Kementerian Luar Negeri Korsel mengatakan pihaknya menghormati putusan pengadilan dan ingin menjalin pembicaraan dengan Tokyo guna mendapatkan solusi-solusi ”rasional” yang memuaskan dua pemerintahan dan para korban.
Oleh
kris mada
·5 menit baca
SEOUL, SELASA — Pengadilan Korea Selatan kembali membuat keputusan yang menguntungkan perusahaan Jepang. Lewat keputusan pada Senin (7/6/2021), pengadilan di Seoul menolak gugatan yang diajukan oleh 85 mantan korban kerja paksa di 16 perusahaan Jepang pada masa Perang Dunia II.
Pengadilan di Seoul itu memutuskan, para korban kerja paksa tidak bisa mengajukan gugatan pribadi dan mengabaikan gugatan kolektif. ”Memang tidak bisa dikatakan bahwa pengajuan hak klaim individu korban sudah ditutup atau tidak bisa dilakukan dengan adanya perjanjian Korea-Jepang itu. Walakin, sudah diputuskan bahwa pengajuan klaim hak individu tidak bisa dilakukan melalui gugatan hukum,” demikian putusan majelis hakim.
Dengan penolakan tersebut, sudah dua kali pengadilan Seoul mengandaskan upaya korban Jepang di Korsel untuk mendapat pampasan. Pada April 2020, pengadilan di Seoul menolak gugatan 20 perempuan yang pernah dipaksa menjadi penghibur tentara Jepang selama Perang Dunia (PD) II.
Sepanjang Perang Dunia II, kekaisaran Jepang memaksa banyak perempuan menjadi budak seks bagi tentaranya di daerah pendudukan. Di Korsel saja, sejarawan menaksir ada 200.000 korban. Dari ratusan ribu orang itu, hanya beberapa orang yang masih hidup.
Penolakan atas gugatan oleh 20 mantan jugun ianfu—sebutan bagi perempuan penghibur tentara Jepang pada masa Perang Dunia II—itu dibuat berdasarkan dua hal. Pertama, kekebalan karena kedaulatan, yakni prinsip hukum internasional yang menyatakan negara tidak digugat di pengadilan negara asing. Kedua, sembilan dari 20 penggugat telah menerima ganti rugi berdasarkan kesepakatan Korea Selatan-Jepang pada 2015. Menurut pengadilan, kesepakatan itu menyelesaikan masalah soal jugun ianfu dan tetap berlaku.
Dalam kesepakatan pada Desember 2015 itu, Seoul-Tokyo setuju bahwa Jepang menyumbang 9,25 juta dollar AS untuk mendirikan yayasan. Tujuan yayasan adalah membantu para mantan jugun ianfu dari sisi keuangan. Pengacara para penggugat menyebut, uang yang diterima dari yayasan itu tidak layak. Selain itu, dasar pemberian uang bukanlah kesepakatan bilateral yang mengikat secara hukum.
Akan banding
Sebagian penggugat mengungkapkan kepada wartawan di luar kantor pengadilan bahwa mereka berencana mengajukan banding. Lim Chul-ho (85), anak salah satu korban kerja paksa di perusahaan Jepang, dengan penuh emosional menyebut bahwa pengadilan membuat keputusan ”menyedihkan” yang seharusnya tidak terjadi.
”Apakah mereka (para hakim) itu benar-benar hakim Korea Selatan? Apakah benar ini pengadilan Korea Selatan?” kata Lim. ”Kita tidak butuh negara atau pemerintahan yang tidak melindungi rakyatnya.”
Belum diketahui, putusan pengadilan itu akan memengaruhi diplomasi antara Korsel dan Jepang, dua negara mitra. Kedua negara itu mendapat tekanan dari pemerintahan Presiden AS Joe Biden agar memperbaiki hubungan. Kementerian Luar Negeri Korsel melalui pernyataan tertulis mengatakan, pihaknya menghormati keputusan pengadilan dalam negeri dan ingin menjalin pembicaraan dengan Tokyo guna mendapatkan solusi-solusi ”rasional” yang memuaskan dua pemerintahan dan para korban perang.
Kepala Sekretaris Kabinet Jepang Katsunobu Kato mengungkapkan, Tokyo mencermati sungguh-sungguh perkembangan di Korea Selatan. Ia berharap, Seoul akan mengambil langkah-langkah yang bertanggung jawab untuk memperbaiki hubungan kedua negara.
Kato menambahkan, hubungan bilateral kedua negara masih dalam kondisi rusak parah akibat isu-isu terkait para pekerja paksa Korsel dan para budak seks di masa penjajahan Jepang. ”Kami percaya, penting bagi Korea Selatan untuk bertindak secara bertanggung jawab guna mengatasi masalah yang muncul di antara kedua negara, dan kami akan mengamati proposal-proposal konkret oleh pihak Korea Selatan guna mengatasi masalah ini,” ujar Kato.
Sasaran
Dalam gugatan yang ditolak Juni 2021, sejumlah perusahaan besar Jepang, seperti Nippon Steel, Sumitomo, Nissan, dan Mitsubishi, menjadi tergugat. Sebagian perusahaan itu tahun 2018 juga digugat pada kasus kerja paksa dan upah yang belum dibayarkan selama masa perang.Pengadilan kala itu memenangkan penggugat.
Dalam keputusan pada November 2018, Mahkamah Agung Korsel memerintahkan Mitsubishi membayar ganti rugi kepada 23 orang dengan nilai masing-masing 80 juta won (sekitar 71.000 dollar AS atau Rp 1 miliar).
Selain itu, pengadilan pun memerintahkan Mitsubishi membayar masing-masing 150 juta won (sekitar Rp 1,9 miliar) kepada lima orang yang juga menggugat Mitsubishi atas dugaan kerja paksa selama PD II. Adapun Nippon Steel diperintahkan membayar ganti rugi total 400 juta won kepada empat penggugat.
Kala itu, MA Korsel menegaskan bahwa hak-hak mantan pekerja untuk mendapat pampasan tidak bisa diakhiri dengan kesepakatan tahun 1965 yang menjadi landasan normalisasi hubungan diplomatik Korsel-Jepang. Keputusan itu sekaligus sebagai penolakan atas sikap yang diambil Pemerintah Jepang dan diputuskan pengadilan di Jepang.
Dalam putusan pada Oktober 2018, MA menyebut bahwa pendudukan Jepang atas Semenanjung Korea adalah sesuatu yang ilegal. ”Perjanjian (1965) itu tidak mencakup hak para korban kerja paksa untuk mendapat kompensasi bagi kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan perusahaan Jepang yang terkait langsung dengan pendudukan ilegal di Semenanjung Korea oleh Jepang,” demikian pernyataan MA Korsel kala itu.
Untuk semua gugatan ganti rugi terkait Perang Dunia II, Tokyo menolak melayani. Jepang beralasan, semua hal sudah diselesaikan lewat kesepakatan perdamaian pada 1965. Kala itu, Jepang sudah memberikan bantuan keuangan kepada Seoul.
Gara-gara rangkaian gugatan itu, hubungan Tokyo-Seoul memburuk. Tokyo membatasi sejumlah ekspor bahan baku yang sangat dibutuhkan industri elektronika Korsel.
Seoul membalas dengan membatasi kerja sama keamanan dan pertukaran informasi intelijen. Informasi itu sangat dibutuhkan Amerika Serikat dan Jepang untuk memantau perkembangan Korea Utara dan China.
AS sudah bolak-balik mendamaikan kedua sekutu itu. Walakin, sampai sekarang upaya itu belum berhasil. (AFP/REUTERS/SAM)