Generasi yang Hilang akibat Covid-19
Akibat pandemi Covid-19, banyak anak putus sekolah. Salah satu penyebabnya adalah karena harus bekerja membantu mencari nafkah bagi keluarga. Kondisi ini terjadi di berbagai negara di dunia.
Ketika ayahnya kehilangan pekerjaan gara-gara pandemi Covid-19, tahun lalu, mau tak mau Togi (16) harus bekerja membantu mencari nafkah untuk keluarganya. Tidak ada jalan lain meski ia sadar ada risiko tertular Covid-19. Beruntung ada restoran cepat saji di pinggiran kota Washington, Amerika Serikat, yang mau menerimanya.
Dalam seminggu, Togi menerima upah 300-350 dollar Amerika Serikat (AS). Ini besar artinya bagi keluarganya yang termasuk kategori miskin sehingga sempat menerima bantuan makanan dari pemerintah.
Tidak mudah bagi Togi untuk membagi waktu antara bekerja dan sekolah secara daring. Seluruh waktunya habis untuk bekerja dan belajar. Tidak ada waktu lagi untuk sekadar berkumpul dengan kawan. ”Capek sekali rasanya,” kata Togi yang lahir di Mongolia itu.
Baca Juga: Pandemi Memperbesar Peluang Putus Sekolah
Togi tak sendirian. Johanna (17), siswa SMA di Los Angeles, AS, juga bekerja di restoran cepat saji dengan upah sekitar 450 dollar AS per minggu. Sambil bekerja, Johanna masih harus belajar daring. Terkadang, ia sampai harus bekerja di restoran sampai tengah malam. Hari liburnya hanya Rabu dan Sabtu. Meski berat, Johanna tetap ingin menyelesaikan studinya.
Meski berat, Togi dan Johanna tetap bertekad menyelesaikan sekolahnya. Dengan bekerja, Togi malah akhirnya menyadari pentingnya sekolah setelah melihat rekan-rekan kerjanya yang berusia antara 30 dan 40 tahun. ”Mereka bekerja seperti ini setiap hari tanpa istirahat. Saya tidak mau hidup begini,” tuturnya.
Baca Juga: Anak-anak dan Remaja Dunia Hadapi Risiko ”Bencana Generasi”
Seorang guru SMA di Washington menceritakan persoalan lain yang dirasakan siswa. Ketika ia meminta siswa belajar Bahasa Inggris, banyak di antara mereka yang kemudian memutuskan mengundurkan diri dari sekolah tanpa memberikan penjelasan. ”Banyak anak putus sekolah yang sepertinya merasa sangat malu karena tak bisa berbahasa Inggris. Mereka sepertinya kecewa sekali,” kata guru yang tak mau disebutkan namanya itu.
Baca Juga: UNESCO: Dua Pertiga Tahun Akademik Hilang akibat Pandemi
Pandemi Covid-19 yang menyebabkan krisis kesehatan dan ekonomi di AS memaksa banyak anak dan remaja bekerja apa pun. Sebagian besar kemudian bekerja di industri cepat saji yang masih bisa dilakukan bersamaan dengan sekolah daring. Namun, banyak juga yang tak mampu membagi waktu hingga harus membolos atau bahkan putus sekolah. Kalangan pendidik AS khawatir anak-anak ini tidak akan bisa lagi kembali bersekolah.
Menurut para guru dan tenaga pendidik profesional di CIS Network, jumlah siswa SMA yang bekerja melonjak selama pandemi Covid-19. Adapun mereka yang selama ini sudah bekerja, jam kerjanya bertambah menjadi 35 jam per minggu. Padahal, secara hukum, siswa seharusnya bekerja tidak lebih dari 20 jam per minggu jika mereka bekerja paruh waktu.
Direktur Eksekutif Masyarakat Sekolah di Los Angeles Elmer G Roldan mengatakan, banyak siswa dari masyarakat kulit hitam dan hispanik yang terdampak pandemi Covid-19. Banyak siswa dari komunitas itu yang orangtuanya tidak memiliki dokumen sah sebagai warga AS sehingga tidak mendapat bantuan dari pemerintah. Ini yang membuat mereka harus ikut bekerja.
Rekan Senior di lembaga peningkatan pembelajaran Bellwether Education Parners, Hailly Korman, menyatakan, banyak siswa yang terpaksa harus bekerja setelah orangtua atau walinya kehilangan pekerjaan. Anak-anak harus bekerja semata-mata karena ada kebutuhan mendesak untuk mencari uang. ”Mereka tidak punya pilihan. Kalau tidak bekerja, keluarga mereka bisa tidak makan, bahkan akan berakhir jadi gelandangan,” ujarnya.
Korman khawatir akan banyak siswa yang tidak akan mampu bertahan melanjutkan sekolah. Apalagi, bagi siswa yang selama ini memang sudah kesulitan mengikuti pembelajaran atau yang prestasi pembelajarannya kurang baik. Faktanya, sudah banyak siswa putus sekolah sebelumnya atau pada waktu sekolah harus tutup karena kebijakan karantina wilayah terkait pandemi.
Baca Juga: Butuh Strategi Khusus untuk Atasi Ketertinggalan Pembelajaran Siswa
Untuk mencegah siswa putus sekolah lebih lanjut, Korman menyarankan agar kalangan pendidik mulai memikirkan strategi restrukturisasi pembelajaran bagi anak-anak yang berasal dari keluarga miskin dan terpaksa mencari nafkah. ”Barangkali bisa diupayakan siswa mengikuti kelas setiap malam, setidaknya selama satu jam, supaya mereka tetap bisa belajar dan menyelesaikan sekolah,” sarannya.
Untuk mempertahankan siswa tetap bisa bersekolah, ada beberapa pemerintah daerah dan sistem sekolah yang memberikan kelonggaran pada persyaratan untuk ujian atau kelulusan atau mengubah kebijakan penilaian. Tujuannya supaya nilai para siswa tidak anjlok saat mereka tak mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah karena harus bekerja.
Baca Juga: Kemiskinan yang Mengintai Anak di Masa Pandemi
Namun, menurut Guru Besar Emeritus Pendidikan di University of California, Santa Barbara, Russell Rumberger, cara itu malah berisiko menurunkan standar akademik. ”Kalau kita membiarkan anak lulus dengan nilai D karena tidak ada yang bisa kita lakukan, kita akan mendapatkan lulusan-lulusan sarjana yang berkualitas rendah,” tuturnya.
Persoalan anak-anak sekolah akibat pandemi di AS tersebut juga dialami anak-anak di belahan bumi lain. Salah satunya India. Anak-anak sekolah di India banyak yang putus sekolah karena harus bekerja mencari tambahan pendapatan bagi keluarga.
Situs media Times of India, 21 Maret, menyebutkan, Masyarakat Sekolah Negeri Ghaziabad Delhi memberikan kelas-kelas pembelajaran secara virtual gratis bagi anak-anak yang terpaksa putus sekolah dan bekerja karena pandemi. Mereka juga diberikan alat tulis gratis lengkap dengan buku-buku pelajaran yang sudah disesuaikan dengan kebutuhan pembelajaran secara daring.
Anak imigran
Di Jerman, persoalan sangat dirasakan anak-anak imigran. Penutupan sekolah menyusul kebijakan karantina wilayah selama 30 pekan membuat anak-anak migran ketinggalan pelajaran. Akibatnya, kesenjangan pendidikan antara siswa penduduk Jerman dan siswa imigran yang datang dari keluarga pencari suaka di Jerman, seperti dari Suriah, Irak, dan Afghanistan, kian lebar.
”Dampak terburuk pandemi pada integrasi adalah hilangnya kontak dengan masyarakat Jerman. Banyak anak imigran yang tidak bisa berbahasa Jerman di rumah sehingga belajar bahasa Jerman itu penting,” kata Thomas Liebig dari OECD, kelompok negara-negara industri.
Baca Juga: Beban Berlipat Anak Pekerja Migram di Tengah Pandemi Covid-19
Lebih dari 50 persen orang yang lahir di Jerman dari keluarga imigran tidak berbahasa Jerman di rumah. Orangtua imigran yang tidak bisa berbahasa Jerman dan minim pendidikan kerap kesulitan membantu proses pembelajaran anaknya. ”Pandemi ini memperbesar persoalan imigran,” ucap Muna Naddaf yang memimpin proyek pendampingan bagi ibu-ibu imigran.
Minimnya akses jaringan internet yang cepat di sejumlah daerah di Jerman juga membuat proses pembelajaran daring sulit. Hanya 45 persen dari 40.000 sekolah di Jerman yang memiliki jaringan internet yang cepat sebelum pandemi. Kondisi lebih parah terjadi di kawasan-kawasan miskin. Tidak ada infrastruktur digital yang memadai dan orangtua pun tak mampu membeli laptop atau kebutuhan pembelajaran lainnya.
”Kesenjangan pendidikan antara penduduk asli dan imigran kian lebar. Kita harus investasi besar-besaran di pendidikan setelah pandemi supaya tak ada generasi yang hilang,” kata Guru Besar di Institut Penelitian Ekonomi Cologne Axel Pluennecke. (REUTERS/AFP/AP)