Terbukti Memonopoli Bisnis Iklan, Google Dihukum Bayar Rp 3,8 Triliun ke Perancis
Dalam dua tahun terakhir, sudah tiga kali Google dimejahijaukan dan didenda di Perancis. Berbagai negara, terutama di Eropa, menunjukkan mampu membuat perusahaan-perusahaan raksasa teknologi digital jadi tak kebal hukum.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
PARIS, SELASA — Perusahaan teknologi multinasional asal Amerika Serikat, Google, kalah di pengadilan Perancis pada Senin (7/6/2021) waktu setempat dalam gugatan kasus monopoli bisnis periklanan. Google dijatuhi sanksi membayar denda sebesar 220 juta euro atau sekitar Rp 3,8 triliun dan memperbaiki sistem lelang iklannya. Ini adalah denda ketiga yang harus dibayar oleh Google di Perancis sejak tahun 2019.
”Gugatan bagi Google ini yang pertama kali ditujukan spesifik kepada sistem algoritma kompleks yang menjadi dasar pelelangan iklan secara daring,” kata Kepala Badan Antimonopoli Perancis Isabelle de Silva. Google tidak mengajukan naik banding.
Penyelidikan terkait monopoli iklan ini dilakukan setelah pada 2019 tiga perusahaan penerbit media cetak dan daring, News Corp milik Rupert Murdoch, Le Figaro, dan Rossel La Voix dari Belgia, melapor kepada aparat penegak hukum Perancis. Mereka mengaku dirugikan dengan sistem pelelangan iklan daring yang dimonopoli Google, terutama melalui fitur Google AdX dan Google Ad Manager. Akibatnya, perusahaan penerbit media cetak, media daring independen, dan perusahaan pelelangan iklan yang berskala lebih kecil tidak bisa bersaing. Belakangan Le Figaro mencabut gugatannya.
Seperti dilansir dari media bisnis Amerika Serikat, The Wall Street Journal, bisnis sebagai makelar iklan ini menyumbang 13 persen dari total pendapatan Alphabet Inc, perusahaan induk Google, pada 2020. Sebagai gambaran, pada 2020 Alphabet Inc memperoleh penghasilan menyeluruh sebesar 182,53 miliar dollar AS.
Google memiliki peladen periklanan yang disebut DoubleClick for Publishers yang lazim diakses oleh perusahaan-perusahaan besar. Melalui DoubleClick for Publishers ini, berbagai korporasi mengumumkan bahwa di situs ataupun media cetak mereka tersedia spasi untuk dipasangi iklan. Para produsen iklan dipersilakan menawar melalui proses lelang untuk lapak yang diminati.
Permasalahannya, semua data perusahaan langganan yang masuk ke DoubleClick for Publishers ini otomatis masuk ke fitur lelang Google AdX dan Google Ad Manager. Hal ini memberi Google keuntungan informasi dari dalam sehingga perusahaan-perusahaan saingan yang hendak menawar spasi iklan tersebut tidak mendapat pemberitahuan atau terlambat memperolehnya.
Selain itu, apabila ada iklan yang berhasil dimenangi oleh perusahaan saingan, salah satu contohnya adalah media daring independen melalui fitur Google AdX ataupun Google Ad Manager, iklan itu tidak akan tampil sempurna. Selalu ada masalah teknis, baik dari segi tampilan ataupun ketika pengguna internet mengklik iklan tersebut.
Direktur Google Perancis Maria Gomri mengatakan, pihaknya siap bekerja sama. Salah satu komitmen yang harus mereka taati pascapengadilan tersebut ialah memastikan dalam kurun tiga tahun Google membenahi sistem lelang di Google AdX dan Google Ad Manager agar terbuka dan adil bagi semua pengakses dan peserta lelang. Proses ini akan diawasi oleh lembaga pengawas independen.
”Kami akan mencoba dulu selama beberapa bulan guna memastikan sistem yang baru ini efektif,” kata Gomri.
Ini untuk ketiga kalinya Google dimejahijaukan dan harus membayar denda di Perancis dalam dua tahun terakhir. Pada 2019, perusahaan ini harus membayar 150 juta euro karena terbukti tidak membuka akses setara kepada para pengiklan potensial. Kemudian pada Desember 2020, Google bersama Amazon dikenakan denda 135 juta euro akibat memasang cookies iklan di situs-situs mereka tanpa persetujuan dari pengguna.
Tidak kebal
Pakar hukum dari Universitas Stanford, AS, Douglas Melamed, menjelaskan bahwa para raksasa teknologi digital sudah tidak bisa lari lagi dari hukum. Berbagai negara, terutama di Eropa, sudah menunjukkan bahwa hukum mereka mampu membuat perusahaan-perusahaan ini tidak kebal dari konsekuensi legal.
Hal ini, lanjut Melamed, juga menjadi preseden agar perusahaan-perusahaan multinasional memperbaiki sistem kerja mereka dan mematuhi hukum lokal di negara tempat mereka beroperasi.
Beberapa contoh gugatan terhadap korporasi teknologi adalah yang dilakukan Uni Eropa. Mereka menggugat Apple atas tuduhan memonopoli penjualan serta penyiaran musik. Perusahaan e-dagang Amazon digugat karena menghimpun mahadata dari lapak-lapak daring independen dan memakainya untuk kepentingan penjualan produk-produk merek asli Amazon. Demikian pula dengan Facebook yang oleh UE tengah diselidiki mengenai sistem penjualan iklan di situsnya. Kejaksaan Agung AS juga tengah menyiapkan gugatan serupa kepada raksasa-raksasa teknologi ini.
Dilansir dari laman media The Independent, Google menyatakan bahwa mulai akhir tahun 2021 mereka akan membuat fitur yang memungkinkan para pengguna sistem Andorid bisa memilih bisa melihat tampilan iklan atau tidak. Fitur ini juga berkomitmen, apabila pengguna Android memilih ”tidak”, semua aplikasi dan situs Google di gawai pintar itu tidak akan melacak dan mengirimi iklan lagi. (AP/AFP/REUTERS)