China Kembali Kirim Misi Luar Angkasa, Astronotnya Akan Mengajar dari Antariksa
Para astronot China, yang akan dikirim dalam misi luar angkasa pekan depan, akan melakukan penjelajahan luar angkasa, meneliti fenomena antariksa, dan berinteraksi dengan siswa di China melalui pembelajaran jarak jauh.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
BEIJING, KAMIS — Biro Teknik Luar Angkasa Berawak China tengah menyiapkan roket yang akan membawa tiga orang astronot ke Stasiun Luar Angkasa Tiangong, pekan depan. Menurut rencana, ketiga awak antariksa itu akan tinggal selama sebulan di stasiun tersebut untuk melakukan penjelajahan, penelitian, dan mengajar para siswa sekolah secara jarak jauh mengenai luar angkasa.
Roket berjenis Long March-2F Y12 itu telah diletakkan di Pusat Peluncuran Satelit Jiuquan, Provinsi Gansu, China barat laut, Kamis (10/6/2021). Roket akan membawa pesawat antariksa Shenzhou-12 yang berisi tiga astronot. Jadwal peluncuran adalah pekan depan. Hingga kini belum ada pengumuman mengenai tanggal dan jam peluncuran tersebut.
”Sebagai perintis, kami mengirim astronot laki-laki. Ke depannya ada sejumlah perempuan astronot yang akan dikirim ke stasiun luar angkasa,” kata Yang Liwei, salah satu pejabat di Biro Teknik Luar Angkasa Berawak China kepada kantor berita Xinhua. Yang merupakan salah satu dari tim astronot pertama China yang mengelilingi orbit Bumi pada 2003.
Sejak 2003, China sudah mengirim 11 astronot ke luar angkasa. Mereka semua adalah pilot Angkatan Udara Tentara Pembebasan Rakyat. Akan tetapi, ini pertama kalinya para antariksawan akan tinggal di stasiun. Pada 29 April lalu, China telah meluncurkan modul berisi makanan, bahan bakar, dan peralatan untuk Stasiun Luar Angkasa Tiangong.
Tiangong dalam bahasa Mandarin berarti ”istana surga”. Secara keseluruhan, stasiun ini berbobot 70 ton dan berada pada ketinggian 340-450 kilometer dari permukaan Bumi. China merencanakan melakukan 11 kali peluncuran roket sampai dengan akhir 2021. Peluncuran roket Long March-2F Y12 pekan depan adalah yang keempat.
China menargetkan akan membangun dua laboratorium di Tiangong. Para astronot, selain melakukan penjelajahan luar angkasa dan meneliti berbagai fenomena antariksa, juga akan berinteraksi dengan siswa-siswa sekolah di China melalui pembelajaran jarak jauh.
Mei lalu, China meluncurkan pesawat antariksa nirawak Tianwen-1 ke Mars. Di sana, pesawat melepas kendaraan darat Zhurong untuk menyusuri permukaan planet merah tersebut. Sebelumnya, China juga melepas kendaraan darat di Bulan dan menjelajahi wilayah yang belum pernah dijamah oleh antariksawan dari negara-negara lain.
Saingan ISS
China berambisi untuk mengembangkan proyek luar angkasa sebagai bagian dari program militer mereka. Hal ini membuat Amerika Serikat khawatir sehingga memblokade China menjadi anggota Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS). Persaingan kian mengetat karena usia ISS sudah tua dan pada tahun 2028 akan berakhir masa penggunaannya. Sebaliknya, Tiangong akan beroperasi hingga 15 tahun ke depan.
Di dalam ISS juga terjadi gejolak antara AS dan Rusia akibat berbagai sanksi ekonomi. AS tidak memiliki hubungan ekspor dan impor dengan Rusia sejak tahun 2014 ketika Washington mengumumkan bahwa Rusia melakukan kekerasan akibat mencaplok wilayah Crimea dari Ukraina.
Selain itu, pasca-pemilihan presiden 2015, AS menjatuhkan sanksi tambahan kepada Rusia karena dianggap mengutak-atik hasil pilpres. Perlakuan Presiden Rusia Vladimir Putin kepada kritikus pemerintahannya, Alexei Navalny, yang diancam dan dianiaya, juga semakin membuat AS tidak mau melakukan perdagangan dengan Rusia. Hal ini mengakibatkan Rusia tidak bisa mengimpor beberapa jenis mikrocip yang dibutuhkan untuk meluncurkan roket dan wahana antariksa lainnya.
”Kita punya begitu banyak roket dan pesawat ulang-alik, tetapi tanpa mikrocip itu semua tidak bisa beroperasi,” kata Dmitry Rogozin, Kepala Badan Antariksa Rusia, Roscosmos, di hadapan parlemen.
Ia meminta kepada Putin, apabila AS tidak mau membuka ekspor mikrocip, lebih baik Rusia keluar dari ISS pada tahun 2025.
Menanggapi kabar tersebut, Kepala Badan Penerbangan dan Antariksa AS (NASA) Bill Nelson mengungkapkan, hal tersebut akan membawa semakin banyak kekhawatiran bagi AS. Jika Rusia keluar dari ISS, kemungkinan besar mereka akan bergabung dengan China dan menjadi saingan besar AS. (AP/REUTERS)