Kemunduran HAM di Titik Terburuk, Perlu Aksi Global untuk Memulihkannya
Komisioner Tinggi HAM PBB Michelle Bachelet menyebut kemiskinan ekstrem, ketidaksetaraan, serta ketidakadilan sosial dan hukum telah meningkat di sejumlah negara. Ruang demokrasi dan kebebasan sipil pun sedang terkikis.
Oleh
Pascal S Bin Saju
·5 menit baca
GENEVA, SELASA — Perserikatan Bangsa-Bangsa menyoroti krisis hak asasi manusia terburuk dalam beberapa dekade ini di sejumlah negara, termasuk China, Rusia, dan Etiopia. Kantor Komisioner Tinggi HAM PBB pun menyerukan perlunya ”aksi bersama” global untuk memulihkan kemerosotan HAM tersebut.
”Untuk pulih dari rangkaian kemunduran HAM yang paling luas dan parah dalam hidup kita saat ini, kita membutuhkan visi yang mengubah hidup dan tindakan bersama,” kata Komisioner Tinggi HAM PBB, Michelle Bachelet, pada pembukaan sidang ke-47 Dewan HAM PBB di Geneva, Senin (21/6/2021) waktu setempat.
Bachelet memperingatkan, ”Kemiskinan ekstrem, ketidaksetaraan, dan ketidakadilan telah meningkat. Ruang demokrasi dan sipil sedang terkikis.”
Sidang yang berlangsung hingga 13 Juli dan diadakan secara virtual karena pandemi Covid-19 itu akan menampilkan laporan yang paling ditunggu-tunggu. Tentang rasisme sistemik dan rancangan resolusi, misalnya, yang berfokus pada berbagai situasi terkait HAM, termasuk situasi di Xinjiang dan Hong Kong di China, krisis politik pascakudeta militer di Myanmar, krisis di Belarus, dan konflik Tigray di Etiopia utara.
Dalam pidato pembukaannya, Bachelet mengatakan bahwa dia ”sangat terganggu” oleh laporan tentang ”pelanggaran serius” di Tigray. Konflik bersenjata di sana telah menyebabkan krisis kemanusiaan terburuk, yakni sekitar 350.000 orang terancam kelaparan.
Bachelet menunjuk pada eksekusi kekerasan di luar hukum, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, kekerasan seksual terhadap anak-anak ataupun orang dewasa, dan pemindahan paksa di Tigray. Bachelet, yang juga mantan Presiden Chile itu, mengatakan, dirinya memiliki ”laporan yang dapat dipercaya” bahwa tentara Eritrea masih beroperasi di wilayah Tigray, Etiopia utara.
Di beberapa bagian lain di Etiopia, negara yang menggelar pemilu pada Senin kemarin, juga terjadi insiden yang mengkhawatirkan. Di sana ”terjadi kekerasan etnis dan antar-komunal yang mematikan akibat meningkatnya polarisasi masyarakat terkait persoalan-persoalan lama,” kata Bachelet.
”Pengerahan pasukan militer yang sedang berlangsung sebenarnya bukanlah solusi yang permanen,” katanya sambil menyerukan perlunya dialog nasional.
Isu Hong Kong
Bachelet juga menunjuk pada ”dampak mengerikan” dari penerapan UU Keamanan Nasional China di Hong Kong. UU yang mulai berlaku pada 1 Juli 2020 itu dilihat sebagai pemantik tindakan keras terhadap para kritikus Beijing pasca-aksi protes prodemokrasi besar-besaran pada 2019.
Menurut Bachelet, UU Nasional China itu mengkriminalisasi perbedaan pendapat, menempatkan beberapa kasus di bawah yurisdiksi China, dan memberi otoritas China di Hong Kong posisi super dalam menangani berbagai kasus hukum. ”Sebanyak 107 orang telah ditangkap di bawah UU Keamanan Nasional dan 57 orang telah didakwa secara resmi,” katanya.
Persidangan perdana di bawah UU baru itu dijadwalkan akan digelar akhir pekan ini. Menurut Bachelet, persidangan itu akan ”menjadi ujian penting bagi independensi peradilan Hong Kong.”
Bachelet juga berharap untuk bisa mengunjungi Xinjiang, wilayah paling bergolak di China barat, tahun 2021. ”Saya terus berdiskusi dengan China untuk bisa berkunjung, termasuk akses ke Daerah Otonomi Uyghur di Xinjiang, dan berharap ini dapat dicapai tahun ini,” kata Bachelet. Ia mengatakan, ”Laporan pelanggaran HAM yang serius terus muncul (dari Xinjiang)."
Kepala Kantor Komisioner HAM PBB itu telah menghadapi tekanan diplomatik agar berbicara lebih tegas tentang kebijakan China di Xinjiang. AS, Eropa, dan PBB, serta kelompok pegiat HAM menuding Beijing telah melakukan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan terhadap warga Uighur.
Sekitar 1 juta warga Uighur dan sebagian besar minoritas Muslim lainnya dilaporkan telah ditahan di kamp-kamp di wilayah Xinjiang. Kelompok pegiat HAM, seperti Amnesty International, juga menuduh pihak berwenang China memberlakukan kerja paksa di sana. Beijing membantah keras tuduhan itu.
Belasan negara, yang dipimpin Kanada, diperkirakan akan menyampaikan pernyataan bersama kepada Dewan HAM PBB pada Selasa (22/6/2021) ini. Dilaporkan, mereka akan menyuarakan keprihatinan tentang situasi HAM di Xinjiang dan menuntut China untuk memberikan Bachelet dan pengamat independen lainnya akses tanpa batas ke Xinjiang.
Untuk mengantisipasi pernyataan itu, perwakilan diplomatik China di Geneva pekan lalu mengecam kelompok negara-negara tersebut. Dikatakan, upaya tersebut hanya ”untuk menyebarkan disinformasi dan kebohongan guna menyudutkan China”, dan menggunakan ”hak asasi manusia sebagai isu politik”.
Isu Rusia
Dalam pidatonya, Senin, Bachelet juga mengkritik langkah-langkah Rusia yang mengecilkan ruang bagi pandangan politik yang berbeda dan ruang akses bagi partisipasi politik yang lebih besar dalam pemilu mendatang. ”Saya kecewa dengan langkah-langkah yang semakin merusak hak orang untuk mengekspresikan pandangan kritis, dan kemampuan mereka untuk mengambil bagian dalam pemilu parlemen yang dijadwalkan pada September nanti,” katanya.
Bachelet menyoroti langkah-langkah Kremlin belum lama ini untuk menghambat pergerakan pemimpin oposisi, Alexei Navalny, dengan memenjarakannya. Pengadilan Moskwa awal bulan ini mengecap gerakan oposisi sebagai ”ekstremis”. Keputusan itu, menurut Bachelet, ”berdasarkan tuduhan yang tidak jelas tentang upaya mengubah dasar tatanan konstitusional”.
Sementara itu, Presiden Rusia Vladimir Putin telah menandatangani UU yang melarang anggota staf, anggota dan sponsor kelompok ”ekstremis” mencalonkan diri dalam pemilu parlemen. ”Saya menyerukan Rusia untuk menegakkan hak-hak sipil dan politik,” kata Bachelet.
Dia mengatakan, ”UU itu membatasi kebebasan berekspresi, berkumpul, dan berserikat secara damai. Seharusnya UU itu sesuai dengan norma dan standar HAM internasional.”
”Saya ingin mendesak pihak berwenang untuk mengakhiri praktik yang sewenang-wenang dengan melabeli orang-orang biasa, jurnalis, dan organisasi non-pemerintah sebagai ’ekstremis’, ’agen asing’, atau ’organisasi yang tidak diinginkan’,” tambah Bachelet.
Adapun terkait situasi di Belarus, para menteri luar negeri Uni Eropa, Senin ini, sepakat menerapkan sanksi ekonomi terhadap Belarus. Hal itu disampaikan oleh Menlu Jerman Heiko Mass kepada wartawan seusai pertemuan di Luksemburg.
”Saya sangat puas bahwa Uni Eropa hari ini telah menerapkan (sanksi) kepada Belarus,” kata Maas seraya menambahkan sanksi itu dirancang untuk memukul sektor-sektor ekonomi Belarus. (AFP/REUTERS)