Pemerintah di negara-negara Barat semakin gencar mengejar perusahaan-perusahaan multinasional, terutama di sektor digital, agar menerapkan bisnis berkelanjutan dan memberikan akses setara kepada semua orang.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
AFP/ALAIN JOCARD
Dalam arsip foto yang diambil pada 16 Mei 2019 di Paris, seorang pria memotret logo perusahaan Google dengan ponselnya saat mengunjungi pameran usaha rintisan dan inovasi Vivatech.
BRUSSELS, SELASA — Raksasa teknologi Google dan Youtube kembali menghadapi pengadilan Uni Eropa untuk dua kasus berbeda. Pertama ialah soal monopoli bisnis iklan daring dan yang kedua tentang pelanggaran hak kekayaan intelektual. Pemerintah di negara-negara Barat semakin gencar mengejar perusahaan-perusahaan multinasional, terutama di sektor digital, agar menerapkan bisnis berkelanjutan dan memberikan akses setara kepada semua orang, terlepas besar kecilnya kepemilikan modal.
Gugatan kepada Google dilayangkan oleh Komisi Eropa, lembaga yang mengawasi kesehatan persaingan usaha di Uni Eropa. Mereka telah selesai melakukan penyelidikan yang dipimpin oleh Margarethe Vestager, Kepala Bidang Persaingan Usaha Digital Komisi Eropa. Vestager sebelumnya juga menggugat Google dalam tiga kasus berbeda terkait monopoli di pengadilan Uni Eropa. Secara total, perusahaan asal Amerika Serikat (AS) ini harus membayar denda 8,2 miliar euro.
Kali ini, Uni Eropa menggugat Google melanggar aturan blok tersebut melalui monopoli iklan yang dilakukan dengan aplikasi maupun situs Google AdX dan Google Ad Manager. Para produsen barang ataupun jasa menawarkan diri siap membeli lapak iklan di internet melalui dua aplikasi tersebut.
Semestinya, semua tawaran iklan itu bisa diakses oleh semua pengelola ataupun pemilik situs internet yang berminat dan mau membayar untuk menampilkan iklan di laman milik perusahaan, bahkan laman pribadi. Akan tetapi, kenyataannya Google memonopoli iklan-iklan tersebut hanya tampil di situs milik mereka. Apabila ada pihak ketiga yang membeli iklan, tampilannya akan memiliki banyak masalah seperti memperlambat kinerja situs tersebut.
”Iklan adalah sumber pendapatan utama situs-situs internet. Semua situs berhak mendapat akses yang sama atas iklan selama mereka mampu membayar. Situs besar seperti Google tidak berhak mengepul iklan untuk dipajang di laman sendiri mentang-mentang mereka yang mempunyai aplikasi lelang iklannya,” papar Vestager.
AFP/TOBIAS SCHWARZ
Foto yang diambil pada 22 Januari 2019 memperlihatkan seorang teknisi berjalan melewati logo Google saat pembukaan kantor baru Google di Berlin, Jerman.
Pada tahun 2020, pendapatan iklan Google di Eropa mencapai 147 miliar euro. Oleh sebab itu, sejumlah kritik antimonopoli berpendapat sanksi yang diberikan Komisi Eropa ini tidak berarti apa-apa bagi Google maupun perusahaan induknya, Alphabet Inc.
Pada awal Juni 2021, Google juga kalah di pengadilan Perancis. Gugatannya sama-sama mengenai monopoli iklan digital sehingga mengakibatkan situs independen dan media cetak di negara itu tidak memperoleh akses untuk memasang iklan. Mereka didenda 220 juta euro oleh Pemerintah Perancis. Google tidak mengajukan banding dan menyatakan siap bekerja sama dengan pemerintah.
Bayang-bayang antimonopoli juga menguat di kampung halaman Google, yaitu AS. Pemerintah AS melalui Komisi Yudisial hendak memperkuat Undang-Undang Antimonopoli yang akan berdampak besar bagi raksasa digital, antara lain Google, Facebook, Amazon, dan Apple. Sebanyak 13 raksasa digital kemudian mengeluarkan pernyataan bersama yang disebarkan ke media arus utama AS.
”Bukannya kami menolak UU Antimonopoli, tapi revisi ini nanti akan melukai para pengguna jasa kami. Kami tidak bisa menawarkan kepada mereka produk ataupun jasa sesuai dengan kebutuhan setiap warganet yang mengakses situs ataupun aplikasi kami,” tutur Direktur Bidang Urusan Kepemerintahan Google AS Mark Isakowitz, mewakili 13 perusahaan tersebut dalam wawancara dengan Axios.
Langgar HAKI
PHOTO BY KIRILL KUDRYAVTSEV / AFP
Arsip 27 Maret 2015 ini memuat foto penyanyi Inggris, Sarah Brightman, saat tampil dalam acara di kosmodrom Baikonur. Pengadilan tertinggi Uni Eropa pada 22 Juni 2021 menyatakan, platform daring seperti Youtube dalam kondisi tertentu bisa dikenai pertanggungjawaban atas hak kekayaan intelektual yang diunggah secara ilegal.
Sementara itu, di Luksemburg, pengadilan Komisi Eropa juga tengah memejahijaukan Youtube, salah satu anak perusahaan Google. Sidang itu menindaklanjuti gugatan produsen musik asal Jerman, Frank Peterson. Ia melayangkan gugatan pada tahun 2018 dan Komisi Eropa baru selesai menyelidikinya.
Peterson adalah pemegang hak kekayaan intelektual dan hak edar lagu-lagu penyanyi asal Inggris, Sarah Brightman. Ia menggugat Youtube karena di situs ataupun aplikasinya terdapat banyak lagu Brightman yang diunggah secara bebas oleh warganet. Padahal, semestinya hanya perusahaan rekaman atau akun resmi penyanyi itu yang boleh mengunggah.
Majelis hakim dalam pernyataan tertulis mengatakan bahwa Youtube memang tidak berhak melarang penggunanya mengunggah konten ke situs ataupun aplikasi mereka. Akan tetapi, ketika konten sudah diunggah, Youtube berhak memblokir video yang melanggar aturan seperti mengandung unsur kekejian, fitnah, serta melanggar hak cipta. (AP/AFP)