Tegaskan Komitmen Bantuan Vaksin, Tiga Senator AS Mendarat di Taiwan
Amerika Serikat berjanji mengirimkan vaksin Covid-19 kepada Taiwan. Kedatangan tiga senator AS di Taipei, Taiwan, Minggu (6/6/2021) siang waktu setempat, menegaskan komitmen itu sekaligus memancing reaksi China.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
TAIPEI, SENIN — Tiga senator dari Amerika Serikat mendarat di Taipei, Taiwan, Minggu (6/6/2021) siang waktu setempat. Kedatangan mereka merupakan penegasan janji pemerintahan Presiden Joe Biden untuk memberikan bantuan 750.000 dosis vaksin Covid-19 kepada Taiwan setelah negara ini mengaku mengalami kesulitan memperoleh vaksin akibat dihalang-halangi oleh China.
Ketiga senator itu adalah Tammy Duckworth dan Christopher Coons dari Partai Demokrat serta Dan Sullivan dari Partai Republik. Mereka mendarat di Taipei dengan menggunakan pesawat Angkatan Udara Amerika Serikat (AS) jenis C-17 Globemaster III. Ini pertama kalinya pejabat AS memakai pesawat militer. Biasanya, kunjungan pejabat Pemerintah AS ke Taiwan selalu menggunakan pesawat jet privat ataupun komersial.
”Sebagai sekutu Taiwan, tentu kami membantu dengan senang hati,” kata Duckworth dalam jumpa pers di Bandar Udara Songshan, Taipei.
Belum ada keterangan merek vaksin Covid-19 yang akan disumbangkan oleh AS ataupun jadwal kedatangannya. Selain AS, negara sahabat yang turun tangan membantu Taiwan adalah Jepang. Per Jumat (4/6/2021), 1,24 juta dosis vaksin AstraZeneca sumbangan dari Jepang tiba di Taiwan.
Pada akhir Mei, Presiden AS Joe Biden mengumumkan akan menyumbangkan 25 juta dosis vaksin Covid-19 kepada Covax. Ini adalah skema pengadaan vaksin untuk negara-negara miskin dan berkembang yang dibuat oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pengelolaannya dilakukan oleh Aliansi Vaksin dan Imunisasi Global (GAVI).
Menteri Luar Negeri Taiwan Joseph Wu, yang menyambut kedatangan ketiga senator itu, mengutarakan terima kasih. Ia menekankan bahwa isu pandemi Covid-19, sebagai masalah global, hendaknya jangan dipolitisasi. Taiwan berusaha menyelamatkan rakyatnya dengan membeli vaksin, tetapi tidak mau proses pembelian ini harus mengalami campur tangan dari Beijing.
Taiwan berusaha menyelamatkan rakyatnya dengan membeli vaksin, tetapi tidak mau proses pembelian ini harus mengalami campur tangan dari Beijing.
Komentar Wu ini mengacu pada insiden gagalnya pembelian vaksin Covid-19 dari Pfizer-BioNTech. Setelah berdiskusi per Desember 2020, perusahaan Pfizer-BioNTech tiba-tiba membatalkan rencana penjualan vaksin kepada Taiwan. Setelah itu, muncul pernyataan bahwa Taiwan hanya bisa membeli vaksin merek tersebut melalui Fosun Pharmaceuticals Co, perusahaan farmasi dari China yang memegang hak edar untuk semua vaksin buatan Pfizer-BioNTech di China, Taiwan, Hong Kong, dan Makau. Pemerintah Taiwan sontak menolak.
Presiden Taiwan Tsai Ing-wen menuduh Beijing sengaja menghalangi Taipei mengendalikan pandemi Covid-19. Ia menolak semua skema pengadaan vaksin yang harus melalui pemerintah ataupun pihak swasta China. Sejak saat itu, Taiwan mengalami kesulitan untuk mencari vaksin.
Tsai memang berhasil memesan 10 juta dosis vaksin AstraZeneca, 5,05 juta dosis vaksin Moderna, dan 4,76 dosis vaksin Covid-19 merek lain melalui Covax. Akan tetapi, belum bisa dipastikan waktu pengiriman vaksin-vaksin itu ke Taiwan.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Taiwan, hingga Mei 2021, baru 700.000 dosis vaksin yang telah disuntikkan. Jumlah ini setara dengan 3 persen dari populasi negara yang berpenduduk 23,8 juta jiwa itu. Mayoritas warga yang telah diimunisasi pun baru menerima dosis pertama.
Beijing, melalui juru bicara Kementerian Luar Negeri, Wang Wenbin, balas menuduh Taipei melakukan kampanye hitam untuk merusak reputasi China. Menurut Wang, tidak ada pemaksaan bagi Taiwan. Hal tersebut murni aturan bisnis bahwa hak edar dipegang oleh perusahaan yang memenangi tender dari produsen vaksin.
Taiwan merupakan salah satu dari segelintir negara yang selama 2020 nyaris tidak mengalami kasus penularan Covid-19 lokal. Hampir semua kasusnya adalah impor, yakni dari warga negara asing yang datang ke Taiwan atau warga negara Taiwan yang baru tiba dari luar negeri.
Namun, pada Mei 2021, tercatat 10.000 kasus positif baru muncul. Hal ini karena Pemerintah Taiwan tidak siap dengan perkembangan pandemi, terutama mutasi virus SARS-Cov-2 menjadi varian-varian baru. Di antaranya adalah jenis Alpha dari Inggris, Beta dari Afrika Selatan, dan Delta dari India. Ketiga varian ini memiliki kemampuan penularan lebih cepat dibandingkan dengan varian asli dari Wuhan.
Guna mengendalikan pandemi, Pemerintah Taiwan mengumumkan pada Senin (7/6/2021) bahwa karantina wilayah diperpanjang sampai dengan 28 Juni. Hanya sektor-sektor esensial yang boleh beroperasi. Itu pun dengan protokol kesehatan ketat.
Akibat lonjakan kasus ini, para ”Migran Covid” pun ramai-ramai mudik ke negara asal. ”Migran Covid” adalah julukan yang dipakai untuk memanggil para profesional dari mancanegara yang hijrah ke Taiwan sepanjang 2020 demi menghindari wabah Covid-19 di negara asal.
Mayoritas mereka adalah diaspora Taiwan, yaitu warga negara asing keturunan Taiwan yang sudah lahir dan besar di AS, Australia, dan negara-negara Eropa. Meskipun begitu, terdapat pula sejumlah warga keturunan non-Tionghoa yang sengaja pindah ke Taiwan karena pengendalian Covid-19 yang baik. Apalagi, di awal 2021, Pemerintah Taiwan gencar mempromosikan izin tinggal bagi para profesional ini.
Dilansir dari Radio Taiwan Internasional per Februari 2021, para profesional ini diberi hak tinggal istimewa bernama ”Kartu Emas”. Izin ini khusus ditujukan bagi para profesional di bidang apa pun yang dianggap memiliki kemampuan sepadan untuk digaji 5.360 dollar AS setiap bulan. Mereka diharapkan bisa meningkatkan pembangunan dengan cara bekerja di Taiwan atau memakai Taiwan sebagai basis operasional. Total 2.000 ”Kartu Emas” yang dibagi.
Akan tetapi, lonjakan kasus positif di Taiwan sejak Mei, para profesional ini ramai-ramai mudik ke negara asal mereka. ”Kalau begini, kondisi di Taiwan tidak jauh berbeda dari negara mana pun di dunia. Lebih baik saya bekerja daring dari kampung halaman,” kata Rachel Chang, warga Silicon Valley, AS, yang bekerja sebagai pakar teknologi di Taiwan ketika diwawancara oleh media Quartz.