Riset Terbaru Tunjukkan Bukti Pelanggaran HAM terhadap Etnis Uighur di China
Sebuah penelitian mengungkapkan adanya upaya terstruktur untuk mengurangi populasi kelompok etnis Uighur di China. Beijing menilai laporan itu karangan belaka.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·5 menit baca
LONDON, SELASA — Penelitian terbaru yang dilakukan Adrian Zenz, warga negara Jerman anggota Yayasan Mengenang Korban Komunisme yang berbasis di Washington DC, Amerika Serikat, mengungkapkan adanya upaya terstruktur untuk mengurangi populasi kelompok etnis Uighur di Provinsi Xinjiang, China. Dalam penelitian yang akan diterbitkan di jurnal ilmiah Central Asian Survey itu, Zenz mengatakan, tindakan China dapat dikategorikan sebagai genosida atau penghilangan etnis tertentu.
Riset ini pertama kali diterbitkan di media arus utama secara eksklusif oleh kantor berita Reuters. Zenz merupakan peneliti yang bertahun-tahun fokus mengkaji kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap etnis Uighur di Provinsi Xinjiang ataupun di China secara umum.
”Pada kurun waktu 2017-2019, angka kelahiran etnis Uighur turun 48 persen. Pada 2020 saja ada penurunan kelahiran 50,1 persen. Sebaliknya, untuk kelompok etnis mayoritas Han penurunan angka kelahirannya adalah 19,7 persen,” kata Zenz, Senin (7/6/2021).
Berdasarkan perhitungan Zenz, 20 tahun kemudian atau sampai dengan tahun 2040, akan ada penurunan 2,6 juta-4,5 juta kelahiran. Akibatnya, pada tahun tersebut jumlah etnis Uighur berkisar 8,6 juta hingga 10,5 juta jiwa. Per tahun 2021, statistik China menyebutkan penduduk beretnis Uighur ada 9,47 juta jiwa. Adapun etnis Han di Xinjiang akan meningkat dari 8,4 persen menjadi 25 persen dari total populasi.
Pada 2015, Dekan Fakultas Sejarah dan Geografi Perbatasan Universitas Tarim, Xinjiang, Liao Zhaoyu mengutarakan dalam sebuah seminar resmi bahwa dominasi etnis Uighur di Xinjiang harus dihentikan. Menurut dia, etnis Han sebagai mayoritas di negara China harus bisa menguasai semua wilayah dan meneruskan nilai-nilai sosialis, seperti yang dicita-citakan oleh Partai Komunis China.
Zenz berargumen bahwa masif serta terstrukturnya upaya Pemerintah China ini jika disilangkan dengan ketentuan Konvensi Tahun 1948 tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida sesuai dengan kategori pemusnahan suatu kelompok etnis secara massal. Metodenya tidak melalui peperangan ataupun konflik terbuka, tetapi melalui ancaman dan pemaksaan sterilisasi dan pengguguran kandungan.
Ia menjelaskan, Pemerintah China ketika memberlakukan kebijakan setiap keluarga hanya boleh memiliki seorang anak memang memiliki dispensasi bagi etnis-etnis minoritas. Di atas kertas, keluarga dari etnis minoritas yang tinggal di perkotaan diizinkan memiliki dua anak dan keluarga di perdesaan boleh memiliki tiga anak.
Kenyataannya, hal tersebut dipaksakan kepada penduduk, baik laki-laki maupun perempuan. Riset Zenz tahun 2020 mengungkapkan, perempuan yang sudah melahirkan anak kedua tanpa sepengetahuan dirinya dipasangi alat kontrasepsi dalam rahim, bahkan ada yang dimandulkan tanpa izin empunya tubuh. Berdasarkan data Pemerintah Provinsi Xinjiang yang diperoleh Zenz, di kemah indoktrinasi dan kerja paksa Karakax, dari 484 laki-laki yang ditahan, 149 orang dipenjara karena melanggar jumlah kuota anak.
”Orang Uighur yang melanggar aturan jumlah anak akan dipenjara atau mengalami kekerasan seksual, seperti sterilisasi paksa dan aborsi, tetapi orang Han hanya disuruh membayar denda,” ujarnya.
Penelitian Zenz ini senada dengan pengakuan sejumlah pengungsi Uighur di Turki. Bumeryem Rozi menceritakan pengalamannya dipaksa menggugurkan kandungan ketika dirinya ketahuan hamil anak kelima. Petugas pemerintah menciduk ia di rumah dan menggelandangnya ke rumah sakit. Di sana, ia dipaksa meminum pil dan disuntik, tidak lama kemudian kandungannya pun luruh.
Seorang dokter kandungan yang berhasil melarikan diri dari Xinjiang, Semsinur Gafur, menuturkan pengalamannya pada 1990-an. Ia dan sejumlah bidan dipaksa pemerintah untuk berkeliling dari rumah ke rumah, dari perkotaan sampai perdesaan, sambil membawa mesin ultrasonografi. Mereka diwajibkan melakukan pemeriksaan mendadak terhadap semua perempuan untuk melihat jika ada yang hamil tanpa izin negara.
”Kalau ada keluarga ketahuan punya anak lebih dari dua, rumahnya dirusak oleh petugas pemerintah, bahkan dihancurkan. Saya tidak tahan karena melanggar etika profesi dokter,” ujar Gafur.
Sidang
Negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Belanda, dan Lithuania selama bertahun-tahun sudah mengeluarkan kecaman terhadap kekejian ini. Akan tetapi, tidak ada tanggapan dari China. Negara ini bukan anggota Mahkamah Kriminal Internasional (ICC) sehingga tidak bisa digugat secara internasional.
Meskipun begitu, sejumlah usaha dilakukan untuk membantu etnis Uighur memperjuangkan hak-hak mereka. Di London, Inggris, pengacara HAM ternama, Sir Geoffrey Nice, tengah mengadakan sidang dengar pendapat untuk membahas kasus pelanggaran HAM di Xinjiang. Nice adalah pengacara yang dulu menggugat mantan Presiden Serbia Slobodan Milosevic di pengadilan internasional atas tuduhan genosida terhadap masyarakat Bosnia.
Selain dari perwakilan masyarakat dan diaspora Uighur, sejumlah saksi ahli juga dihadirkan dalam sidang itu, termasuk Adrian Zenz. Saksi ahli, antara lain, Presiden Kongres Uighur Sedunia Dolkun Isa; pakar kajian China dari Universitas Newcastle, Smith Finley; dan antropolog dari Universitas Denver, AS, Darren Byler.
”Sidang ini memang tidak disponsori oleh negara mana pun, tapi ini kesempatan bagi kami untuk menceritakan pengalaman kami kepada dunia dan didengar oleh publik,” kata Abduweli Ayup, seorang pegiat Uighur kepada BBC. Ia bersaksi menceritakan kisah keponakannya, Mihray Erkin (30), yang tewas di kemah kerja paksa Yanbulak pada November 2020.
Sementara itu, melalui kantor berita Pemerintah China, Xinhua, Beijing menyangkal semua tuduhan. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Zhao Lijian mengatakan, penelitian Zenz ataupun keterangan yang disampaikan di sidang murni karangan dan Beijing tidak akan membuang waktu menanggapinya.
Pemerintah China juga menggencarkan kontranarasi melalui liputan surat kabar sekutu mereka, Rusia, yaitu harian Rossiyskaya Gazeta. Artikel itu mengulas kunjungan diplomat Rusia, Vladimir Narov, ke Xinjiang bulan lalu. Ia mengaku tidak melihat masalah di wilayah tersebut dan menuduh negara-negara Barat hanya sirik terhadap kepesatan pembangunan di China. (AP/Reuters)