Ledakan pariwisata sedang berlangsung di Tibet. Akibat pandemi Covid-19, wisatawan China yang biasanya melancong ke luar negeri mengalihkan tujuan perjalanannya ke domestik. Tibet adalah salah satunya.
Oleh
FX LAKSANA AGUNG SAPUTRA
·3 menit baca
LHASA, MINGGU — Turis China menyerbu Istana Potala di Lhasa, Tibet, kediaman para Dalai Lama. Guna konservasi bangunan yang telah ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) sejak 1994 tersebut, pengelola membatasi kunjungan untuk maksimal 5.000 turis per hari. Akibat pandemi Covid-19, banyak wisatawan China yang biasanya melancong ke luar negeri berwisata ke sejumlah daerah tujuan pariwisata domestik, salah satunya adalah Tibet.
Istana Potala adalah kediaman para Dalai Lama sepanjang 1649 hingga 1959. Dalai Lama ke-14, Tenzin Gyatso, meninggalkan Istana Potala menyusul pemberontakan Tibet yang digagalkan pasukan China pada 1959. Dalai Lama kemudian tinggal di pengasingan sampai hari ini, yakni di Dharamsala, wilayah Himachal Pradesh, India. Dalai Lama adalah pemimpin spiritual pemeluk agama Buddha Tibet sekaligus simbol pemersatu masyarakat Tibet.
Dalai Lama adalah pemimpin spiritual pemeluk agama Buddha Tibet sekaligus simbol pemersatu masyarakat Tibet.
Sejak pandemi Covid-19, kelas menengah China yang tumbuh dan menjadi salah satu wisatawan terbanyak di dunia mengalihkan perjalanan luar negerinya ke dalam negeri. Tibet menjadi salah satu tujuannya, terutama Istana Potala.
Kepala Pengelola Istana Potala, Gonggar Tashi, menyatakan, jumlah pengunjung dibatasi hingga 5.000 orang per hari. Jumlah ini merupakan kombinasi antara permintaan wisatawan dan kebutuhan konservasi bangunan besar yang berdiri di lereng bukit itu.
”Tantangan terbesar bagi kami adalah menyeimbangkan antara perlindungan dan penggunaan peninggalan budaya,” kata Tashi kepada wartawan di Lhasa pada tur wartawan di awal Juni yang diselenggarakan pemerintah.
Menurut Tashi, akses pemerintah kepada wartawan asing untuk pergi ke Tibet adalah hal yang langka. Meskipun demikian, tur tetap berada di bawah pengawasan pejabat, termasuk dalam hal menetapkan agenda.
Wakil Direktur Asosiasi Pemasaran Pariwisata China Ge Lei menyatakan, jutaan pengunjung datang ke Tibet setiap tahun. Pada tahun lalu, jumlahnya meningkat 12,6 persen dari tahun sebelumnya. Targetnya, jumlah pengunjung akan terus meningkat hingga mencapai dua kali lipat dari tahun 2020 pada tahun 2026 mendatang. ”Kelebihan pengunjung, jauh melebihi populasi Tibet 3,5 juta orang, berarti kehati-hatian diperlukan untuk melindungi lingkungan dan budaya,” katanya.
Menurut ahli geografi budaya di New York University Shanghai, Travis Klingberg, wisatawan tertarik pada mistis dan mitos Tibet sebagai tanah terpencil yang tertutup salju. Namun, Tibet juga menarik karena pemandangan alamnya yang indah.
Profesor geografi di University of Colorado Boulder, Emily Yeh, menyatakan, Tibet telah mengalihkan fokusnya dari pengunjung internasional ke domestik karena kelas menengah China tengah tumbuh. Namun, persoalannya adalah banyak turis China tidak menghormati tradisi budaya setempat, termasuk menginjak bendera doa.
Dari perspektif politik, Yeh melanjutkan, pembangunan sektor pariwisata memperkuat propaganda Pemerintah China. Partai Komunis yang berkuasa mengatakan bahwa mereka membebaskan ratusan ribu budak ketika menggulingkan teokrasi pada 1951. Sejak saat itu, Pemerintah China membawa pembangunan ekonomi ke dataran tinggi yang berbatasan dengan Himalaya tersebut. ”Menulis ulang sejarah adalah bagian dari lanskap pariwisata,” kata Yeh.
Menulis ulang sejarah adalah bagian dari lanskap pariwisata.
Selain Istana Potala, Tibet juga memiliki sejumlah lokasi pariwisata alam yang menarik. Salah satunya adalah Danau Namtso yang dikelilingi puncak yang tertutup salju dan kuil Buddha dengan kawanan yak dan burung yang bermigrasi di cakrawala.
”Akan sulit untuk melindungi ekologi dan budaya Tibet jika kita tidak memiliki rencana jangka panjang. Jadi, sangat penting untuk menetapkan seperangkat nilai dan aturan perilaku untuk bepergian di Tibet sambil membangun fasilitas,” Ge Lei. (AFP/LAS)