Jalan Panjang Penerapan Pajak Penghasilan Korporasi Global
Kesepakatan G-7 soal pajak minimal korporasi global hanyalah langkah pertama dalam proses yang panjang penerapannya. Rumitnya jalan penerapan pajak itu juga bakal ditemui di negara-negara G-7 sendiri.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·5 menit baca
LONDON, SELASA — Kelompok tujuh negara kaya di dunia yang tergabung dalam G-7 telah sepakat mengenai tarif minimum pajak penghasilan korporasi global sebesar 15 persen. Kesepakatan itu dinilai sebagai terobosan penting dalam usaha negara-negara menjaring pajak dari korporasi global yang selama ini belum tersentuh. Namun, implementasi atas kesepakatan itu masih panjang dan bisa saja terjal.
Dalam beberapa tahun terakhir, negara-negara sebelumnya berselisih soal pajak atas keuntungan yang diperoleh di luar negeri milik perusahaan-perusahaan raksasa. Raksasa perusahaan-perusahaan asal AS ada di barisan pertama. Perubahan dinamika kemudian terjadi akibat pandemi Covid-19. Pemerintah negara-negara mau tidak mau harus mendapatkan sumber pendapatan baru. Ekonomi mereka kewalahan serta telah diupayakan sedemikian rupa untuk dapat bertahan dan pulih secara akseleratif dari pandemi.
Dalam suasana seperti itu, kesepakatan yang diraih G-7 di London, Inggris, pada akhir pekan lalu hanyalah langkah pertama dalam proses yang panjang. Rumitnya jalan penerapan pajak penghasilan korporasi global itu juga ditemui di negara-negara G-7 sendiri, yang terdiri dari Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Perancis, Jerman, Italia, dan Jepang. Presiden AS Joe Biden, misalnya, harus dapat meyakinkan anggota Kongres. ”Perjalanan masih cukup panjang,” kata Elke Asen, analis kebijakan di lembaga pemikir Tax Foundation di Washington.
Isi kesepakatan itu saat ini bakal ditujukan pada para menteri keuangan kelompok 20 negara maju dan berkembang (G-20). Pertemuan para menteri G-20 itu rencananya akan digelar pada Juli mendatang. Asen menyebutkan, bagian yang lebih sulit selanjutnya adalah proses negosiasi antara 139 negara di bawah naungan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). ”Saya pikir proses di fase itu akan memakan waktu bertahun-tahun sebelum akhirnya benar-benar diimplementasikan,” katanya.
Sebuah sumber yang dekat dengan proses negosiasi itu mengatakan, perjanjian G-7 adalah langkah pertama yang sangat penting tetapi masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Hal itu semata untuk mendapatkan kesepakatan G-20. Diungkapkan, sejauh ini mayoritas dari 139 negara anggota OECD mendukung rencana tersebut. Sebuah kabar yang menumbuhkan optimisme.
Sebuah sumber yang dekat dengan proses negosiasi itu mengatakan perjanjian G-7 adalah langkah pertama yang sangat penting tetapi masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan.
Reformasi perpajakan itu sendiri akan memiliki dua pilar. Pertama adalah bakal dimungkinkannya negara-negara untuk mengenakan pajak bagian dari keuntungan dari 100 perusahaan yang paling menguntungkan—seperti Facebook atau Google—di dunia, di mana pun mereka berada. Adapun pilar kedua adalah pajak perusahaan minimum global ”setidaknya” 15 persen, yang bertujuan untuk menghentikan persaingan antarnegara untuk menarik perusahaan multinasional dengan menawarkan tarif pajak yang sangat rendah.
Simon MacAdam, ekonom global senior di Capital Economics, menilai, sejauh ini tidak terdapat hal-hal detail yang diperdebatkan, misalnya mencakup tarif atau basis pajak yang tepat. Nicolas Veron, analis senior di Peterson Institute for International Economics yang berbasis di Washington, mengatakan, ada cukup banyak negara di balik rencana penerapan pajak global saat ini. Keinginan yang besar dari negara-negara itu diharapkan dapat mendorong keberhasilan negosiasi dan penerapan pajak itu nantinya.
Menurut Sebastien Jean, Direktur Pusat Studi Prospektif dan Informasi Internasional yang berbasis di Paris, Perancis, sebuah negara yang memutuskan untuk menaikkan pajak saat ini berisiko membuat perusahaan melarikan diri ke tempat lain. Namun, hal itu tidak berlaku jika sejumlah besar negara yang kritis melakukannya. Konsekuensinya adalah kelak kondisinya akan merugikan perusahaan-perusahaan yang coba menghindar dan negara-negara yang tidak menerapkan pajak sesuai aturan yang disepakati.
Kondisi menarik terjadi pada AS. Presiden Biden mendapat dukungan dari sekutu G-7. Ia memiliki lebih banyak pekerjaan yang harus dilakukan di negaranya karena hampir separuh dari 100 perusahaan di barisan pertama yang beroperasi secara global adalah milik warga AS atau dilahirkan di AS. Asen mengatakan, Kongres AS secara tradisional lambat dalam meloloskan perjanjian pajak dan itu adalah salah satu kekhawatiran yang dimiliki banyak negara.
Senator AS Mike Crapo dan anggota Kongres, Kevin Brady, dalam sebuah pernyataan bersama, menyebut kesepakatan soal pajak itu sebagai perjanjian spekulatif. Menurut mereka, kesepakatan itu tampak prematur mengingat banyak pertanyaan yang belum terjawab tentang dua pilar dan efek potensial atas kesepakatan itu pada perusahaan-perusahaan AS.
Kondisi di Eropa tampak terbelah. Negara dengan ekonomi yang lebih besar, seperti Jerman, Perancis, Italia, Spanyol, dan Belanda, mendukung rencana tersebut. Adapun negara-negara lain yang diuntungkan oleh tarif pajak yang rendah menolak rencana itu. Satu negara yang tidak senang dengan reformasi pajak tersebut adalah Irlandia.
Irlandia menerapkan pajak perusahaan sebesar 12,5 persen. Hal itu pun telah memikat perusahaan-perusahaan besar, seperti Google, Facebook, dan Apple. ”Ada 139 negara di meja runding dan setiap kesepakatan harus memenuhi kebutuhan negara-negara kecil dan besar, maju dan berkembang,” kata Menteri Keuangan Irlandia Paschal Donohoe.
Swiss, dengan pajak di bawah 12 persen di beberapa sektor, mengatakan akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mempertahankan tawaran yang sangat menarik. Menteri Keuangan Perancis Bruno Le Maire mengatakan, di luar Eropa bakal ada pertarungan sengit di G-20, yakni kala meyakinkan China.
China menerapkan tarif pajak perusahaan 25 persen yang turun menjadi 15 persen untuk perusahaan-perusahaan teknologi tinggi. Seorang sumber yang dekat dengan proses negosiasi reformasi pajak itu menilai bakal sulit mencapai lebih dari 15 persen jika forum itu ingin China sepakat. Maka, menurut Asen, kesepakatan akhir atas negosiasi itu dapat menjadi ”tambal sulam”, yakni kondisi di mana setiap negara mengimplementasikannya sedikit berbeda guna membuatnya lebih selaras dengan kebijakan pajak nasional mereka sendiri. (AFP)