Pemimpin junta militer Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, berada di Moskwa untuk ikut konferensi keamanan internasional yang diadakan Kementerian Pertahanan. Rusia adalalah pemasok utama senjata militer Myanmar.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
MOSKWA, SENIN — Pemimpin junta Myanmar Jenderal Senior, Min Aung Hlaing, tiba di ibu kota Rusia, Moskwa, Minggu (20/6), untuk menghadiri konferensi keamanan internasional yang diselenggarakan Kementerian Pertahanan Rusia selama 22-24 Juni. Perjalanan ke luar negeri Aung Hlaing ini dilakukan tidak lama setelah Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan resolusi yang isinya mengecam kudeta pemimpin sipil oleh militer serta menyerukan negara-negara anggota untuk menghentikan pasokan senjata ke Myanmar.
Stasiun televisi MRTV yang terafiliasi dengan junta menyebutkan, Jenderal Hlaing datang ke Moskwa atas undangan Menteri Pertahanan Rusia, Sergei Shoigu. Kedutaan Myanmar di Rusia, dikutip dari kantor berita Rusia, RIA Novosti, mengonfirmasi bahwa Aung Hlaing telah tiba di Moskwa. Namun, tidak ada penjelasan tentang berapa lama dia akan berada di Rusia, sekutu sekaligus pemasok senjata utama bagi militer Myanmar.
Rusia bersama China adalah dua negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB yang Jumat kemarin memilih abstain pada pemungutan suara di Majelis Umum PBB. Beberapa negara anggota ASEAN juga mengekor sikap Rusia dalam kebijakan luar negerinya terhadap krisis Myanmar, seperti Thailand, Laos, dan Kamboja.
Kunjungan Jenderal Hlaing ini adalah upaya serius Tatmadaw atau militer Myanmar untuk memperdalam hubungan pertahanan dengan Rusia setelah pada akhir Maret lalu Wakil Menteri Pertahanan Rusia, Alexander Formin, berkunjung ke Naypidaw. Fomin menjadi pejabat tinggi asing pertama yang mengunjungi dan menemui pemimpin junta pascakudeta 1 Februari lalu.
Dikutip dari laman Moscowtimes, saat itu Formin mengatakan, kunjungannya ke Naypidaw sejalan dengan kebijakan pemerintah Rusia yang ingin mengintensifkan hubungan antara kedua negara, sekutu strategis mereka di Asia Tenggara. Bersama China, Kremlin menganggap bahwa kudeta militer sebagai urusan dalam negeri Myanmar dan tidak bisa dicampuri oleh pihak asing.
Rusia memiliki sejarah panjang dalam memasok peralatan militer ke negara itu dan terus meningkatkan kerja sama militernya dengan Myanmar. Pada Januari, Rusia setuju untuk memasok Myanmar dengan sistem rudal permukaan ke udara Pantsir-S1 dan drone pengintai Orlan-10E. Sepekan sebelum kudeta terjadi, Rusia juga menyetujui pengiriman peralatan radar untuk kepentingan militer Myanmar.
Selain memasok persenjataan bagi militer Myanmar, Rusia juga memberikan pelatihan bagi tentara serta beasiswa bagi mahasiswa negara tersebut. Menurut data Stockholm Peace Research Institute 2020, 16 persen persenjataan dan perlengkapan militer Myanmar dipasok oleh Rusia sejak 2014. Per 2019, belanja militer Myanmar ke Rusia mencapai 807 juta dollar Amerika Serikat.
Yadanar Maung, perwakilan kelompok kampanye Justice for Myanmar, mengatakan, tindakan Rusia memasok senjata dan perlengkapan militer untuk digunakan junta sama artinya dengan melegitimasi tindakan brutal junta. Dia menyerukan komunitas internasional untuk memberlakukan embargo senjata global.
”Rusia terlibat dalam kampanye teror militer terhadap rakyat,” kata Yadanar Maung.
Berdasarkan data Asosiasi Bantuan Tahanan Politik (Assistance Association for Political Prisoners/AAPP) Myanmar per 20 Juni 2021, 872 warga sipil Myanmar tewas karena tindakan brutal junta militer. Sebanyak 5.033 warga saat ini ditahan oleh aparat keamanan dan 196 orang telah dijatuhi hukuman. AAPP menyebut bahwa jumlah kematian sebenarnya kemungkinan jauh lebih banyak dari data. (AFP/Reuters)