AS dan Rusia Ingin Bisa Berbeda Pendapat secara Dewasa
Pertemuan antara Presiden Amerika Serikat Joe Biden dan Presiden Rusia Vladimir Putin di Geneva, Swiss, pada Rabu kemarin tidak banyak membuahkan hasil signifikan. Namun, keduanya sepakat menurunkan ketegangan.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
GENEVA, KAMIS — Pertemuan Presiden Amerika Serikat Joe Biden dengan Presiden Rusia Vladimir Putin di kota Geneva, Swiss, pada hari Rabu, 16 Juni 2021, memang tidak menghasilkan terobosan baru terkait hubungan bilateral kedua negara. Akan tetapi, kedua belah pihak sepakat memperbaiki relasi dan menurunkan ketegangan serta menjalin komunikasi yang terbuka meskipun dua negara ini berseberangan secara ideologi. Tidak dapat dimungkiri, meruncingnya hubungan AS-Rusia membuat relasi kedua negara seperti di era Perang Dingin.
”Pertemuan dengan Presiden Biden boleh dikatakan konstruktif. Nanti, Rusia dan AS sama-sama akan mengirim kembali duta besar, tetapi kami belum tahu kapan,” kata Putin dalam jumpa pers seusai pertemuan.
Rusia menarik duta besar mereka di Washington DC, Anatoly Antonov, pada Maret lalu setelah Biden di depan publik menyatakan bahwa Putin adalah pembunuh. Perkataan Biden itu mengacu kepada perilaku kejam Putin terhadap orang-orang yang mengkritiknya, seperti Alexei Navalny; pencaplokan wilayah Crimea dari Ukraina; dan invasi atas Georgia.
Sebagai balasan, AS juga menarik duta besar mereka, John Sullivan, dari Moskwa. direncanakan, kedua diplomat akan kembali ke pos masing-masing. Tinggal menunggu kesepakatan waktunya.
Putin mengungkapkan, diskusi berkisar topik keamanan siber. Pihak AS menuduh Rusia melindungi para penjahat siber. Bahkan, di Washington, ketika kedua presiden sibuk berdiskusi di Geneva, Wakil Jaksa Agung AS John Demers menuduh Rusia sengaja mempekerjakan para peretas untuk merasuki sistem keamanan perusahaan-perusahaan AS sehingga mengakibatkan kerugian jutaan dollar AS. Para peretas Rusia ini juga menghalang-halangi upaya penegakan hukum oleh otoritas keamanan siber AS.
”Ini tuduhan tidak beralasan. Jelas-jelas serangan siber paling banyak terjadi di AS dan berasal dari dalam negeri,” ujar Putin. Meskipun begitu, ia berjanji akan melakukan perbincangan lanjutan terkait keamanan siber.
Dalam wawancara lebih lanjut dengan kantor berita nasional Rusia, TASS, Putin menuturkan, prioritas berikutnya ialah memastikan sanksi ekonomi atas Rusia dicabut. Apabila AS bersikeras meneruskan sanksi, mereka juga akan turut merugi. Indeks nilai tukar perdagangan antara AS dan Rusia sepanjang tahun 2020 turun sebanyak 9 persen atau setara dengan 23,8 miliar dollar AS.
”Lihat saja di Forum Ekonomi Internasional St Petersburg 2021 yang diadakan awal Juni ini. Anggota delegasi AS paling banyak, yakni 200 orang. Tandanya, warga AS masih sangat tertarik untuk berbisnis dengan Rusia. Tak mungkin pemerintah menghalangi,” ujarnya.
Sementara itu, Joe Biden dalam wawancara dengan media arus utama AS mengatakan bahwa melalui pertemuan itu, kedua negara menunjukkan sikap dewasa. Berbeda pendapat tidak perlu dengan permusuhan. Targetnya, hubungan bilateral tetap berseberangan pendapat, tetapi secara transparan.
”Kedua belah pihak bisa melihat dan memperkirakan langkah oposisi. Ini membawa persaingan politik ke dalam taraf yang adil dan harapannya jujur,” katanya.
Pakar kajian Rusia dan Eurasia di Universitas New Haven, Matthew Schmidt, menjelaskan, strategi Biden adalah berusaha menurunkan pamor Putin dan Rusia di hadapan dunia. Apalagi, sekarang ada China yang oleh AS dilihat sebagai saingan baru dan lebih berat daripada Rusia. Biden tidak mau Rusia menganggap diri mereka ada pada level untuk melawan AS. Meskipun begitu, sebaiknya Biden waspada karena risiko senjata makan tuan dari strategi ini cukup besar.
Salah satu yang didorong oleh Biden dalam pertemuan dengan Putin ialah pembebasan dua warga AS yang ditahan di Rusia. Paul Whelan (51) divonis 16 tahun penjara dan kerja paksa atas tuduhan mata-mata, sementara Trevor Reed (29) dihukum sembilan tahun penjara karena menyerang polisi di Moskwa ketika sedang mabuk.
Terkait hal tersebut, Presiden Swiss Guy Parmelin menawarkan negaranya menjadi lokasi mediasi pertukaran tawanan di antara kedua negara. (AFP/Reuters)