Kubu Reformis Ingatkan Bila Kubu Ultrakonservatif Berkuasa
Calon presiden dari kubu reformis mengingatkan masa depan Iran jika dalam pilpres 18 Juni mendatang memilih kandidat dari kubu ultrakonservatif. Sementara, perundingan nuklir di Vienna belum menunjukkan hasil.
Oleh
Mahdi Muhammad
·5 menit baca
TEHERAN, MINGGU — Kandidat presiden Iran dari kubu reformis, Abdolnasser Hemmati, memperingatkan kemenangan kubu ultrakonservatif pada pemilihan presiden yang akan berlangsung pada 18 Juni nanti, dapat membuat kehidupan rakyat negara itu akan lebih berat. Kemenangan capres dari kubu ultrakonservatif dinilainya akan membawa Iran ke dalam krisis yang lebih dalam.
”Apa yang terjadi jika kekuasaan jatuh ke tangan kelompok garis keras? Apa yang terjadi jika kekuasaan jatuh ke tangan Anda? Saya sampaikan dengan sangat jelas: sanksi baru dengan konsensus global yang lebih kuat,” kata Hemmati, menutup debat terakhir menjelang pemilihan presiden, Sabtu (12/6/2021).
Hemmati (64) adalah salah satu dari tujuh capres yang disetujui oleh Dewan Perwalian atau Guardian Council untuk mencalonkan diri pada pilpres 18 Juni nanti. Sejumlah jajak pendapat dan analisis menunjukkan Hemmati, mantan Kepala Bank Sentral Iran, tertinggal dalam hal popularitas dibandingkan dengan kandidat lain, khususnya dari kubu ultrakonservatif, yaitu Ebrahim Raisi.
Empat kandidat lain yang dianggap mewakili kubu ultrakonservatif adalah Wakil Ketua Parlemen Pertama Amirhossein Ghazizadeh-Hachemi, mantan Sekretaris Jenderal Dewan Tertinggi Keamanan Nasional Saeed Jalili, mantan Panglima Tertinggi Garda Revolusi Jenderal Mohsen Rezaei, dan anggota parlemen Alireza Zakani.
Pernyataan Hemmati soal kemungkinan akan jatuhnya kembali sanksi bagi Iran bertepatan dengan putaran keenam perundingan tidak langsung Iran-Amerika Serikat tentang implementasi kembali kesepakatan nuklir Iran atau yang lebih dikenal dengan Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) 2015. Keputusan mantan Presiden AS Donald Trump mundur dari perjanjian tersebut pada 2018 dan menerapkan sanksi ekonomi yang lebih kuat secara sepihak, membuat Iran memutuskan untuk terus melakukan pengembangan program nuklir mereka.
Hemmati mengatakan, jika terpilih sebagai presiden, dia bersedia membuka dialog dan bahkan bertemu langsung dengan Presiden AS Joe Biden untuk membicarakan hubungan kedua negara. Dia menyatakan, Pemerintah AS harus memperlihatkan sinyalemen yang lebih kuat dan lebih baik kepada rakyat Iran. Sejauh ini, dalam pandangannya, dia belum melihat sikap yang serius dari pemerintahan Biden.
Hemmati mengatakan, langkah bijak pertama yang harus dilakukan untuk mengurangi ketegangan di wilayah Timur Tengah dan bahkan lebih luas lagi adalah komitmen AS kembali ke JCPOA.
”Pertama-tama mereka harus kembali ke (kesepakatan nuklir). Jika kita melihat proses dan muncul kepercayaan diri yang lebih besar, kita bisa membicarakannya,” kata Hemmati.
Di bawah Presiden Hassan Rouhani, yang kini tengah menjalani masa akhir kepresidenannya—periode kedua—Iran sempat menikmati masa membaiknya perekonomian setelah penandatanganan JCPOA 2015. Saat itu AS dipimpin oleh Barack Obama.
Akan tetapi, kebijakan Trump untuk mundur dari perjanjian itu dan memaksa menerapkan sanksi ekonomi sepihak membuat Iran merasakan dampak keras sanksi itu.
Sebagai kandidat yang memiliki pemahaman lebih soal perekonomian, Hemmati menjadikan masalah ini sebagai fokus kampanyenya. Selama dua kali debat capres, dia berulang kali menyebut tantangan yang dihadapi rakyat Iran adalah tabungan yang menguap karena devaluasi mata uang rial, inflasi yang selalu dua digit serta kelangkaan lapangan pekerjaan.
Selama tiga tahun menjabat sebagai kepala bank sentral, Hemmati membantu kabinet Rouhani menjalankan perekonomian di tengah kesulitan tinggi akibat sanksi. Dia menyatakan memiliki banyak rencana untuk memperbaiki situasi perekonoian Iran, tetapi belum mau merinci rencana-rencana itu.
”Kami berhasil menetralisasi sanksi dan menjalankan ekonomi selama tiga tahun terakhir dari sanksi yang sulit. Pasti saya punya rencana (skenario) itu juga, tetapi kami akan mencoba membantu kesepakatan mencapai hasil yang positif. Insyaallah,” ujarnya.
Saat ditanya apakah Iran bersedia menerima pembatasan atau sanksi lebih lanjut, seperti pada pembatasan program rudal balistiknya untuk mendapatkan keringanan sanksi, Hemmati mengatakan, Teheran akan menolak tawaran semacam itu. ”Komitmen nuklir Iran harus berada di dalam kerangka kesepakatan. Jika komitmen itu tidak berada dalam kerangka itu, baik pemimpin (tertinggi) maupun presiden tidak akan menerimanya.”
Gedung Putih tidak mengeluarkan komentar apa pun terhadap pernyataan Hemmati, termasuk kemungkinan pertemuan Biden dengannya bila terpilih nanti.
Raisi sendiri mengkritik pernyataan-pernyataan Hemmati sebagai pernyataan yang lembek. Menurut dia, Hemmati, sebagai mantan anggota pemerintahan Rouhani, tidak akan dapat mengimplementasikan kesepakatan nuklir karena Iran memerlukan pemerintahan yang kuat.
Terorisme ekonomi
Keinginan sejumlah negara peserta perundingan tidak langsung agar negosiasi bisa berlangsung cepat dan segera menghasilkan kesepakatan, tampaknya sulit terwujud. Lunturnya kepercayaan para pihak terhadap pihak lain, dalam hal ini Iran dan Amerika Serikat, membuat negosiasi menjadi lebih alot.
Pemimpin delegasi Iran yang merupakan Wakil Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araqchi menyatakan negosiasi itu tidak mungkin berakhir sebelum pemilihan presiden Iran pada hari Jumat. ”Saya tidak berpikir kita akan dapat mencapai kesimpulan akhir di Wina minggu ini,” kata Araqchi.
Sesaat sebelum perundingan dimulai, Araqchi menyatakan, tindakan AS untuk memberikan sanksi ekonomi sepihak sebagai sebuah bentuk terorisme ekonomi terhadap rakyat Iran di tengah pandemi yang meluluhlantakkan dunia. Dalam pandangan Iran, tindakan AS itu merupakan sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan.
”Trump sudah pergi. Tapi, sanksinya yang melanggar hukum dan membunuh masih ada. Terorisme ekonomi di tengah pandemi adalah kejahatan terhadap kemanusiaan,” katanya, dikutip dari kantor berita IRNA.
Hal senada disampaikan Duta Besar Iran untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa Majid Takht Ravanchi. Dikutip dari kantor berita Tasnim, klaim Gedung Putih bahwa mereka telah mengubah sikap tidak terbukti. Dalam praktiknya, menurut Ravanchi, kebijakan dan sanksi ekonomi maksimum yang dirasakan oleh rakyat Iran masih berlanjut.
”Kebijakan dan sanksi yang melanggar hukum dan tidak manusiawi tersebut, Iran tidak dapat, antara lain, menggunakan sumber daya keuangannya di bank asing untuk mengimpor obat-obatan yang bahkan sangat dibutuhkan di tengah wabah Covid-19,” katanya. (AP/Reuters)