal, janji lama itu belum juga dipenuhi hingga kini.
”Pandemi Covid-19 membuat negara-negara kaya itu memilih untuk mengencangkan ikat pinggang mereka demi kepentingannya sendiri-sendiri,” ujar Sachst.
Pandemi Covid-19 membuat negara-negara kaya itu memilih untuk mengencangkan ikat pinggang mereka demi kepentingannya sendiri-sendiri.
Ia mengatakan bahwa kelompok negara-negara terkaya di dunia itu melewatkan tenggat mereka sendiri, yakni tahun 2020. Tujuh negara itu berjanji menyediakan dana senilai 100 miliar dollar AS per tahun untuk kegiatan mitigasi dampak-dampak perubahan iklim global.
Dana tersebut ditargetkan terkumpul dari publik ataupun swasta. Dana senilai itu hanyalah 0,2 persen dari produk domestik bruto tahunan negara-negara kaya tersebut. Menurut Sachst, dana yang dijanjikan itu hanyalah sebagian kecil dari apa yang dibutuhkan negara-negara berkembang untuk proses dekarbonisasi dan adaptasi atas perubahan iklim yang terus terjadi.
John Kerry mengakui, Pemerintah AS cenderung lambat dan bahkan mundur dalam upaya mitigasi dampak perubahan iklim. Hal ini sebagai akibat langsung mundurnya Washington dari Kesepakatan Paris yang diambil oleh Presiden Donald Trump. Kesepakatan itu bertujuan membatasi kenaikan suhu global hingga 2 derajat celsius.
AS di bawah pemerintahan Presiden Joe Biden telah kembali bergabung dalam kesepakatan tersebut. ”Kesepakatan soal iklim adalah semata demi anak cucu kita kelak. Kesepakatan Paris ditandatangani sebagai sebuah sarana menggapai kondisi yang baik itu bagi mereka,” kata Kerry.
Soal kemauan
Menurut Kerry, pembangunan menggunakan energi bersih tidak seharusnya dipertentangkan dengan pertumbuhan ekonomi. Ia menilai sebagai sebuah kebohongan jika pembangunan dengan energi bersih akan menekan perekonomian global di masa depan. Sebagaimana sudah dilakukan sejumlah pihak dan negara, buktinya keamanan dan tingkat pertumbuhan ekonomi di negara pelaksana ataupun secara global tetap terjaga.
”Kita berbicara bukan soal kekurangan kapasitas, melainkan kurangnya kemauan yang sejatinya ditunggu dunia dan warga global,” kata Kerry. ”Revolusi ekonomi global itu tidak boleh menakuti warga dunia, tetapi justru menggugah hasrat dan semangat warga dunia.”
Sachst dan Kerry berharap keketuaan kelompok negara 20 (G-20) yang akan dipegang Indonesia pada tahun depan akan menghasilkan aksi-aksi nyata terkait mitigasi fenomena perubahan iklim secara global. Menurut Kerry, keketuaan itu menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk naik kelas. Aneka kesempatan terbuka untuk menjadi bidang kerja sama, seperti terkait pendanaan serta peningkatan kapabilitas dan transfer teknologi, demi tujuan bersama.
Adapun Sachst juga berharap Konferensi Tingkat Tinggi G-20 yang kemungkinan besar digelar di Bali tahun depan akan menghasilkan sesuatu yang besar bagi mitigasi perubahan iklim secara global. ”Kita membutuhkan sumber dan skema pendanaan demi pembangunan berkelanjutan. Transformasi energi pun diperlukan untuk pembangunan ekonomi nol karbon,” katanya.