"Sneakers" dan Simbol dari Gaya, Uang, hingga Darah
Bermula dari upaya memenuhi kebutuhan sepatu yang nyaman dipakai, ”sneakers” berevolusi menjadi komoditas sarat makna. ”Sneakers” menjadi simbol ekspresi diri, status ekonomi, afiliasi politik, dan komunitas tertentu.
Sepatu sneakers mungkin jenis alas kaki yang paling digemari di dunia. Akan tetapi, sejarah sepatu yang bagi sebagian orang adalah kebutuhan sehari-hari sampai menjadi status simbol ini jauh sekali dari kesan sederhana. Perkembangan tren dan komsumsi sneakers global mencakup berbagai pergerakan sosial, politik, dan ekonomi generasi muda yang menolak untuk masuk ke dalam cetakan norma konvensional.
Layaknya benda komoditas zaman modern, sneakers melintasi batas kelas. Bahkan, sejumlah literatur bisnis maupun budaya populer berpendapat sneakers adalah satu-satunya produk yang diakui di kalangan ekonomi atas, menengah, dan bawah. Dinamika sneakers berubah tergantung dengan zaman, ada masa ketika sneakers adalah produk untuk kelas elit, dan ada pula masa ketika sneakers menjadi komoditas murah yang lazim ditemui dari pasar sampai emperan.
Dalam pameran “Out of the Box: The Rise of Sneakers Culture” yang berlangsung sejak tahun 2013 dan berkeliling ke museum-museum di Amerika Serikat (AS) dan Kanada diceritakan bahwa sneakers pertama kali diciptakan di akhir abad ke-19. Pada waktu itu, kalangan elit Barat gemar bermain tenis dan mencari jenis alas kaki yang nyaman serta tangguh dipakai di lapangan.
Kata “sneakers” sendiri berasal dari bahasa Inggris, yaitu “sneak” yang berarti sembunyi-sembunyi. Hal ini karena sol karet sepatu ini tidak menimbulkan bunyi ketika menapak. Berbeda dengan sepatu pantofel ataupun hak tinggi bersol kayu yang menetak-netak ketika dipakai berjalan.
“Setelah Perang Dunia I, sneakers menjadi sangat populer karena negara-negara Barat mendorong rakyatnya untuk rajin berolahraga. Kesegaran jasmani masuk ke kurikulum sekolah tanpa terkecuali karena ini salah satu cara menyiapkan generasi muda berfisik sehat dan siap diterjunkan ke medan perang kalau-kalau ancaman itu datang kembali,” kata kurator pameran sekaligus peneliti budaya sneakers, Elizabeth Semmelback dalam wawancaranya dengan The Atlantic pada Desember 2016.
Akibatnya, sneakers yang awalnya sepatu kaum borju kini menjadi sepatu sejuta umat karena nyaman, tahan lama, dan harganya jauh lebih murah dibandingkat sepatu dari kulit. Di AS, perusahaan Converse Rubber Shoe Company pada tahun 1917 membuat sneakers untuk dipakai bermain bola basket. Mereka menggaet atlet Chuck Taylor sebagai dutanya. Kini, Converse Chuck Taylor adalah salah satu merek sneakers paling laku di dunia.
Sementara itu, di Jerman, keluarga Dassler yang awalnya membuat sepatu konvensional juga mencoba membuat sepatu olahraga. Sneakers mereka dipakai di Olimpiade 1936 oleh atlet AS, Jesse Owens yang berkulit hitam. Fakta tersebut dan kemenangan Owens dalam lomba lari 100 meter mengalahkan atlet NAZI Jerman dianggap kontroversial sekaligus melejitkan pamor sepatu olahraga merek Dassler. Tahun 1948, Dassler bersaudara bersengketa sehingga perusahaan mereka pecah. Sang kakak, Adolf Dassler membangun merek Adidas, sementara Rudolf Dassler adiknya membuat merek Puma.
Baca juga: "Sneaker" adalah Anda. Apa "Sneaker" Anda?
Muda, pemberontak
Di AS, sneakers mulai jamak ditemui pada 1950an ketika anak-anak muda memakainya sehari-hari, terlepas mau pergi berolahraga, ke sekolah, atau cuma nongkrong dengan teman-teman. Meskipun begitu, sepatu ini masih identik dengan kelompok remaja badung. Apalagi, aktor James Dean memakai sepatu Converse di film Rebel Without A Cause yang bercerita tentang pemuda pemberontak doyan kebut-kebutan. Tampilan Dean menginspirasi remaja zaman itu meniru gaya berbusananya.
Namun, pada saat yang sama, murahnya harga sneakers berarti alas kaki ini juga diakses oleh anak-anak muda dari kalangan ekonomi bawah. Akibat rasialisme sistemik di AS, mayoritas warga yang masuk kalangan ini adalah kulit berwarna. Hal ini membuat sneakers di kota-kota besar juga identik dengan tindak kejahatan karena sebagian besar pelaku adalah warga kulit berwarna.
Harian The New York Times pada 7 Juli 1979 menerbitkan artikel yang menjelaskan kata “sneak” yang juga bisa diartikan mengendap-endap seolah menjadi ironi bagi sepatu ini. Jambret dan maling memakai sneakers karena membuat langkah kaki mereka tidak terdengar oleh korban yang mereka sergap di trotoar atau rumah yang mereka satroni.
Bahkan, kepolisian di New York serta sejumlah kota besar lainnya mengakui bahwa setiap kali mereka berpatroli di jalanan, petugas selalu mengawasi anak-anak muda yang memakai sneakers berlalu lalang. Pengakuan salah satu petugas di artikel itu menyebutkan polisi bekerja ekstra untuk memastikan apabila ada orang berlari di trotoar itu sedang joging atau kabur setelah menjambret.
Petugas polisi kemudian menyebut sneakers sebagai “sepatu penjahat”. Bukan hanya sepatu ini ringan dan nyaman dipakai berlari dari kejaran polisi, tetapi juga kelompok preman sampai geng bersenjata menjadikan sneakers sebagai salah satu penanda identitas mereka. Jika pemakai sneakers adalah pemuda kulit berwarna, polisi otomatis mencurigainya sebagai anggota geng atau pelaku kejahatan.Baca juga: "Pemberontak" dalam Lipatan Sejarah
Bagi wong cilik, sneakers mendekatkan mereka dengan olahragawan, bintang film, dan penyanyi idola. Memiliki serta memakai sneakers ciptaan mereka menjadi simbol status baru. Apalagi, sneakers bisa dipakai berjalan mulai dari di atas lantai marmer yang mewah sampai di jalanan becek.
Di Afrika Selatan misalnya, sneakers menunjukkan asal-usul serta geng afiliasi seseorang pada 1980an. Geng dari kota Capetown identik dengan Converse All Star, sementara geng dari Soweto memilih berjamaah memakai Nike. Berkat sneakers pula para pemuda yang dianggap berandalan ini bisa mengembangkan musik serta tarian jalanan bernama “pantsula” yang menjadi simbol perlawanan mereka terhadap politik apartheid.
“Waktu masih remaja, orangtua melarang saya memakai sneakers karena takut nanti ditangkap polisi akibat dikira anggota geng atau melawan pemerintah. Sekarang zaman sudah berubah dan mengoleksi sneakers sudah jadi hal yang diterima masyarakat,” kata Hector Magiba, kolektor sneakers dari Johannesburg.
Pada tahun 2015, di Los Angeles, AS, seorang remaja tewas ditembak oleh anggota geng gara-gara memakai sneakers merah yang menjadi ciri khas geng lawan. Remaja yang memiliki disabilitas mental itu tidak mengerti ketika pelaku memerintah ia mencopot sepautnya. Dianggap melawan, Tavin Price pun ditembak empat kali dan meninggal dunia di rumah sakit. Pelaku divonis penjara 12 tahun.
Pemberontakan femininitas
Meskipun begitu, pemberontakan bersimbol sneakers tidak selalu disertai dengan darah. Tengok saja Wakil Presiden AS Kamala Harris yang ketika berkampanye selalu tampak memakai Converse kesayangannya. Penampilan Harris memberi angin segar bahwa perempuan di kancah politik tidak wajib lagi selalu tampil konservatif dengan sepatu berhak tinggi. Bahkan, ketika menjadi sampul majalah mode Vogue, ia dipotret memakai Converse berwarna merah jambu.
“Harris membuktikan bahwa perempuan tetap bisa tampil cantik, profesional, dan gaul dengan sneakers-nya. Justru, berkat sneakers itu generasi Milenial dan Gen Z dewasa merasa dekat dengan dia dan mau mendengar gagasannya,” tutur Semmelhack seperti dikutip dari The Guardian.
Demikian pula sutradara Chloe Zhao yang keturunan Tionghoa. Ketika memenangi penghargaan Academy Awards untuk Sutradara Terbaik, ia tampil dengan wajah tanpa riasan dan kaki memakai sneakers putih. Warganet di China menyambut penampilan tersebut sebagai pembuktian bahwa perempuan bisa ayu dengan cara dan definisi masing-masing, bukan atas standar yang dibebankan oleh orang lain.
Baca juga: Tubuh Kurus dan Para Pemberontak Stereotipe Kecantikan di China
Simbol status dan politik
Era 1970an adalah masa ketika sneakers mulai berkolaborasi dengan berbagai seniman musik hiphop di AS agar memakai produknya ketika manggung. Kepraktisan, kenyamanan, dan ketenaran berkelindan. Artis-artis terkenal juga semakin sering muncul di televisi mengenakan sneakers. Harga sneakers yang murah membuat sejumlah pesohor terang-terangan mengoleksi satu jenis sneakers dengan berbagai warga dan mulai mengenalkan budaya kolektor sneakers kepada masyarakat.
“Apalagi, memasuki 1980an Nike bekerja sama dengan legenda bola basket Michael Jordan untuk membuat sneakers khusus, Air Jordan. Dunia pertama kali mengenal sneakers yang tidak hanya dipakai oleh orang terkenal, tetapi bisa dibilang turut diciptakan oleh selebritas itu. Di sini sneakers edisi khusus mulai dijual dengan harga dua hingga puluhan kali lebih mahal daripada sneakers reguler dari merek yang sama dan ternyata konsumen rela menabung berbulan-bulan gaji demi membeli sneakers ini,” kata Semmelhack.
Sneakers sebagai simbol status ekonomi dan sosial membuat sepatu ini semakin diminati. Bahkan, jenama-jenama internasional yang secara umum tidak ada keterkaitan dengan olahraga pun tidak mau ketinggalan berkolaborasi. Stella McCartney berkolaborasi dengan Adidas, demikian pula dengan artis hiphop Kanye West dan Missy Elliott. Jenama Gucci dan Hugo Boss malah memilih membuat sneakers sendiri.
Baca juga: Militansi Para "Sneakerhead"
Masifnya pemakaian sneakers pun menggeret mereknya ke dalam isu politik tertentu. Misalnya, merek New Balance terang-terangan mendukung Presiden AS Donald Trump, kelompok sayap kanan bahkan sempat mengunggah di media sosial bahwa New Balance adalah sepatunya orang kulit putih. Akibatnya, para penggemar sneakers ini ramai-ramai membuang, bahkan membakar koleksi New Balance mereka.
Nike juga menunjukkan afiliasi politik mereka dengan menjadikan atlet futbol amerika Colin Kaepernick sebagai wajah kampanye hak asasi warga kulit hitam, Black Lives Matter. Kini giliran warga konservatif dan sayap kanan yang melakukan boikot.
Sejumlah kritik meminta agar perusahaan sneakers tidak usah ikut-ikutan isu politik ataupun pergerakan masyarakat. Tugas mereka membuat sepatu yang bermutu baik dan bisa diakses oleh semua orang. Biarlah pemaknaan politik, ekonomi, jender, dan sebagainya diberi oleh para pemakainya sebagai wujud kebebasan mereka berekspresi.
Akan tetapi, Ketua Program Studi Bisnis Olahraga Universitas Fordham, Mark Conrad, dilansir dari ABC News menjelaskan, identitas anak muda selalu politis. Mental komunal mereka membuat produk tertentu menjadi identitas bersama yang kemudian masuk ke dalam alam bawah sadar masyarakat yang mengaitkan jenis atau merek sepatu tertentu dengan kelompok spesifik.
“Di era media sosial anak muda semakin skeptis dan kritis. Mereka mempertanyakan etika perusahaan terhadap pekerja, dampak ke lingkungan, hingga dukungan politik si pemilik perusahaan. Semakin sulit bagi perusahaan untuk menghindar dari isu-isu ini sehingga akhirnya ada merek yang terang-terangan mengumumkan afiliasi ideologi mereka, baik karena memang mendukung atau sekadar memanfaatkan situasi untuk mencari laba,” tutur Conrad. (AFP/DNE)