ASEAN gagap menghadapi junta militer yang kudetanya per 1 Februari lalu menghasilkan krisis keamanan berkepanjangan bagi rakyat Myanmar. ASEAN tak bisa berbuat banyak atas sikap junta yang tidak menjalankan konsensus.
Oleh
kris mada
·3 menit baca
YANGON, KAMIS — ASEAN gagap menghadapi junta militer yang kudetanya per 1 Februari lalu menghasilkan krisis keamanan berkepanjangan bagi rakyat Myanmar. Sejauh ini, ASEAN tak bisa berbuat banyak atas sikap junta yang tidak berminat mengikuti konsensus yang disepakati 1,5 bulan silam.
Hingga Kamis (10/6/2021), sebagaimana dicatat Asosiasi Pendampingan Tahanan Politik (AAPP) Myanmar, 858 warga tewas karena ditembak atau dipukuli aparat pendukung junta Myanmar. Ini adalah jumlah akumulatif sejak kudeta pecah per 1 Februari.
Namun, jika korban tewas dihitung sejak konsensus disepakati di Jakarta, 24 April, korban tewas mencapai 111 orang. Adapun jumlah korban terluka sudah mencapai ribuan dan tersebar di berbagai penjuru Myanmar. Sementara jumlah aparat yang tewas atau terluka tidak pernah diumumkan.
Warga yang ditangkap seluruhnya sudah hampir 6.000 orang. Masih ada lagi 2.000 orang yang masuk daftar buron junta. Penduduk yang mengungsi di tujuh daerah dikabarkan mencapai hampir 230.000 jiwa. Daerah yang dimaksud meliputi Kayah, Kachin, Shan Kayin, Chin, Sagaing, dan Magway.
Dari kelompok penentang junta juga sudah mulai menggunakan senjata. Pemuda di sejumlah kota Myanmar telah menyelesaikan latihan perang singkat. Mereka dilatih oleh milisi berbagai suku yang bertahun-tahun memberontak.
Di sejumlah kota Myanmar, baku tembak antara aparat dan warga semakin kerap terjadi. Warga membuat senapan dan bom rakitan untuk menghadapi aparat bersenjata lengkap yang sebagian diimpor dari sejumlah negara Asia dan Eropa.
Kondisi itu terjadi 1,5 bulan sejak ASEAN bersama junta militer sepakat menghentikan kekerasan secepatnya. Ini tertuang di salah satu dari lima konsensus yang disepakati bersama dalam pertemuan di Jakarta, 1 Februari.
Peneliti Pusat Kajian Myanmar pada Australian National University, Nicola Williams, menyebut, ASEAN tidak punya cukup perangkat untuk menangani kudeta di kawasan. ASEAN tidak seperti Persatuan Afrika (AU), Masyarakat Ekonomi Afrika Barat (Ecowas), atau Organisasi Negara-negara Amerika (OAS).
Asosiasi negara-negara Afrika dan Amerika itu punya perangkat tegas menghadapi kudeta, misalnya membekukan keanggotan. AU dan Ecowas misalnya membekukan keanggotaan Mali selepas kudeta pekan lalu. OAS juga membekukan keanggotaan negara yang dilanda kudeta.
Sebaliknya, ASEAN tidak pernah membekukan keanggotaan Myanmar yang bolak-balik dilanda kudeta. Hal sama berlaku untuk Thailand. Komunikasi ASEAN dengan junta selepas kudeta 1 Februari terbukti gagal mengubah sikap junta.
Williams menyebut, krisis Myanmar membuat ASEAN harus membuat terobosan. ASEAN tidak bisa menjalankan cara lama untuk menghadapi ulah rezim yang berulang kali melakukan kudeta dalam beberapa puluh tahun terakhir.
Pertemuan Sekretaris Jenderal ASEAN Lim Jock Hoi dan pemimpin kudeta, Min Aung Hlain, di Yangon, Jumat (4/6/2021), bukannya memberikan harapan kepada rakyat Myanmar, melainkan justru menimbulkan kekecewaan. Tidak saja karena tidak membuahkan hasil berarti untuk perdamaian, tetapi karena lima konsensus ASEAN tidak kunjung terwujud.
Bahkan dalam pertemuan itu, junta menyatakan tidak berminat mengikuti konsensus ASEAN. Junta menegaskan akan menjalankan rencana yang sudah diumumkan selepas kudeta.
Kelompok penentang junta militer kian frustrasi atas ketidakmampuan ASEAN mendesak junta. Mereka juga kecewa karean ASEAN tidak mampu mendorong pelibatan pemangku kepentingan politik lain di luar junta dalam proses penyelesaian krisis.
”Keputusan delegasi ASEAN hanya bertemu junta memberikan pengesahan kepada junta dan berperan dalam pelanggaran HAM serius di negara itu,” kata Ketua Progressive Voice Khin Omar.
Koordinator ALTSEAN-Burma Debbie Stothard mengatakan, lawatan Lim Jock Hoi ke Myanmar pekan lalu melanggar lima konsensus yang telah ditetapkan di Jakarta. ”Khususnya poin kelima yang memerintahkan utusan khusus dan delegasi bertemu dengan semua pihak. Tindakan itu juga melanggar piagam ASEAN tentang demokrasi, kepatuhan pada hukum, tata kelola yang baik, penghormatan dan perlindungan HAM serta kebebasan dasar,” ujarnya dalam pernyataan bersama 419 organisasi masyarakat Asia.
Mereka mengecam pertemuan Lim dan Menteri Luar Negeri Kedua Brunei Darussalam Erywan Yusof dengan jenderal senior, Min Aung Hlaing. Dalam pernyataan yang dikeluarkan pada 5 Juni 2021, ASEAN menggunakan istilah Kepala Dewan Pemerintahan Sementara Myanmar untuk Jenderal Senior Min Aung Hlaing dan Menteri Luar Negeri untuk Wunna Maung Lwin yang ditemui Lim dan Erywan. (AFP/REUTERS)