Raisi Dukung Kelanjutan Negosiasi Nuklir, Beri Sinyal Rekonsiliasi dengan Saudi
Presiden Iran terpilih Ebrahim Raisi mendukung perundingan kesepakatan nuklir Iran yang kini tengah berlangsung di Vienna. Dia juga berharap bisa memulihkan hubungan dengan tetangga Iran di kawasan, termasuk Arab Saudi.
TEHERAN, SELASA — Presiden Iran terpilih Ebrahim Raisi mendukung perundingan antara Iran dan negara-negara yang tergabung dalam kelompok P5+1 untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir Iran 2015. Dia juga mengatakan, prioritas lain pemerintahannya adalah meningkatkan hubungan dengan negara-negara tetangga Iran di Teluk Arab, termasuk Arab Saudi, yang selama ini dipandang sebagai pesaingnya di kawasan.
”Kami mendukung negosiasi yang menjamin kepentingan nasional kami. Amerika harus segera kembali ke kesepakatan dan memenuhi kewajibannya berdasarkan kesepakatan itu,” kata Raisi dalam konferensi pers perdananya setelah memenangi pemilihan presiden di Teheran, Senin (21/6/2021).
Raisi mengatakan, kebijakan-kebijakan luar negeri Iran tidak akan dibatasi dan terikat dengan perundingan yang kini terus berlangsung. Mantan Kepala Badan Pengadilan Iran ini menegaskan, semua sanksi sepihak yang telah dijatuhkan Pemerintah AS harus dicabut dan diverifikasi oleh Teheran.
Baca juga: Era Baru Konservatisme Iran dan Prospek Perundingan Nuklir
Perundingan tidak langsung antara Iran dan negara-negara penandatangan kesepakatan nuklir tahun 2015, yang dikenal dengan sebutan ”Kelompok P5+1”, yakni AS, China, Inggris, Perancis, Rusia, dan Jerman, telah berlangsung di Vienna, Austria, sejak April lalu dan telah menyelesaian putaran ke enam. AS mengikuti perundingan itu secara tidak langsung, yakni melalui perantara delegasi lima negara lainnya.
Perundingan tersebut dilakukan untuk mencari cara bagaimana agar kedua pihak, Iran dan AS, bisa kembali patuh pada Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) 2015. AS keluar dari kesepakatan nuklir Iran pada tahun 2018 saat negara itu dipimpin Presiden Donald Trump dan kembali menjatuhkan sanksi terhadap Iran. Teheran membalas dengan melakukan banyak pelanggaran yang mengarah pada pengembangan senjata nuklir.
Seperti dikutip dari kantor berita Iran IRNA, Raisi mengatakan, dukungan yang diberikan padanya oleh para pemilih telah membuktikan bahwa tekanan maksimum yang dijatuhkan oleh AS melalui berbagai sanksi pada rakyat Iran telah gagal. Kegagalan itu, menurut dia, harus menjadi pertimbangan bagi AS untuk meninjau ulang kebijakannya terhadap Iran.
Minta jaminan
Wakil Menteri Luar Negeri Iran Seyed Abbas Araqchi, yang dikutip laman Tehran Times, mengatakan bahwa seluruh delegasi yang terlibat dalam perundingan mengakui ada kemajuan dalam perjalanan perundingan. Namun, lanjut Araqchi, salah satu masalah yang serius dan harus mendapatkan penegasan adalah memastikan apa yang telah dilakukan oleh Washington pada 2018 saat mundur dari JCPOA, tidak terulang kembali.
”Kami memerlukan jaminan yang bisa memberikan keyakinan pada diri kami bahwa apa yang telah dilakukan oleh Pemerintah AS terhadap JCPOA sebelumnya tidak akan terjadi lagi. Ini adalah keinginan alami kami, dan tentu saja tidak mungkin kami kembali ke JCPOA tanpa jaminan seperti itu,” kata Araqchi.
Baca juga: Iran Makin Dekat ke Pembuatan Senjata Nuklir
Sejumlah sumber di kalangan negosiator perundingan, yang dikutip harian The New York Times, mengungkapkan bahwa tuntutan Iran itu menjadi salah satu dari dua penghambat utama dalam perundingan. Dalam kacamata administrasi pemerintah AS, kesepakatan nuklir Iran tersebut bukan termasuk traktat dan tidak pernah mendapat dukungan sedikitnya dua per tiga Senat AS.
Karena itu, kesepakatan nuklir Iran tersebut di AS dikategorikan sebagai ”kesepakatan eksekutif”, yang bisa dianulir presiden-presiden AS berikutnya, seperti yang dilakukan Trump.
Di pihak lain, AS juga ingin mendapatkan jaminan tertulis dari Iran bahwa Teheran bersedia kembali ke meja perundingan jika masa kesepakatan nuklir itu habis. Berdasarkan kesepakatan saat ini, pada tahun 2030 Iran akan bebas melakukan pengayaan nuklir.
Direktur Jenderal Badan Energi Atom Internasional (IAEA) Rafael Grossi mengatakan, dirinya terbuka dan siap bekerja sama dengan pemimpin Iran yang baru dan mendengar pandangannya. ”Diskusi yang telah berjalan berminggu-minggu, berhadapan dengan masalah yang rumit dan kompleks. Kini yang dibutuhkan adalah keinginan dan kebijakan politik para pihak yang terlibat di dalamnya,” kata Grossi.
Respons AS
Raisi memenangi pemilihan umum, Jumat (18/6) pekan lalu, setelah meraih 17,926 juta suara dari total sekitar 28,9 juta surat suara yang masuk. Dua kandidat lainnya, termasuk kandidat dari kubu reformis, yaitu Abdolnasser Hemmati, hanya mendapat dukungan sekitar 2,47 juta suara, menurut data, Kementerian Dalam Negeri Iran, dikutip dari IRNA.
Baca juga: Dua Bulan Berunding, Kepercayaan AS dan Iran Mulai Luntur
Washington meremehkan pengaruh Raisi yang telah dinyatakan sebagai pemenang pemilu Iran. Gedung Putih mengatakan, tidak ada rencana pertemuan antara pejabat Washington dan Raisi. Sejak revolusi Iran tahun 1979, AS tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Iran. Gedung Putih menambahkan, Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei adalah pembuat keputusan yang sebenarnya di Iran.
”Saat ini kami tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Iran atau rencana untuk bertemu di tingkat pemimpin. Pandangan kami adalah bahwa pengambil keputusan di sini adalah pemimpin tertinggi,” kata Jen Psaki, jubir Gedung Putih.
Baca juga: Ujian di Vienna Setelah Pilpres Iran
Departemen Luar Negeri AS mengatakan mereka menganggap proses pemilihan umum dan dukungan yang diperoleh Raisi sebagai hal yang dibuat-buat. Setidaknya ada beberapa indikator yang membuat Deplu AS memandang pemilu Iran sebagai proses yang dibuat-buat dan jauh dari demokratis, yaitu pencoretan kandidat dari kubu reformis dan tingkat apatisme politik warga Iran yang dibuktikan dengan rendahnya jumlah pemilih yang hanya mencapai 48,8 persen. Ini rekor partisipasi terendah untuk pemilihan presiden sejak Revolusi Iran 1979.
Raisi juga dipandang sebagai aktor pelanggar HAM oleh AS dan beberapa kelompok pegiat HAM karena terlibat langsung dalam pembunuhan di luar proses hukum terhadap ribuan tahanan politik di negara itu tahun 1988. Hal itu dibantah oleh Raisi.
”Jika seorang hakim, jaksa telah membela keamanan rakyat, dia harus dipuji. Saya bangga telah membela hak asasi manusia di setiap posisi yang saya pegang sejauh ini,” kata Raisi.
Baca juga: Mossad Gagal Bujuk Biden Hentikan Perundingan Nuklir Iran
Gedung Putih mengatakan akan menjaga hak asasi manusia di atas meja setelah negosiasi mengenai kesepakatan nuklir. Psaki menolak untuk memprediksi kapan atau apakah kesepakatan akan tercapai. Dia mengatakan, pemerintah AS menantikan perkembangan dan arah negosiasi yang tengah berlangsung.
Sementara negara-negara Teluk Arab telah menyatakan, akan berbahaya untuk memisahkan pakta nuklir dari program rudal Iran dan perilaku ”mengganggu stabilitas” di Timur Tengah. Di kawasan ini Teheran dan Riyadh telah bersaing memperebutkan pengaruh selama beberapa dekade, mulai dari Yaman, Suriah, hingga Irak.
Sementara, dalam pandangan Raisi, kegiatan regional dan program rudal balistik Iran tidak dapat dinegosiasikan. Dua isu tersebut tidak masuk dalam kesepakatan nuklir tahun 2015. ”Mereka (Amerika Serikat) tidak mematuhi kesepakatan sebelumnya. Bagaimana mereka ingin masuk ke diskusi baru?” kata Raisi.
Rekonsialiasi dengan Saudi
Terkait Arab Saudi, pesaing utama Iran di kawasan, Raisi mengatakan, memperbaiki hubungan dengan negara itu menjadi salah satu prioritas setelah lima tahun terakhir keduanya memutuskan hubungan diplomatik. ”Pembukaan kembali Kedutaan Besar Saudi tidak menjadi masalah bagi Iran,” kata Raisi.
Belum lama ini, Iran dan Arab Saudi memulai perundingan rahasia di Baghdad dengan mediasi Irak. Hubungan Riyadh dan Teheran memburuk saat kedua pihak menutup kedutaan besar pihak lain tahun 2016. Pada tahun itu warga Iran menyerang kantor misi diplomatik Arab Saudi menyusul eksekusi mati oleh pengadilan Arab Saudi terhadap salah seorang ulama Syiah di Arab Saudi.
Baca juga: Mossad di Balik Serangan Siber terhadap Instalasi Nuklir Iran
Beberapa pemimpin dunia mengucapkan selamat atas terpilihnya Raisi untuk memimpin Iran selama empat tahun ke depan. Presiden Rusia Vladimir Putin, dikutip dari kantor berita RIA, berharap bisa membangun hubungan bilateral yang konstruktif dengan Iran di bawah Raisi.
Presiden China Xi Jinping, yang juga memberikan selamat, berharap kedua negara bisa melanjutkan hubungan kedua negara sebagai mitra strategis yang komprehensif. Xi ingin, kedua negara bisa mengonsolidasikan kepercayaan politik bersama, memperluas dan memperdalam kerja sama yang saling menguntungkan.
Presiden Turki Reccep Tayyip Erdogan, yang tengah berupaya memperbaiki hubungan Turki dengan AS, mengirimkan surat pada Raisi dan berharap hubungan kerja sama kedua negara bisa terus ditingkatkan.
Perancis dan Israel tidak memberikan selamat atas kemenangan Raisi. Kementerian Luar Negeri Perancis dalam sebuah pernyataan singkat menyatakan hanya mencatat kemenangan Raisi dalam pemilihan itu dan menyatakan keprihatinannya atas situasi hak asasi manusia di Iran.
Perdana Menteri Israel yang baru Naftali Bennet menyatakan, terpilihnya Raisi sebagai presiden Iran seharusnya menjadi alarm bagi para pemimpin dunia lainnya agar tidak melakukan kerja sama apapun, khususnya nuklir, dengan negara itu. ”Kembali merundingkan soal nuklir dengan Iran adalah sebuah kesalahan besar dan memberikan legitimasi pada sebuah rezim yang paling brutal di dunia,” kata Bennett, dikutip dari Jerusalem Post. (AP/AFP/REUTERS/SAM)