Debat Capres Iran, Moderat dan Garis Keras Saling Serang
Debat calon presiden Iran, Sabtu (5/6/2021), diwarnai saling serang antara kandidat moderat reformis dan garis keras atau ultrakonservatif. Salah satu perdebatan sengit soal krisis ekonomi di negara tersebut.
Oleh
Pascal S Bin Saju
·4 menit baca
TEHERAN, SABTU — Debat calon presiden Iran, Sabtu (5/6/2021), diwarnai saling serang antara kandidat moderat reformis dan garis keras atau ultrakonservatif. Iran akan menggelar pemilu presiden untuk menggantikan Hassan Rouhani, 18 Juni 2021, di tengah krisis akibat sanksi nuklir setelah Amerika Serikat keluar dari Kesepakatan Nuklir 2015.
Dewan Wali Iran yang didominasi tokoh-tokoh konservatif telah menetapkan tujuh kandidat presiden, yakni lima dari kubu ultrakonservatif dan dua tokoh moderat reformis. Semula ada sekitar 600 bakal calon. Dewan Wali adalah lembaga negara yang beranggotakan 12 orang, yang memegang kekuasaan besar dan berpengaruh di Iran.
Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, sebelumnya mengatakan, beberapa kandidat yang didiskualifikasi telah dipersalahkan dan difitnah secara daring. Meski demikian, Khamenei yang memegang keputusan akhir di Iran, tetap mendukung keputusan Dewan Wali.
Dalam debat pertama dari tiga debat yang dijadwalkan, kandidat reformis dan ultrakonservatif saling tuding atas krisis ekonomi Iran. Ketua Hakim Iran, Ebrahim Raisi, dilihat sebagai kandidat favorit setelah Dewan mendiskualifikasi anggota Dewan Keamanan Nasional Tertinggi, Ali Larijani. Raisi adalah tokoh unltrakonservatif dan Larijani adalah tokoh moderat.
Lima kandidat garis keras atau ultrakonservatif menyerang kinerja delapan tahun pemerintahan Rouhani yang pragmatis. Mereka meminta calon moderat dan reformis, Abdolnasser Hemmati, yang merupakan mantan Gubernur Bank Sentral Iran (CBI), untuk bertanggung jawab atas krisis ekonomi di Iran. Dia pun dituding telah berusaha mewarisi rekor buruk pemerintah Rouhani.
”Tuan Hemmati, pemerintahan Anda telah membawa bencana besar. Anda duduk di sini sebagai wakil Tuan Rouhani,” kata Mohsen Rezaee, mantan Komandan Garda Revolusi Iran.
Rezaee menuduh Hemmati ”sepenuhnya tunduk” pada sanksi AS dan mengatakan Hemmati harus menghadapi tuduhan makar. ”Jika jadi presiden, saya akan melarang Hemmati dan sejumlah pejabat lain dari kabinet Rouhani untuk meninggalkan negara ini. Saya akan membuktikan di pengadilan peran berbahaya apa yang mereka mainkan,” kata Rezaee, doktor ekonomi.
Hemmati membalas dengan menyalahkan kelompok garis keras atas meningkatnya ketegangan Iran dengan Barat, yang menurutnya telah memperburuk krisis ekonomi Iran. Dia menunding kaum konservatif merusak hubungan internasional Iran, mengisolasi Iran secara internasional, dan merusak ekonomi Iran. Sektor-sektor vital telah didominasi oleh konglomerat garis keras.
”Anda telah menutup ekonomi kita dan kontak asing kita. Saya meminta Anda semua, perusahaan, dan institusi Anda untuk menarik diri dari ekonomi kita. Maka, ekonomi Iran pasti akan membaik,” kata Hemmati, yang juga profesor ekonomi.
Hemmati balik menuding agenda ekonomi dari lawan ultrakonservatifnya yang menjadi biang kerok krisis Iran. Dia mengatakan, janji-janji mereka untuk memberikan bantuan keuangan besar-besaran untuk pemulihan ekonomi hanya sebatas isapan jempol karena tidak dapat direalisasikan.
Sementara Ebrahim Raisi, kandidat garis keras lainnya, mengecam pemerintah Rouhani atas lonjakan inflasi dan melemahnya nilai mata uang Iran. Doktor hukum itu menolak komentar Hemmati dan moderat lainnya dan menyalahkan sanksi AS atas krisis ekonomi Iran. Dia juga mengatakan, tanpa manajemen yang tepat, Iran akan menjadi lebih buruk.
Raisi, yang meraih 38 persen suara dalam Pipres 2017, berusaha menghindari bentrokan langsung dengan kaum reformis. ”Inflasi adalah salah satu masalah serius yang dihadapi saat ini. Harga barang pokok naik secara signifikan,” katanya.
Rouhani adalah arsitek utama Iran dalam kesepakatan program nuklir Iran dengan enam kekuatan dunia, yakni AS, Rusia, China, Inggris, dan Perancis yang merupakan lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB serta ditambah Jerman. Kesepakatan yang diteken pada 14 Juni 2015 itu dikenal dengan nama Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) atau Kesepakatan Nulir Iran 2015.
Namun, AS di bawah Presiden Donald Trump justru menarik diri dari JCPOA pada 8 Mei 2018 dan kembali menjatuhkan sanksi ekonomi kepada Iran. Di bawah Joe Biden, AS berupaya menghidupkan kembali perundingan dengan dimulainya pertemuan di Vienna, Austria, awal April lalu.
Media Iran telah menyampaikan adanya keprihatinannya dalam beberapa pekan terakhir tentang risiko tingkat partisipasi pemilih yang rendah. Pada pemilihan umum legislatif pada Februari 2020, 57 persen pemilih tidak mencoblos.
Debat televisi lebih lanjut akan diadakan pada Selasa dan Sabtu, pekan depan. (AFP/REUTERS/CAL)