Sudah lebih dari satu tahun, orang menghindari jabat tangan agar tidak tertular Covid-19. Meski dibayangi keragu-raguan, orang berharap etiket pergaulan ini bakal bertahan di masa depan.
Oleh
Fransisca Romana Ninik W
·3 menit baca
Saat pandemi bermula, jabat tangan menjadi sebuah kegiatan terlarang. Satu setengah tahun berlalu, mulai terlihat tanda-tanda sebaliknya. Meski demikian, masa depan ”pertautan dua tangan” ini belum jelas.
Kala pertemuan Presiden Amerika Serikat Joe Biden dan Presiden Rusia Vladimir Putin di Geneva, Swiss, Rabu lalu, dunia melihat kedua petinggi ini berjabat tangan. Ini pemandangan langka—bukan semata karena hubungan kedua negara menurun di level terendah—lantaran pada pertemuan puncak dengan para pemimpin tujuh negara terkaya di dunia (G-7) beberapa hari sebelumnya, Biden dan para pemimpin G-7 masih bertukar siku untuk bersalaman.
Sama halnya dengan diperbolehkannya warga AS untuk melepas masker, terutama bagi warga yang sudah divaksinasi penuh, masih banyak orang yang ragu berjabat tangan. Begitu pula dilonggarkannya larangan bepergian, terutama di Eropa, tidak serta-merta membuat orang nyaman melancong.
Jesse Green, teknisi telepon di New York, misalnya, menolak berjabat tangan dengan konsumennya. Akan tetapi, dia bersedia berjabat tangan dengan orang yang dia kenal dan yang telah divaksinasi. ”Lantaran pandemi, orang lebih waspada tentang cara mereka menggunakan tangan,” katanya.
Bagi William Martin, pengacara, berjabat tangan dengan siapa pun, baik yang sudah divaksinasi maupun belum, tidak perlu dipertanyakan lagi. Dia tidak akan melakukannya sampai semua aman. ”Dan, aman itu tidak ditentukan oleh pemerintah,” katanya.
Sejumlah perusahaan dan organisasi di AS bahkan menggunakan gelang berwarna untuk mengizinkan pegawai, pelanggan, maupun pengunjung sebagai isyarat kesediaan mereka melakukan kontak dengan orang lain, seperti berjabat tangan. Misalnya merah untuk tidak bersedia, kuning untuk bersedia dengan batasan tertentu, dan hijau untuk bersedia.
Perdebatan
Sejatinya, menurut Jack Caravanos, profesor pada School of Global Public Health New York University, kekhawatiran tertular karena berjabat tangan tidak terbukti secara ilmiah. Covid-19, kata dia, ditularkan lewat kontak permukaan. Penyakit ini juga sebenarnya disebarkan lewat udara, dasar ilmiah untuk terjangkit lewat kontak kulit masih diperdebatkan.
”Bagaimanapun juga, flu pada umumnya, influenza, dan inang penyakit menular lainnya ditularkan lewat sentuhan. Karena itu, membatasi jabat tangan akan berdampak positif bagi kesehatan masyarakat,” kata Caravanos.
Allen Furr, profesor sosiologi pada Auburn University, mengatakan, selalu ada germofobia, yaitu orang-orang yang tidak suka bersentuhan dengan orang lain karena mereka melihat segala sesuatu tercemar. ”Kita mungkin akan memiliki lebih banyak lagi orang semacam itu karena efek psikologis bahwa keselamatan tidak seiring dengan kedekatan dengan orang lain, dan itu akan menempel di pikiran orang,” ujarnya.
Atas dasar kegunaan yang lebih luas untuk kesehatan ini, banyak pakar tidak bersedih dengan hilangnya jabat tangan di masa depan. ”Saya kira kita seharusnya tidak pernah berjabat tangan lagi, jujur saja,” kata penasihat pandemi Gedung Putih, Anthony Fauci, tahun lalu saat virus SARS-CoV-2 seakan menghentikan dunia.
Sopan santun
Dalam budaya sopan-santun, jabat tangan diajarkan kepada anak sebagai ”ritual” penghormatan terhadap orang yang lebih tua, juga sebagai tanda persahabatan terhadap kawan sebaya. Namun, setelah 16 bulan yang traumatis, berjabat tangan bisa saja memudar, bahkan lenyap jika tidak terus diajarkan kepada generasi selanjutnya.
Memang ada cara lain bersalaman, tidak selalu harus berjabat tangan, seperti salam gaya India, namaste. Atau, bisa juga dengan saling melambaikan tangan. ”Namun, begitu banyak yang akan hilang jika kita tidak berjabat tangan. Anda bisa mengatakan banyak hal tentang seseorang hanya dari jabatan tangan mereka. Itu bagian dari bahasa tubuh,” kata pendiri The Etiquette School of New York, Patricia Napier-Fitzpatrick.
”Ada saja kejadian orang kehilangan pekerjaan karena jabat tangan yang buruk. Saat Anda menjabat tangan seseorang, Anda menunjukkan Anda percaya pada mereka, seperti mengatakan, ‘Aku tidak akan melukaimu’,” kata Napier-Fitzpatrick.
Furr juga berharap jabat tangan tetap bertahan di masa depan. ”Ini adalah ritual yang sangat penting dalam budaya kita,” katanya.
Pandemi telah memutarbalikkan segala hal tentang kehidupan sehari-hari, jabat tangan hanya salah satunya. Kita akan melihat apakah simbol persahabatan ini akan diperlukan lagi oleh manusia. (AFP)