Rusia Ikuti Langkah AS Keluar dari Perjanjian Open Skies Treaty
Rusia mengikuti langkah Amerika Serikat keluar dari perjanjian Open Skies Treaty yang sudah diikuti sejak 2002. Belanja militer kedua negara itu juga terus meningkat di tengah pandemi Covid-19 yang menguras dana.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
MOSKWA, SELASA — Presiden Rusia Vladimir Putin, Senin (7/6/2021), menandatangani undang-undang yang akan memastikan penarikan negara itu dari Traktat Ruang Udara Terbuka (Open Skies Treaty/OST) yang telah diikutinya sejak 2002. Langkah itu menyusul kepastian Pemerintah Amerika Serikat tidak akan bergabung kembali dengan traktat tersebut. Di era Presiden Donald Trump, AS menyatakan diri keluar pada Mei 2020.
Semula, Rusia berharap Putin dan Presiden AS Joe Biden membahas soal perjanjian ini ketika keduanya dijadwalkan bertemu di Geneva, Swiss, pertengahan Juni ini. Namun, keputusan Biden yang diumumkan bulan lalu bahwa AS tidak akan kembali ke perjanjian itu membuat Kremlin memutuskan untuk mengikuti langkah AS.
Kremlin, dalam pernyataan yang dikeluarkan pada Senin (7/6/2021), mengatakan, keputusan AS untuk menarik diri dari perjanjian telah secara signifikan mengganggu keseimbangan kepentingan di antara negara-negara penanda tangan OST. Tindakan AS itu juga memaksa Rusia mengambil tindakan yang sama.
”Ini (keluarnya AS) telah menyebabkan kerusakan serius pada ketaatan perjanjian dan signifikansinya dalam membangun kepercayaan dan transparansi, (menyebabkan) ancaman bagi keamanan nasional Rusia,” kata Kremlin dalam sebuah pernyataan di situsnya.
Kremlin semula berharap di bawah Biden, AS akan membalikkan keputusan Trump dengan bergabung kembali dalam perjanjian. Namun, pemerintahan Biden tidak mengubah taktik dan menuduh Rusia telah berulang kali melanggar perjanjian tersebut. Kremlin membantah semua tudingan itu.
Perjanjian OST dimaksudkan untuk membangun kepercayaan antara Rusia dan negara-negara Barat dengan mengizinkan negara-negara penanda tangan mengirimkan pesawat, melintasi wilayah negara-negara anggota perjanjian, serta mengawasi penempatan pasukan dan kegiatan militer lainnya. Menurut isi perjanjian, penerbangan bisa dilakukan jika militer negara asal mengirimkan surat ke negara tujuan dalam waktu 72 jam sebelum kegiatan dilakukan.
Sejak 2002, sudah lebih dari 1.500 penerbangan terjadi antarnegara penanda tangan perjanjian. Traktat itu membantu mendorong transparansi dan memantau perjanjian pengendalian senjata.
Setelah mundurnya AS pada Mei lalu, Kremlin tidak berhasil mendapatkan jaminan dari negara-negara sekutu AS di Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Jaminan yang diminta adalah agar mereka tidak menyerahkan data yang dikumpulkan selama penerbangan mereka di atas wilayah udara Rusia kepada AS.
Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Ryabkov, seperti dikutip dari kantor berita TASS, mengatakan, Rusia membutuhkan waktu enam tahun untuk meratifikasi perjanjian itu sebelum bisa diterapkan. Dia mengatakan, tindakan AS keluar dari perjanjian telah menghancurkan upaya bersama guna meningkatkan keamanan di Eropa.
Menurut Ryabkov, meski akan ada rencana pertemuan Putin-Biden pada pertengahan bulan ini, adalah tidak realistis menandatangani perjanjian bilateral dengan substansi yang sama seperti OST sebagai penggantinya. Ia menambahkan, dengan perjanjian yang ada, negara-negara penanda tangan OST akan berupaya untuk mengontrol senjata konvensional di Eropa, terutama kegiatan inspeksi dalam kerangka kerja Dokumen Vienna 2011.
Putin, sehari sebelum menandatangani UU penarikan diri dari OST, mengatakan bahwa Rusia tidak memiliki rencana menakut-nakuti siapa pun dengan senjata baru yang tengah dikembangkannya.
”Stabilitas strategis sangat penting. Kami tidak berencana untuk menakut-nakuti siapa pun dengan sistem senjata baru kami. Seperti yang dilakukan semua kekuatan militer terkemuka, kami mengembangkannya dan telah mencapai beberapa keberhasilan,” kata Putin, seperti dikutip TASS.
”Kami memahami bahwa negara-negara seperti AS dan lainnya cepat atau lambat akan mencapai hasil yang sama. Inilah mengapa saya pikir kita harus membuat kesepakatan terlebih dahulu tentang bagaimana kita akan hidup bersama di dunia yang terus berubah.”
Belanja militer naik
Meski kondisi ekonomi AS tengah mendapat tantangan hebat karena pandemi Covid-19, belanja militer itu mengalami peningkatan 4,4 persen dibandingkan dengan 2019. Menurut data SIPRI (Stockholm International Peace Research Institute), pada 2020 belanja militer AS mencapai 778 miliar dollar AS dan menyumbang hampir 40 persen dari total pengeluaran militer global di tahun itu.
Peneliti persenjataan SIPRI, Alexandra Marksteiner, mengatakan, peningkatan belanja militer AS terutama ditujukan untuk investasi dalam penelitian dan pengembangan persenjataan. Selain itu, terdapat beberapa proyek jangka panjang, seperti modernisasi persenjataan nuklir AS dan pengadaan senjata dalam skala besar.
”Ini mencerminkan kekhawatiran yang berkembang atas ancaman yang dirasakan dari pesaing strategis, seperti China dan Rusia, serta upaya pemerintahan Trump untuk meningkatkan apa yang dilihatnya sebagai militer AS yang terkuras,” kata Markesteiner.
Seperti halnya AS, belanja militer Rusia juga meningkat 2,5 persen atau sekitar 61,7 miliar dollar AS. Dalam catatan SIPRI, ini adalah kenaikan dua tahun berturut-turut yang dicapai oleh Kremlin.
Namun, meski naik, pengeluaran militer Rusia yang sebenarnya pada 2020 adalah 6,6 persen lebih rendah daripada rencana anggaran awal. Angka ini merupakan penurunan yang cukup besar dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. (AP/REUTERS)