G-7 sepakat, kebangkitan China adalah salah satu peristiwa geopolitik yang amat penting. Kebangkitan itu setara dengan keruntuhan Uni Soviet dan akhir Perang Dingin.
Oleh
kris mada
·3 menit baca
LONDON, MINGGU — China mengingatkan Amerika Serikat dan sekutunya di G-7 tentang tatanan dunia masa kini. Beijing menyebut, masa tujuh negara terkaya itu mengatur dunia sudah lama berakhir.
Pernyataan keras disampaikan Kedutaan Besar China di London menjelang penutupan pertemuan G-7 di Inggris, Minggu (13/6/2021). ”Hari-hari keputusan dunia diarahkan oleh sekelompok kecil negara sudah lama berakhir. Kami selalu menyakini bahwa negara, kecil atau besar, kuat atau lemah, kaya atau miskin, setara. Urusan dunia harus ditangani lewat perundingan dengan semua negara,” demikian pernyataan Kedubes China di London.
Beijing menyampaikan hal itu setelah Amerika Serikat, Inggris, Kanada, dan Perancis sepakat kelompok tujuh negara terkaya bersikap keras kepada China. Sementara Italia dan Jerman lebih lunak. Adapun Jepang tidak menunjukkan sikap secara tegas.
Kanselir Jerman Angela Merkel menyatakan, pertemuan G-7 di Inggris menggambarkan kepentingan bersama. ”Ada diskusi yang bagus, konstruktif, jelas dengan semangat semua ingin bekerja sama,” ujarnya.
Inggris ingin dunia tidak terlalu bergantung kepada China. Pandemi Covid-19 menunjukkan kerentanan rantai pasok global yang terlalu bergantung pada China. Bersama AS, Inggris juga terus mendorong sikap lebih keras pada China.
London juga terus menyoroti masalah Hong Kong yang pernah diduduki Inggris sampai 1997. Inggris ingin China menghormati kesepakatan Beijing-London yang isinya antara lain menjamin sistem demokrasi di Hong Kong sampai setidaknya pada 2047.
Meski ada perbedaan, dalam komunike G-7 2021 disepakati bahwa kebangkitan China adalah salah satu peristiwa geopolitik yang amat penting. Kebangkitan itu setara dengan keruntuhan Uni Soviet dan akhir Perang Dingin.
Vaksin
Hal lain yang disinggung dalam komunike adalah sumbangan 1 miliar vaksin dari G-7 untuk negara miskin. Setelah diungkap Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, G-7 akhirnya menyepakati sumbangan vaksin Covid-19 yang 500 juta di antaranya dari AS.
Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia Tedros Adhanom Ghebreyesus gembira dengan kesepakatan itu. Demikian pula Direktur Pengelola Dana Moneter Internasional Kristalina Georgieva.
Meski demikian, Georgieva mendorong ada tambahan sumbangan vaksin dari G-7 dan negara-negara lain yang makmur. ”Hal ini kewajiban moral, juga penting untuk pemulihan ekonomi yang kukuh. Sebab, kita tidak bisa membagi dunia pada dua lajur tanpa dampak negarif,” katanya.
Dengan populasi setara 10 persen penduduk Bumi, G-7 telah menguasai 33 persen cadangan vaksin. Lebih dari separuh penduduk G-7 telah menerima dosis pertama vaksin Covid-19. Sementara hanya 2,2 persen penduduk Afrika sudah menerima dosis pertama. Adapun secara global, baru 13 persen penduduk Bumi mendapat vaksin dosis pertama
Tedros mengatakan, vaksinasi populasi global harus mencapai 70 persen pada 2022. Untuk melakukan itu, dunia membutuhkan 11 miliar dosis vaksin.
Sebelum pertemuan G-7, Johnson sudah mengingatkan pentingnya bantuan G-7 pada proses vaksinasi negara-negara miskin. Bantuan G-7 bisa berkontribusi pada upaya pemulihan yang lebih cepat selepas pandemi.
Johnson khawatir, jika tidak dibantu dalam proses vaksinasi, negara-negara miskin menolak bekerja sama pada agenda yang tidak kalah penting, yakni pengendalian perubahan iklim.
Lantaran perekonomiannya terpukul selama pandemi, negara-negara miskin bisa memacu eksploitasi sumber daya alam dan peningkatan penggunaan bahan bakar fosil demi pemulihan ekonomi.
Hal itu bisa membuat emisi gas rumah kaca meningkat sehingga target pengendalian suhu permukaan bumi sulit tercapai. Pada 2015, dunia sepakat memangkas emisi gas rumah kaca untuk menekan kenaikan suhu permukaan bumi. (AP/REUTERS)