Pemilihan presiden Iran dibayangi rendahnya partisipasi para pemilik suara, terutama kaum muda, dan berkuasanya kubu ultrakonservatif di negara ini.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
TEHERAN, JUMAT — Rakyat Iran, Jumat (18/6/2021), mulai mendatangi tempat-tempat pemungutan suara untuk memilih calon pengganti Presiden Hassan Rouhani yang masa jabatannya akan segera berakhir. Dorongan Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei agar seluruh warganya menggunakan hak pilih dibayangi kekhawatiran kemerosotan kualitas hidup yang lebih tajam jika kandidat dari kubu ultrakonservatif berkuasa.
Khamenei telah memberikan suaranya di TPS 110 di Kota Teheran, Jumat pagi. Setelah menggunakan hak pilih, dia menyerukan kepada sekitar 60 juta pemilih di seluruh negeri yang memenuhi syarat untuk menggunakan hak pilihnya sebelum pemungutan suara ditutup pada tengah malam waktu setempat atau sekitar pukul 02.00 dini hari waktu Indonesia.
”Semakin cepat Anda melakukan tugas ini, semakin baik. Semua yang dilakukan rakyat Iran pagi ini hingga malam ini, dengan pergi ke tempat pemungutan suara dan memberikan suara, berfungsi untuk membangun masa depan negara,” kata Khamenei. Dia menambahkan, adanya partisipasi rakyat pada pemilihan kali ini Iran akan memiliki posisi tersendiri di mata dunia internasional.
Namun, dorongan untuk memilih telah dinegasikan oleh para penguasa Iran yang mendiskualifikasi banyak kandidat dari kubu moderat. Selain itu, kelesuan ekonomi yang mendalam telah memicu inflasi dan meningkatkan risiko kehilangan pekerjaan.
”Saya bukan politisi, saya tidak tahu apa-apa tentang politik. Bagaimana kita bisa memilih orang-orang yang melakukan ini pada kita? Itu tidak benar,” kata Nasrollah, seorang mekanik pada sebuah bengkel di ibu kota.
Seorang pandai besi, Abolfazl, menyatakan kekecewaannya terhadap pelaksanaan pemilu kali ini. Kekecewaan ini adalah kekecewaan seorang patriot yang mengambil bagian dalam revolusi 1979.
”Saya berusia lebih dari 60 tahun. Pada masa muda, saya memberontak melawan Shah Iran, ambil bagian dalam revolusi untuk memperjuangkan hak pilih. Saya mencintai negara saya, tetapi saya tidak menerima kandidat-kandidat ini,” katanya.
Sebagai bagian dari upaya melegitimasi hasil pemilihan, Pemerintah Iran sering kali memperlihatkan hasil jajak pendapat tentang tingkat partisipasi warga pada proses pemungutan suara. Namun, hasil jajak pendapat terbaru memperlihatkan, tingkat partisipasi pemilih berada di bawah angka 43 persen dibandingkan pelaksanaan pemilihan anggota parlemen tahun lalu.
Mantan Duta Besar Perancis Michel Duclos, dalam komentarnya untuk lembaga penelitian Paris Institut Montaigne, mengatakan, untuk pertama kalinya pemilihan presiden akan berlangsung tanpa persaingan nyata.
Ultrakonservatif
Sebuah studi dan analisis mengenai para kandidat mendudukkan mantan kepala lembaga kehakiman garis keras, Ebrahim Raisi, sebagai kandidat presiden terkuat. Mantan Kepala Bank Sentral Iran Abdolnasser Hemmati, yang dipandang mewakili kubu reformis dan moderat, dinilai sulit mengimbangi dukungan terhadap Raisi.
Jika terpilih, Raisi akan menjadi presiden berkuasa di Iran pertama yang dikenai sanksi oleh Pemerintah AS bahkan sebelum menjabat. Dia dikenai sanksi atas keterlibatannya pada eksekusi massal tahanan politik di Iran tahun 1988. Dia dinilai sebagai algojo oleh dunia internasional.
Bila Raisi terpilih, hal itu akan menempatkan posisi Iran semakin mengeras dalam perundingan tidak langsung program nuklir Iran di Wina, Austria, yang sudah memasuki putaran keenam. Keberlanjutan perundingan dalam tanda tanya besar dan akan mengakibatkan ketegangan yang tetap tinggi di kawasan, terutama dengan AS dan Israel. Yang terakhir, Israel, diduga memiliki kaitan dengan pembunuhan beberapa ahli nuklir Iran, para petinggi militer, serta peristiwa sabotase di salah satu fasilitas nuklir Iran di Natanz.
Televisi pemerintah juga menayangkan rekaman tempat pemungutan suara yang didirikan oleh keluarga Soleimani di kota Kerman. Dikutip dari laman Tehrantimes, keluarga Soleimani mengirimkan pesan kepada rakyat Iran agar tetap menggunakan hak pilihnya agar demokrasi yang religius di negara itu tetap berdiri. (AP/AFP/Reuters)