Tragedi di Tigray dan Sejarah Panjang Kelaparan di Etiopia
Etiopia adalah salah satu negara di Afrika yang memiliki sejarah panjang tentang kemiskinan dan kelaparan. Kasus kelaparan terbaru terjadi akibat konflik di wilayah Tigray, diperkirakan menimpa ratusan ribu orang.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
ADDIS ABABA, KAMIS — Kelaparan adalah suatu cara yang kejam untuk mati. Tubuh yang kekurangan gizi akan mengonsumsi organnya sendiri untuk menghasilkan energi yang cukup untuk menjaga denyut kehidupan. Dalam sebuah kondisi kelaparan, maka mereka yang umumnya tidak mampu bertahan lebih dulu adalah anak-anak.
Demikian media BBC menggambarkan tentang kelaparan sebagai sebuah tragedi kemanusiaan. Tragedi itu saat ini tengah terjadi di Tigray, negara bagian di ujung utara Etiopia. Kompas mencatat, sebuah analisis yang tidak dipublikasikan oleh badan-badan di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan lembaga-lembaga kemanusiaan memperkirakan 350.000 warga di wilayah Tigray terancam kelaparan. Temuan data itu dirilis dalam pertemuan Komite Tetap Antarlembaga (IASC) dan gabungan 18 pemimpin lembaga PBB dan non-PBB, tengah pekan ini.
Sejumlah besar kematian karena kelaparan tidak dapat dihindari dan hal itu sedang terjadi di Tigray. Laporan BBC menceritakan kondisi mengenaskan di desa-desa terpencil di wilayah itu. Di pagi hari, warga kerap menemukan warga lain sudah terkapar tak bernyawa. Penyebab kematiannya beragam, mulai perempuan yang diculik tentara dan ditahan sebagai budak seksual hingga anak-anak yang mungkin kelaparan tanpa perawatan ibu mereka.
Sejumlah pihak menduga kelaparan di Tigray adalah suatu kondisi yang dibuat dan disengaja. Tigray menjadi pusaran baru konflik panjang di Tanduk Afrika setelah Somalia dan Somaliland. Sejak pecah pertikaian antara pasukan lokal dan pemerintah pada 4 November 2020, kekerasan bersenjata terus berlanjut.
Pekan demi pekan, tentara menghancurkan berbagai infrastruktur penopang kehidupan, mulai dari makanan dan pertanian, klinik dan rumah sakit, hingga persediaan air. ”Krisis parah ini disebabkan efek konflik yang berjenjang, termasuk perpindahan penduduk, pembatasan pergerakan, akses kemanusiaan yang terbatas, hilangnya panen dan aset mata pencarian, serta pasar yang tidak berfungsi atau tidak ada,” demikian analisis Integrated Food Security Phase Classification (IPC), sarana analisis ketahanan pangan dan pengambilan keputusan tentang pangan global.
Pemerintah Etiopia membantah analisis IPC itu dengan mengatakan bahwa kondisi kekurangan pangan tidak parah dan bantuan sedang dikirimkan.
Membantah
Pemerintah Etiopia membantah analisis IPC itu dengan mengatakan bahwa kondisi kekurangan pangan tidak parah dan bantuan sedang dikirimkan. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Etiopia, Dina Mufti, mengatakan pada konferensi pers, Kamis, pemerintah memberikan bantuan makanan dan bantuan kepada petani di Tigray. ”Mereka (para diplomat) membandingkannya dengan kelaparan tahun 1984, 1985, di Etiopia. Itu tidak akan terjadi,” katanya.
Terdapat beberapa parameter kondisi kelaparan di satu negara. Setidaknya 20 persen dari populasi harus menderita kekurangan pangan ekstrem. Sebanyak satu dari tiga anak kekurangan gizi akut. Selain itu, dua orang dari setiap 10.000 warga meninggal setiap hari karena kelaparan atau kekurangan gizi dan penyakit. Kelaparan telah dinyatakan dua kali dalam dekade terakhir: di Somalia pada 2011 dan di beberapa bagian Sudan Selatan pada 2017.
Etiopia adalah salah satu negara di Afrika yang memiliki sejarah panjang tentang kemiskinan dan kelaparan. The Washington Post mencatat, kelaparan Etiopia pertama yang tercatat terjadi pada abad ke-9. Sepuluh kelaparan besar melanda petani Etiopia antara tahun 1540 dan 1724. Menyusul pecahnya kelaparan lagi pada tahun 1820-an, kelaparan besar Etiopia tahun 1888-1889 melanda empat provinsi dan menewaskan 50.000 orang.
Dua kelaparan parah telah melanda Etiopia pada awal paruh kedua abad ke-20. Pada tahun 1965-1966, satu dari setiap dua orang Etiopia di Distrik Wag dan Lasta di Provinsi Welo meninggal karena kelaparan. Pada tahun 1972-1974, kekeringan dan kemudian kelaparan menyebar ke seluruh provinsi Etiopia di Wollo, Tigray, dan Eritrea. Sekitar 250.000 petani mati akibat tragedi kelaparan itu.
Ketika penjelajah Skotlandia, James Bruce, pergi ke perdesaan Etiopia pada abad ke-18, ia menulis bahwa ”petani di Abyssinia selalu miskin dan sengsara”. Mereka didera masalah kekeringan, terkena imbas banjir, dan gangguan serangga. Namun, dari semua itu, wabah terbesar dari semuanya adalah ”pemerintah yang buruk, yang dengan cepat menghancurkan semua keuntungan yang mereka peroleh dari alam, iklim, dan aneka situasi pelik”.
Semua itu telah menghasilkan fatalisme tertentu tentang kelaparan. Dalam kenyataannya, kondisi salah urus dan kebijakan yang eksploitatif Pemerintah Etiopia dinilai banyak berkaitan dengan petani yang kelaparan, seperti kekeringan dan gagal panen. Ironisnya demi kepentingan politik, kondisi itu kerap disanggah oleh pemerintah setempat. Selama enam bulan pada tahun 1973-1974, pemerintah mendiang Kaisar Haile Selassie menolak untuk mengakui bahwa kekeringan dan kelaparan telah melanda Etiopia.
Khusus Tigray, laporan World Peace Foundation mencatat, wilayah itu secara historis merupakan wilayah defisit pangan yang bergantung pada tenaga kerja migran. Wilayah itu adalah pusat bencana kelaparan (dengan Provinsi Wollo yang bertetangga) pada 1984-1985. Setelah tahun 1991, ekonomi wilayah itu dikembangkan dan dikonfigurasi ulang oleh pemerintah dalam kemitraan dengan donor internasional. Tigray pun menjadi lebih aman pangan melalui promosi pertanian petani kecil yang terdiversifikasi dan berkelanjutan, produksi wijen komersial, pertambangan rakyat, industri, dan berbagai komponen program jaring pengaman pangan. Hal itu adalah pencapaian besar yang membutuhkan waktu tiga dekade untuk membangunnya.
Paradoks ketahanan di Tigray adalah bahwa perkembangan itu telah mengekspos populasi pada kerentanan baru jika strukturnya dibongkar. Perekonomian dan sistem pangan telah terpukul keras oleh konflik. Penutupan bank dan lembaga keuangan mikro serta gangguan transfer sumber daya pemerintah, perampasan tanah dan pemindahan paksa, juga penjarahan besar-besaran memperparah kondisi. (AFP/REUTERS)