Sebagian anak muda Iran sudah tidak mau memberikan suara dalam pemilihan presiden karena merasa pemilu tidak ada gunanya. Kebebasan mereka tetap terkekang dan sistem demokrasi impian tak kunjung terwujud.
Oleh
Luki Aulia
·5 menit baca
Shirin (22), mahasiswa studi Perancis di Teheran, Iran, tidak bisa lagi memercayai para pejabat Pemerintah Iran yang terpilih akan bisa mewujudkan kebebasan dan demokrasi. Karena tak lagi percaya, Shirin sudah membulatkan tekad tidak akan ikut memberikan suaranya dalam pemilihan umum presiden Iran, Jumat (18/6/2021). Pemilu itu dianggap seperti referendum terhadap cara Pemerintah Iran menangani krisis politik dan ekonomi selama ini.
Hasil jajak pendapat terbaru, pekan lalu, menunjukkan angka partisipasi bakal rendah. Penyebabnya diduga karena kesulitan ekonomi dan tidak adanya kandidat presiden yang dianggap mumpuni dan bisa memenuhi aspirasi rakyat. Kalangan komunitas religius yang kuat dan warga kelompok kurang mampu akan datang memilih kandidat kubu konservatif-garis keras, Ebrahim Raisi, yang dikenal anti-Barat. Namun, para pemilih muda dan berpendidikan di kota-kota dan perdesaan mungkin akan tinggal di rumah saja.
Calon pemilih yang tidak antusias memilih ini diduga juga kecewa akibat lembaga pemilu melarang kandidat-kandidat dari kelompok moderat ikut berlaga dalam pemilu. Ini semakin membuat anak-anak muda Iran enggan memilih. Mereka juga sudah lelah dengan status quo yang tak menyenangkan.
”Saya memimpikan kebebasan dan demokrasi. Presiden Iran tak punya kuasa dan hak mengatur hidup kita. Jadi, kenapa saya harus ikut memilih?” kata Shirin.
Dalam sistem politik Iran, kekuasaan presiden terpilih dibatasi oleh Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei, yang berkuasa sejak 1989. Presiden Iran Hassan Rouhani memenangi pemilihan presiden pada 2013 dengan dukungan para pemilih perempuan dan anak muda yang terpikat oleh komentar-komentarnya soal rakyat Iran yang berhak hidup bebas dan memiliki hak seperti warga dunia lainnya.
Namun, Rouhani dinilai tidak memenuhi janji-janjinya. ”Saya tidak mau memilih. Dulu saya selalu percaya pada hasil pemilu dan saya memilih presiden petahana di dua pemilu kemarin. Namun, ternyata sama saja, ingkar janji,” kata Sudabeh (28), seorang manajer penjualan.
Ratusan warga Iran di dalam dan luar negeri, termasuk di antaranya keluarga-keluarga para korban revolusi Iran 1979, mengajak masyarakat untuk memboikot pemilu. Seruan #NoToIslamicRepublic ini menyebar di media-media sosial Iran selama beberapa pekan terakhir. Banyak juga ujaran kemarahan terhadap kekerasan dalam unjuk rasa yang terjadi selama beberapa tahun terakhir dan terhadap insiden penembakan pesawat komersial Ukraina tahun 2020 oleh militer Iran yang diakui terjadi karena ada kesalahan.
Kelima kandidat presiden, empat dari kelompok konservatif-garis keras dan satu dari kubu moderat, dalam pidato dan pesan kampanyenya berusaha membujuk pemilih muda untuk ikut memilih. Mereka juga memanfaatkan media sosial untuk menjangkau 60 persen dari 85 juta jiwa populasi Iran yang berusia di bawah 30 tahun.
Khamenei, seperti pejabat lain, mempunyai ratusan ribu pengikut di Twitter dan Instagram meski akses ke media sosial secara resmi diblokir Iran. Pemblokiran itu membuat banyak anak muda marah. Banyak yang kemudian mencoba mengakali dengan memakai jaringan virtual privat.
”Sekarang begitu mereka butuh suara saya untuk mengejar agenda politik, mereka berjanji akan membuka blokir larangan media sosial. Saya tak akan memilih jika kebebasan saya dikekang,” kata Saharnaz (21), mahasiswa di kota Sari, sekitar 277 kilometer timur laut ibu kota Teheran.
Meski rakyat marah karena kesulitan ekonomi, para kandidat menjanjikan akan mengendalikan inflasi, menciptakan lapangan pekerjaan, dan menghentikan penurunan nilai mata uang Iran yang cepat. Namun, belum ada yang memaparkan rincian rencana itu.
Jamshid (27), warga kota Ahvaz, skeptis. ”Saya tidak akan memilih. Saya tidak punya pekerjaan dan putus asa. Sementara mereka bertambah kaya. Kenapa saya harus memilih di sistem yang menjadi sumber penderitaan hidup saya?” ujarnya.
Tantangan terbesar bagi Pemerintah Iran adalah persoalan kesulitan ekonomi yang terjadi akibat salah pengelolaan dan sanksi Amerika Serikat yang diberlakukan kembali setelah AS menarik diri dari kesepakatan nuklir 2015, tiga tahun lalu. Harga-harga untuk kebutuhan pokok, seperti roti dan beras, naik setiap hari. Daging juga tak terjangkau oleh banyak orang karena harganya bisa mencapai sekitar 40 dollar AS per kilogram. Sementara upah minimum setiap bulan hanya sekitar 215 dollar AS.
Banyak calon pemilih yang lebih memikirkan masalah kebutuhan pokok ini diduga akan memilih Raisi, ulama Syiah yang selama ini mendukung ”ekonomi perlawanan” Khamenei guna meningkatkan kemandirian dalam industri manufaktur dan layanan Iran. Namun, banyak juga yang kemungkinan memilih kandidat moderat mantan Direktur Bank Sentral, Abdolnaser Hemmati.
”Saya tidak peduli dengan politik. Saya hanya mau memikirkan cara untuk bisa memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. Hemmati satu-satunya kandidat yang bisa memperbaiki perekonomian,” kata Dadvar (41), ayah tiga anak di Isfahan itu.
Ditunjuk oleh Khamenei sebagai kepala kehakiman pada 2019, kandidat presiden unggulan, Raisi, pernah kalah dari Rouhani pada pemilu 2017. Ia menggantungkan harapan pada suara dari rakyat miskin Iran untuk bisa menang.
”Saya jelas akan memilih. Ini tugas dan tanggung jawab agama untuk memilih presiden yang setia pada revolusi. Hasil suara saya akan menampar musuh-musuh kami,” kata pemilih pemula, Sajjad Akhbari, di kota Tabriz.
Apa pun hasil pemilunya nanti, anak-anak muda hanya menginginkan Iran menjadi negara yang normal, bebas dari sanksi-sanksi, ketakutan akan perang, dan terbelenggu. ”Saya hanya mau presiden baru nanti, siapa pun itu, tidak ribut dengan negara lain dan begitu pula sebaliknya. Kami sudah muak dan tidak pantas hidup susah begini,” kata Rekabi yang bekerja sebagai akuntan.
Situasi Iran yang tak kunjung berubah ini membuat ratusan ribu orang memilih meninggalkan Iran dan pindah ke negara lain demi kehidupan yang lebih baik. ”Banyak teman saya sudah pindah dari sini. Saya cuma berharap situasi membaik supaya orang tetap betah tinggal di sini,” kata Hassani. (REUTERS/AP)