Penyelenggaraan Haji Dibekukan, Indonesia Punya Kesempatan Benahi Masalah
Mengingat pandemi Covid-19 masih belum terkendali, Pemerintah Arab Saudi akhirnya memutuskan penyelenggaraan ibadah haji kali ini hanya untuk warga mereka saja. Kuotanya hanya 60.000 orang.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
Pemerintah Arab Saudi akhirnya memutuskan penyelenggaraan ibadah haji kali ini hanya untuk warga mereka, warga yang lahir dan besar di negara itu serta ekspatriat (redisent). Kuotanya tidak banyak, hanya 60.000 orang saja.
Kekecewaan sudah barang tentu dirasakan calon jemaah haji di seluruh dunia karena tidak bisa berangkat melaksanakan salah satu kewajiban bagi seorang Muslim tersebut. Ini wajar. Apalagi mereka sudah menanti momentum itu selama bertahun-tahun karena antrean yang sangat panjang.
Namun, di tengah pandemi Covid-19, keputusan Pemerintah Arab Saudi itu tepat. Keputusan Pemerintah Indonesia, sebelumnya, untuk tidak memberangkatkan calon jemaah haji rasanya juga tepat.
Sama seperti negara lain di dunia, Arab Saudi juga tengah berjibaku menangani pandemi yang merusak ini. Apalagi varian baru Covid-19 yang lebih cepat menular dan dinilai lebih mematikan. Ini tentu membutuhkan penanganan yang lebih ekstra.
Berdasarkan data Worldometers.info, jumlah kasus Covid-19 di Arab Saudi terus meningkat. Begitu juga dengan jumlah kematiannya. Tahun lalu, kasusnya sempat memuncak pada awal Juli dengan 56 orang meninggal. Kini menjelang akhir Juni, satu tahun kemudian, angkanya merangkak naik lagi.
Langkah membatasi jumlah calon jemaah haji diambil untuk mencegah lonjakan kasus yang tidak terkendali dan kolapsnya fasilitas kesehatan yang berujung pada kemandekan perekonomian. Kedatangan puluhan ribu orang dari luar negeri, walaupun sudah divaksin, bukan berarti tidak membawa risiko. Paspor vaksin atau bahkan secarik kertas yang berisi hasil tes polymerase chain reaction (PCR) pun tidak bisa menjamin mereka yang masuk ke Arab Saudi benar-benar terbebas dari virus korona baru (SARS-CoV-2) penyebab Covid-19 yang kini telah bermutasi menjadi berbagai macam varian.
Oktober tahun lalu, Pemerintah Taiwan pernah mengeluhkan soal ini dalam konteks yang berbeda. Buruh migran yang telah mengantongi surat hasil tes yang menyatakan mereka negatif Covid-19 ternyata tidak semuanya benar-benar bebas Covid-19. Setelah dites ulang, sejumlah buruh migran diketahui positif sekaligus ”membawa virus” ke Taiwan, salah satu negara yang dianggap cukup berhasil menghadapi Covid-19.
Dan, kita sama-sama tahu, di dalam negeri, kertas-kertas semacam ini bisa diperoleh dengan mudah bermodalkan beberapa ratus ribu rupiah saja. Masuknya beberapa warga negara asal India berkat ulah aparat dan penggunaan alat rapid antigen bekas oleh beberapa pegawai sebuah perusahaan farmasi beberapa waktu lalu berkontribusi terhadap ketidakpercayaan dunia luar terhadap penanganan pandemi Covid-19 di negara ini.
Praktik semacam itu jelas-jelas membahayakan ribuan dan bahkan jutaan rakyat Indonesia. Jika hal ini diterapkan untuk meloloskan warga Indonesia agar bisa terbang ke luar negeri, bahaya itu akan menyebar ke rakyat negara tujuan pula.
Perwakilan diplomatik asing di Indonesia sudah pasti memantau informasi yang berseliweran di dunia maya hingga media sosial. Jangan dikira dunia tidak tahu apa yang sedang terjadi di Indonesia.
Berbesar hati menerima keputusan Pemerintah Arab Saudi yang kali ini hanya menyelenggarakan ibadah haji untuk warga setempat saja adalah langkah bijak. Itu juga demi kebaikan bersama. Untuk sementara waktu, lebih baik membenahi bolong-bolong dalam hal administrasi dan pelaksanaan protokol kesehatan domestik guna mengendalikan Covid-19 sekaligus mengembalikan lagi kepercayaan dunia luar.
Harapannya, pada saat penyelenggaraan ibadah haji dibuka untuk dunia nanti, Pemerintah Arab Saudi tak ragu menerima kembali calon jemaah haji Indonesia. Yang terpenting lagi, terus berdoa dan disiplin menjaga protokol kesehatan agar calon jemaah haji Indonesia siap sewaktu-waktu berangkat untuk hadir di Baitullah.