PBB memperingatkan adanya tragedi kemanusiaan yang mulai muncul akibat krisis politik di Myanmar. Diperkirakan 100.000 warga di Kayah mengungsi dari area pertempuran antara militer junta dan milisi etnis.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
YANGON, RABU — Krisis kemanusiaan di Myanmar akibat konflik bersenjata antara aparat militer Myanmar dan kelompok perlawanan etnis di berbagai wilayah di negara itu semakin parah. Salah satu konflik ini terjadi di Negara Bagian Kayah, daerah dekat perbatasan Thailand. Sedikitnya 100.000 warga sipil di wilayah Kayah terpaksa mengungsi masuk ke hutan karena khawatir terkena serangan artileri aparat militer.
Penduduk yang tinggal di daerah-daerah konflik itu membutuhkan bantuan makanan, air bersih, tempat berlindung, dan layanan kesehatan. Namun, bantuan kemanusiaan tak bisa masuk ke Myanmar karena aparat militer memberlakukan larangan bepergian. ”Krisis ini memaksa warga di perbatasan menyelamatkan diri. Ini juga terjadi di daerah-daerah lain,” sebut kantor perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Myannar dalam pernyataan tertulisnya, Selasa (8/6/2021).
PBB juga mendesak semua pihak untuk melindungi warga sipil dan segala infrastrukturnya. Sejak kudeta militer, 1 Februari lalu, situasi Myanmar kian kacau. Unjuk rasa tetap saja terjadi hampir setiap hari di kota-kota. Sementara di daerah perbatasan, situasinya pun sama panas akibat konflik bersenjata antara militer dan kelompok-kelompok milisi etnis minoritas. Situasi ini sudah berlangsung selama beberapa pekan terakhir.
Kayah, yang berbatasan dengan Thailand, merupakan salah satu dari beberapa wilayah yang memiliki Pasukan Pertahanan Rakyat atau angkatan bersenjata yang terdiri dari relawan yang dilatih seperti militer. Kelompok milisi bersenjata inilah yang menyerang aparat militer dan diserang balik militer Myanmar dengan serangan udara dan persenjataan berat. Untuk melawan militer, warga desa setempat ikut membantu merakit senjata.
Thailand khawatir dengan gelombang pengungsi Myanmar yang akan masuk Thailand. Oleh karena itu, ia mendesak junta militer untuk segera memenuhi komitmen dalam konsensus ASEAN, termasuk kesepakatan menghentikan kekerasan dan segera berdialog dengan semua pihak untuk memulihkan situasi keamanan.
”Orang takut keluar ke mana-mana. Jika ketahuan keluar rumah atau berkeliaran, nanti akan diinterogasi tentara. Bahkan, ada juga yang ditembaki tentara,” kata salah seorang warga Kayah.
Koordinator Kebijakan Presiden Amerika Serikat Joe Biden untuk kawasan Indo-Pasifik, Kurt Campbell, menilai situasi di Myanmar memprihatinkan dan kekerasan semakin parah. Perlawanan dari berbagai kelompok milisi dan gerilyawan pun kian sengit. ”Tidak tertutup kemungkinan Myanmar bisa menjadi negara yang gagal,” kata Campbell.
Meski krisis politik dan kemanusiaan Myanmar kian parah, Myanmar tetap berkukuh mempertahankan rencana junta militer untuk memulihkan demokrasi. Hal ini ditegaskan Myanmar dalam pertemuan dengan negara-negara anggota ASEAN saat mereka bertemu di China selama dua hari, Senin- Selasa (7-8/6) lalu. Sejumlah negara anggota ASEAN mendesak junta militer menghormati kesepakatan Konsensus ASEAN.
Sejumlah menteri luar negeri negara anggota ASEAN, Senin, kecewa dengan perkembangan Myanmar yang terlalu lambat dalam melaksanakan lima poin rencana di dalam konsensus. Namun, dalam pandangan junta, mereka telah mencapai perkembangan. Menteri Luar Negeri Myanmar yang ditunjuk junta militer, Wunna Maung Lwin, dalam pertemuan ASEAN menegaskan, junta militer sudah membuat peta jalan sendiri setelah kudeta dan mereka sudah membuat kemajuan.
Peta jalan junta militer itu, kata Lwin, memiliki kesamaan dengan cetak biru ASEAN, tetapi dengan penekanan pada proses penyelidikan dugaan kecurangan dalam pemilu Myanmar pada November lalu, pengelolaan pandemi Covid-19, dan menggelar pemilu lagi.
”Satu-satunya cara memulihkan demokrasi adalah melalui lima langkah dalam program yang sudah disusun sejak Februari lalu,” sebut harian Global New Light of Myanmar.
China dalam sorotan
Lwin bertemu dengan Menlu China, Wang Yi, dan menyatakan Myanmar berkomitmen menjaga stabilitas nasional dan keseimbangan sosial. Ia juga mengatakan Myanmar menghargai dukungan China pada upaya proses perdamaian dan rekonsiliasi Myanmar.
Pada kesempatan itu, Wang menegaskan rencana ASEAN harus dilaksanakan dan gejolak kekerasan dihindari. China juga meminta agar stabilitas keamanan segera dipulihkan dan proses demokratik dimulai.
Namun, kalangan oposisi di Myanmar tidak yakin China akan bisa tegas pada Myanmar karena tak seperti negara-negara Barat, China tidak pernah vokal mengecam kudeta militer pimpinan Jenderal Senior Min Aung Hlaing.
Sikap China terhadap konflik di Myanmar bahkan menimbulkan tanda tanya, termasuk bagi ASEAN. China diindikasikan bermain dua kaki, mendukung Myanmar sekaligus ASEAN dalam penyelesaian kekerasan di Myanmar yang telah memakan korban jiwa setidaknya 845 orang.
Pemerintah China melalui media-media arus utamanya, Xinhua, Global Times, dan Televisi Pusat China (CCTV), menegaskan bahwa Beijing tidak akan mau ikut campur dalam dapur orang lain alias urusan internal negara-negara lain. ”Ini adalah budaya Asia untuk saling menghormati rumah tangga satu sama lain. Semua negara di Asia, termasuk ASEAN, memahami konsep ini,” kata Menteri Luar Negeri China Wang Yi, Selasa (8/6).
Wang menjelaskan, keputusan untuk menyelesaikan konflik harus datang dari dalam Myanmar sendiri, bukan dengan ancaman sanksi unilateral dari negara-negara lain. Sejatinya, Myanmar sudah memiliki panduan berupa lima poin kesepakatan ASEAN untuk mencapai dialog damai antara Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) dan junta militer atau Tatmadaw.
”Lima poin ASEAN dan berbagai ketentuan internasional lain sudah cukup jelas sebagai petunjuk dialog damai. Sebagai anggota Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, tugas China ialah membantu memfasilitasi dialog jika diperlukan. Prinsip China adalah hubungan baik harus dijaga, baik dengan Tatmadaw maupun NLD. Siapa pun yang memerintah, tali komunikasi tidak boleh putus,” kata Fan Hongwei, Direktur Pusat Kajian Asia Tenggara Universitas Xiamen.