ASEAN gagal menghentikan krisis di Myanmar. Sejak kudeta pecah, 858 warga tewas, 5.941 orang ditangkap, dan sekitar 230.000 jiwa mengungsi.
Oleh
Luki Aulia, Kris Mada
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Terhitung 1,5 bulan sejak para pemimpin ASEAN menyepakati lima konsensus untuk mengatasi persoalan di Myanmar, krisis politik dan keamanan terus berlanjut. Kekerasan sebagai salah satu hal yang disepakati dihentikan, faktanya justru terus dilancarkan junta militer untuk membabat gerakan antikudeta.
Sampai dengan Kamis (10/6/2021), Asosiasi Pendampingan Tahanan Politik (Association Assistance for Political Prisoners/AAPP) Myanmar mencatat, 858 warga sipil tewas di tangan aparat dan 5.941 warga sipil lainnya dijebloskan ke penjara sejak kudeta junta militer per 1 Februari 2021.
Sementara ratusan ribu penduduk di tujuh daerah mengungsi akibat pertempuran antara militer yang loyal kepada junta dan milisi sipil. Jumlahnya diperkirakan mendekati 230.000 jiwa.
Pada 24 April, para pemimpin ASEAN menggelar pertemuan di Jakarta untuk mengatasi krisis di Myanmar. Hadir pula Panglima Tertinggi Militer Myanmar selaku pemimpin kudeta 1 Februari, Min Aung Hlaing.
Pertemuan menghasilkan lima konsensus. Pertama, menghentikan segera kekerasan dan semua pihak menahan diri. Kedua, dimulainya dialog konstruktif di antara semua pihak terkait guna mencari solusi damai untuk kepentingan rakyat.
Ketiga, utusan khusus dari Ketua ASEAN akan memfasilitasi mediasi proses dialog dengan dibantu Sekretaris Jenderal ASEAN. Keempat, ASEAN akan memberikan bantuan kemanusiaan melalui Pusat Koordinasi ASEAN untuk Bantuan Kemanusiaan pada Penanggulangan Bencana. Kelima, utusan khusus dan delegasi akan mengunjungi Myanmar untuk bertemu dengan semua pihak terkait.
Macet
Hingga saat ini atau 1,5 bulan kemudian, belum ada satu pun konsensus yang terimplementasi efektif. Kekerasan, misalnya, terbukti terus berjalan dan skalanya justru meluas. Faktanya, merujuk data AAPP, 111 orang tewas sejak konsensus disepakati.
Kelompok penentang junta juga mulai menggunakan senjata. Di sejumlah kota Myanmar, baku tembak antara aparat dan warga semakin kerap terjadi. Warga membuat senapan dan bom rakitan untuk menghadapi aparat bersenjata lengkap.
Adapun untuk dialog sebagaimana dituangkan dalam konsensus kedua juga sama sekali tidak terjadi. Pendekatan otoritarian dikedepankan junta militer dengan, misalnya, menangkapi lawan politik dan wartawan, membubarkan partai politik, dan membredel media massa.
Sementara untuk konsensus ketiga hingga kelima, yang pertama-tama soal konsolidasi internal ASEAN saja belum berjalan. Utusan khusus, misalnya, hingga kini belum diputuskan.
Pertemuan Sekretaris Jenderal ASEAN Lim Jock Hoi dengan pemimpin kudeta, Min Aung Hlain, Jumat (4/6/2021), justru menambah kekecewaan berbagai pihak, khususnya masyarakat Myanmar karena tidak membuahkan hasil berarti. Sudah begitu, lima konsensus ASEAN tak kunjung terwujud.
Junta dalam pertemuan itu bahkan menyatakan tidak berminat mengikuti konsensus ASEAN. Junta akan menjalankan rencana yang sudah diumumkan selepas kudeta.
Peneliti Pusat Kajian Myanmar pada Australian National University, Nicola Williams, menyebut, ASEAN tidak punya perangkat untuk menangani kudeta di kawasan. ASEAN tidak seperti Persatuan Afrika (AU), Masyarakat Ekonomi Afrika Barat (Ecowas), atau Organisasi Negara-negara Amerika (OAS) yang punya perangkat seperti membekukan keanggotaan negara.
Krisis Myanmar, menurut Williams, semestinya membuat ASEAN membuat terobosan. ASEAN tidak bisa menjalankan cara lama untuk menghadapi ulah anggotanya yang terbukti berulang dalam beberapa puluh tahun terakhir.
Peneliti bidang perkembangan politik internasional di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Lidya Christin Sinaga, menilai Indonesia perlu mengambil segala langkah yang diperlukan guna mendorong Myanmar menyelesaikan krisis. Proses eksekusi yang lambat sejauh ini antara lain karena ASEAN tidak menunjuk utusan khusus secara terbuka di awal. ”Ini sudah memakan waktu terlalu lama. Sejak KTT ASEAN, 24 April lalu, sampai hari ini soal utusan khusus saja belum juga final,” ujarnya.
Indonesia, kata Lidya, harus proaktif mengatasi kebuntuan. Untuk usulan utusan khusus, pembicaraan langsung tingkat kepala negara bisa ditempuh.
Muhammad Rum, yang mendalami studi Asia Tenggara, ASEAN, dan kerja sama internasional di Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, menyatakan, guna mempercepat pelaksanaan konsensus dan pemulihan demokrasi di Myanmar, Indonesia didorong untuk mengambil alih peran kepemimpinan diplomasi ASEAN dalam penyelesaian krisis Myanmar.
”Indonesia bisa mengusulkan para diplomat atau eminentpersonalities yang memiliki rekam jejak berdiplomasi dengan Myanmar. Kita memiliki tokoh diplomasi yang memiliki perhatian besar pada demokratisasi di kawasan, seperti mantan Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa dan Hassan Wirajuda,” kata Rum.
Pengamat hubungan internasional di Universitas Padjadjaran, Teuku Rezasyah, menilai, penyebab kelambanan proses penyelesaian krisis Myanmar antara lain karena jumlah diplomat Brunei Darussalam yang terbatas dan tidak terbiasa menangani masalah kritis dan strategis seperti yang sedang terjadi di Myanmar. ”Untuk itu, perlu energi intelektual dari Indonesia, yakni ide-ide konstruktif, yang disampaikan secara rahasia ke Brunei,” kata Teuku. (AFP/REUTERS)