Israel dan Hamas kembali terlibat serangan udara setelah saling memprovokasi. Insiden ini berisiko menggoyahkan pemerintahan Israel baru yang koalisinya tak cukup kuat.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
GAZA, RABU — Militer Israel kembali melancarkan serangan udara ke lokasi-lokasi tempat persenjataan kelompok Hamas di kota Gaza dan Khan Younis. Serangan pertama sejak berakhirnya konflik bersenjata Israel-Hamas selama 11 hari pada bulan lalu ini untuk membalas kiriman balon-balon berbahan bakar dari arah wilayah Palestina. Balon-balon itu menyebabkan terjadinya 20 kebakaran di permukiman penduduk dekat perbatasan Gaza.
Militer Israel, Rabu (16/6/2021), mengaku siap menghadapi skenario apa pun, termasuk terlibat dalam pertikaian bersenjata lagi jika serangan teror terus datang dari Gaza. Kelompok Hamas membenarkan serangan Israel itu dan menyatakan rakyat Palestina akan tetap melawan dan mempertahankan hak mereka di Jerusalem.
Peristiwa ini menjadi ujian pertama bagi pemerintahan baru Israel yang dinilai rentan goyah karena koalisi gado-gado yang hanya dipersatukan oleh keinginan untuk menggulingkan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Beberapa jam sebelum serangan balon berbahan bakar itu, ribuan warga Israel mengibarkan bendera di sekitar gerbang Damaskus di kota tua Jerusalem, lalu berjalan ke Tembok Barat. Hal ini yang memicu protes dan amarah warga Palestina.
Israel menduduki Jerusalem timur dalam perang 1967 kemudian mencaploknya. Israel menganggap seluruh kota sebagai ibu kotanya dan ini dikecam komunitas internasional. Sementara Palestina menginginkan wilayah Jerusalem timur menjadi ibu kota negara masa depan yang akan mencakup wilayah Tepi Barat dan Gaza.
Serangan dari arah Palestina sudah diantisipasi sebelumnya oleh militer Israel yang telah menyiagakan sistem antirudal Iron Dome yang mampu mencegah serangan roket dari Gaza. Seluruh sistem antirudal itu sudah disiapkan sebelum pawai bendera dimulai. Namun, sampai malam menjelang, tidak ada serangan roket dari wilayah Palestina. Pawai bendera semula dijadwalkan pada 10 Mei lalu sebagai bagian dari perayaan Hari Jerusalem memperingati pendudukan Jerusalem timur oleh Israel.
Selain menyiagakan sistem antirudal, pawai bendera itu juga sudah diubah rutenya dari Gerbang Damaskus dan kawasan Muslim Kota Tua. Namun, upaya itu tak mampu mencegah Hamas menyerang kembali. PM Israel yang baru, Naftali Bennett, memberikan izin penyelenggaraan pawai bendera. Padahal, Amerika Serikat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa sudah meminta perayaan itu ditunda dulu.
Pada saat pawai bendera pun terjadi bentrokan. Aparat kepolisian memblokade jalan serta menembakkan granat kejut dan peluru berujung busa untuk mengeluarkan warga Palestina dari jalanan utama. Sekitar 33 warga Palestina dilaporkan terluka dan 17 orang ditahan. Rakyat Palestina menganggap pawai bendera itu provokatif. Bennett dan anggota-anggota koalisi sayap kanan tidak mempunyai pilihan lain selain memberikan izin. Pasalnya, jika dibatalkan, mereka akan dianggap menyerah pada Hamas.
Namun, Mansour Abbas dari Partai Raam, faksi Arab pertama yang bergabung dengan koalisi Israel, berpendapat lain. Ia menilai pawai bendera itu sebenarnya hanya upaya mengganggu kawasan itu demi tujuan politik, yakni membuyarkan pemerintahan Israel yang baru. ”Seharusnya pawai bendera itu dibatalkan. Saya minta semua pihak untuk tidak terpancing dan tetap menahan diri,” ujarnya.
PM Palestina Mohammad Shtayyeh juga menilai pawai bendera itu juga merupakan bentuk agresi terhadap rakyat Palestina. Kementerian Luar Negeri Jordania mengecam pawai bendera itu karena merusak semua upaya mengurangi konflik antara Israel dan Palestina. (REUTERS/AP)