Penurunan Penduduk Singapura Pintu untuk Memasuki Era Automasi
Pertumbuhan penduduk Singapura terus menurun, terendah sejak tahun 1965. Penurunan ini dipandang sebagai momentum untuk melakukan perubahan dalam sektor pekerjaan yang tidak memerlukan tenaga manusia.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
SINGAPURA, RABU — Penduduk Singapura mengalami pertumbuhan paling rendah sejak negara ini merdeka pada tahun 1965. Apalagi, sejak pandemi Covid-19 melanda pada 2020, para ekspatriat dan tenaga kerja asing juga eksodus keluar dari Singapura. Namun, di sisi lain, sejumlah pihak berpendapat sudah waktunya negara ini memikirkan sistem ekonomi dan pembangunan yang tidak mengandalkan tenaga manusia belaka.
Penurunan penduduk itu diumumkan oleh Badan Statistik Singapura, Rabu (16/6/2021). Sejak tahun 2020, penduduk Singapura turun 0,3 persen menjadi 5,69 juta jiwa. Bahkan, dalam sepuluh tahun belakangan, pertumbuhan penduduk hanya meningkat 1,1 persen setiap tahun.
Dari sisi usia median, penduduk Singapura mayoritas berumur 41,5 tahun. Adapun jumlah penduduk lansia atau berusia 65 tahun ke atas kini ada 15,2 persen. Pada 2010, dari 5,08 juta penduduk Singapura, yang berusia 65 tahun ke atas sebanyak 9 persen.
Angka kelahiran juga mengalami penurunan. Apabila diambil nilai rata-rata, setiap keluarga Singapura memiliki 1,76 anak. Pada 2010, setiap keluarga memiliki 2,2 anak. Hal ini karena ada keengganan masyarakatnya untuk menikah dan memiliki anak akibat biaya hidup yang tinggi.
Fenomena ini bisa dilihat dari data kelompok usia produktif yang melajang. Pada kelompok usia 25-29 tahun, 81,6 persen laki-laki melajang, sementara untuk kelompok usia 30-34 tahun, 69 persen melajang. Demikian pula di kalangan perempuan. Statistik menunjukkan, 41,9 persen perempuan usia 25-29 tahun dan 32,8 persen yang berusia 30-34 tahun memilih melajang.
Erica (bukan nama sebenarnya) mengaku melajang karena hubungan cintanya pupus. Perempuan berusia 36 tahun ini kemudian memilih ke luar negeri untuk membekukan sel telurnya dengan tujuan apabila ia hendak memiliki anak bisa melalui program bayi tabung. Program pembekuan sel telur ini dilarang di Singapura karena pemerintah menganggap akan memicu kaum perempuan menunda pernikahan.
”Saya memilih untuk kuliah dan berkarier dulu agar mandiri. Demikian juga dengan mantan pacar saya, tetapi hubungan kami putus karena sudah tidak ada kecocokan. Tidak adil kalau negara ikut campur keputusan saya untuk memiliki anak hanya karena alasan usia dan pernikahan,” ujarnya.
Pemerintah Singapura juga memiliki aturan imigrasi yang ketat. Mereka memastikan orang-orang asing yang datang ke negara tersebut merupakan tenaga kerja yang dibutuhkan dan memiliki keahlian sepadan. Oleh sebab itu, naturalisasi warga asing menjadi warga negara Singapura tidak menjadi pilihan dalam menambah jumlah populasi.
Sejumlah pihak memandang penurunan penduduk ini memiliki dampak positif. Guru Besar Sosiologi Universitas Manajemen Singapura Paulin Straughan dalam wawancara dengan surat kabar The Strait Times pada September 2020 mengatakan, sudah waktunya Singapura beralih dari sistem ekonomi yang bergantung pada tenaga kerja manusia kepada automasi dan digitalisasi.
”Melalui restrukturisasi pembangunan ini, dana infrastruktur bisa dialihkan untuk memberi akses pendidikan yang menyeluruh, layanan kesehatan, dan automasi industri. Sistem ekonomi ini akan lebih ramah terhadap lingkungan,” ujarnya.
Hal serupa juga dikemukakan sosiolog dari Universitas Nasional Singapura, Tan Ern Ser. Mayoritas orang asing yang bekerja di Singapura adalah pekerja untuk sektor-sektor yang tidak ingin dikerjakan oleh warga Singapura, misalnya menjadi buruh, atau pekerjaan yang tidak memerlukan kemampuan khusus. Sudah waktunya sektor-sektor ini dibenahi dan dipilah jenis yang bisa diautomasi serta jenis yang masih memerlukan sentuhan manusia. (AFP/REUTERS)