Menjaga Keseimbangan di Utara Natuna
Amerika Serikat kalah beberapa langkah dari China dalam perebutan pengaruh di kawasan Asia Tenggara. Washington harus mengubah paradigma dalam relasinya dengan ASEAN jika ingin jadi kekuatan penyeimbang China di kawasan.
Jika perebutan pengaruh antara Amerika Serikat dan China di Asia Tenggara adalah ujian, Washington mungkin bisa dikatakan saat ini tidak lulus. Washington sibuk menimbun kekalahan, sementara Beijing terus menambah kemenangan. Padahal, AS punya modal lebih banyak untuk bersaing di kawasan.
Survei ISEAS Yusof Ishak 2021 menemukan, 61 persen responden lebih suka Asia Tenggara merapat ke Washington daripada Beijing. Sebagian anggota ASEAN juga harus berhadapan dengan China gara-gara sengketa Laut China Selatan.
Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi sampai menyebut, Laut China Selatan akan menjadi ujian bagi hubungan ASEAN-China. Karena itu, di sela pertemuan Menlu ASEAN-China di Chongqing, China, 5-7 Juni 2021, Retno mengajak Beijing mencari cara mengelola dan menyelesaikan masalah itu.
Baca juga : Myanmar dan Laut China Selatan Jadi Ujian ASEAN
Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Evan A Laksmana, mengatakan, persoalan Laut China Selatan amat kompleks. Hukum internasional dan persaingan AS-China hanya sebagian aspek persoalan Laut China Selatan. Di perairan yang dilayari kapal niaga pengangkut komoditas bernilai hingga 5,2 triliun dollar AS per tahun itu juga ada masalah tumpang tindih klaim hingga perebutan sumber daya.
Ada pula persoalan militerisasi oleh pihak di luar kawasan. AS-China, dan belakangan Australia hingga Eropa, bertanggung jawab pada militerisasi perairan itu.
Ketegangan di sana perlu dikelola, sedangkan masalah yang ada perlu diselesaikan. Evan mengatakan, para pihak yang berkepentingan perlu menyadari bahwa Laut China Selatan harus didekati dengan dua perspektif, yakni pengelolaan dan penyelesaian.
Pengelolaan masalah Laut China Selatan, antara lain, lewat pembuatan panduan tata perilaku (CoC) yang sudah hampir 10 tahun dirundingkan dan belum ada tanda akan selesai. Adapun penyelesaian persoalan Laut China Selatan, antara lain, menggunakan mekanisme hukum internasional atau kesepakatan di antara para pihak yang baku klaim.
Tidak mudah mengharapkan ASEAN bisa ligat mengelola dan menyelesaikan belitan persoalan di Laut China Selatan. Jangankan dengan pihak luar, sesama ASEAN pun ada baku klaim. Malaysia saling klaim wilayah perairan dengan Vietnam, Indonesia, hingga Brunei Darussalam. Negara-negara ASEAN tentu saja beradu klaim dengan China.
Kehadiran AS
Di tengah saling klaim ASEAN-China, AS hadir dengan alasan menjalankan hak kebebasan berlayar. Meski sebagian anggotanya menolak kehadiran militer asing di kawasan, tidak dapat ditampik bahwa ASEAN diuntungkan oleh pengerahan armada AS dan sekutunya.
Baca juga : NATO Akan Bahas Ancaman Rusia dan Kebangkitan Militer China
Dengan dua kapal induk, 204 kapal perang aneka ukuran, dan 56 kapal selam membuat kemampuan militer China jauh di atas ASEAN. Hanya AS dengan 11 kapal induk, 151 kapal perang, dan 68 kapal selam yang bisa mengimbangi kekuatan sebesar itu. Kekuatan AS semakin bertambah dengan kehadiran armada sekutunya di Asia Tenggara.
Kepala Kebijakan Luar Negeri dan Pertahanan Uni Eropa Josep Borrell sudah mengumumkan, armada Uni Eropa akan lebih kerap hadir di Asia Tenggara. Australia sudah lebih dulu bolak-balik mengoperasikan kapal perang di Laut China Selatan.
Baca juga : Wawancara dengan Josep Borrell: Armada Eropa Hadir di Asia Tenggara
Armada Washington dan sekutunya menjadi penyeimbang strategis kekuatan Beijing di Laut China Selatan yang berada di utara Natuna, Kepulauan Riau. Beijing-Washington masih sama-sama memahami situasi bahwa dua kekuatan sama besar dapat terperangkap dalam konfrontasi terbuka. Sebab, mereka tahu dampak konflik bersenjata amat besar jika diukur dari kekuatan masing-masing. Karena itu, meski kerap amat tegang, AS-China masih terus berupaya hanya adu mulut dan tidak berkembang menjadi baku tembak.
Masalahnya, AS dan sekutunya terlalu fokus menghadapi China. Presiden AS Joe Biden dan Menlu AS Antony Blinken berkali-kali menyatakan, China menjadi ujian terpenting AS di abad ke-21. Washington bertekad menghadapi Beijing di mana pun, termasuk di Asia Tenggara.
Fokus pada Beijing bisa menjadi salah satu kendala AS berhubungan dengan ASEAN. Beijing setuju ASEAN tidak perlu berpihak. Sebab, menurut Derek Grossman dari lembaga kajian pertahanan AS, RAND, kondisi itu menguntungkan Beijing. Dalam berbagai kesempatan, ASEAN memang selalu meminta AS-Beijing untuk tidak memaksa ASEAN berpihak pada Washington atau Beijing.
Sayangnya, Washington masih mempertahankan paradigma ”berpihak atau berseberangan dengan kami”. Washington, menurut Grossman, merasa tidak cukup jika
ASEAN netral saja dalam kompetisi AS-China. Analis senior RAND itu menilai bahwa sikap tersebut merupakan salah satu kesalahan AS terhadap ASEAN. Washington selayaknya memahami pentingnya makna netralitas dan sentralitas ASEAN.
Narasi ekonomi
RAND dan ISEAS Yusof Ishak jelas menyimpulkan, ASEAN memprioritaskan narasi ekonomi daripada politik dan keamanan. Ini pilihan rasional bagi kawasan yang stabil selama puluhan tahun. RAND mendorong AS memprioritaskan hubungan ekonomi kepada negara-negara ASEAN.
Baca juga : Tandingi Ambisi Teknologi China, AS Siapkan Subsidi Rp 2.400 Triliun
Sayangnya, rekomendasi RAND malah lebih didengar China ketimbang AS. Beijing mendorong ekonomi sembari tetap agresif di Laut China Selatan. Sementara AS terus-menerus membawa narasi politik dan keamanan.
Sejumlah diplomat ASEAN bingung dengan prioritas AS di Asia Tenggara. Meski tahu fokus AS menghadapi China, ASEAN tetap sulit memahami keputusan AS fokus ke negara-negara di sekitar aliran Sungai Mekong. Selain karena kawasan itu hanya dihuni 36 persen populasi ASEAN, sebagaimana disimpulkan RAND, AS praktis tidak bisa mengimbangi China di sana.
Kamboja, Laos, dan Myanmar nyaris sulit dipisahkan dari China. Thailand relatif berimbang. Hanya Vietnam yang terus bersitegang dengan China sembari tetap menjaga jarak dari Washington.
Tidak cukup dengan paradigma yang salah, AS pun terus membuat ASEAN kecewa. Setelah Presiden Donald Trump tidak hadir di pertemuan ASEAN 2018-2020, Biden tidak kunjung menghubungi para pemimpin ASEAN sejak dilantik. Di Asia, Biden fokus menghubungi kepala negara di Asia Selatan, Asia Timur, dan Timur Tengah.
Blinken ikut memperburuk situasi kala gagal mengikuti pertemuan virtual dengan para Menlu ASEAN, 25 Mei lalu. Para Menlu ASEAN begitu marah karena dibiarkan menanti Blinken selama 45 menit kala tim teknisi AS mencoba menyambungkan Menlu AS itu ke telekonferensi video. Mereka semakin marah kala Washington menawarkan Wakil Menlu AS Wendy Sherman menggantikan Blinken yang kala itu sedang terbang dari Washington ke Jerusalem.
Sejumlah diplomat ASEAN menyebut, persoalan teknis tidak layak dijadikan alasan kegagalan Blinken hadir di pertemuan yang sudah dirancang jauh-jauh hari itu. Sulit menilai AS mau serius berhubungan dengan ASEAN jika mengurus persoalan sambungan telekonferensi video saja tak mampu. (AFP/REUTERS)