Burkina Faso Kian Kacau, 138 Orang Tewas dalam Satu Serangan
Kelompok bersenjata di Burkina Faso menyerang wilayah perdesaan hingga menewaskan 138 orang. Ini merupakan gejolak kekerasan terparah di Burkina Faso sejak 2015.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
NIAMEY, MINGGU — Sedikitnya 138 warga sipil yang tinggal di wilayah utara Burkina Faso, Afrika Barat, tewas dalam serangan kelompok bersenjata, Jumat sore waktu setempat. Ini merupakan gejolak kekerasan bersenjata paling mematikan di Burkina Faso sejak kekerasan oleh kelompok militan bersenjata pada 2015.
Serangan di kawasan Sahel tersebut terjadi di wilayah dekat perbatasan Mali dan Niger. Wilayah ini merupakan area operasi kelompok-kelompok militan yang terkait dengan Al Qaeda dan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Presiden Burkina Faso Roch Marc Christian Kabore menyebut peristiwa itu sebagai serangan barbar.
Pemerintahan Kabore menetapkan masa berkabung tiga hari. ”Beberapa orang mengalami luka-luka dan jenazah-jenazah baru mulai ditemukan. Jumlah korban sementara ini adalah 138 orang tewas,” ujar seorang pejabat setempat, Sabtu (5/6/2021) malam.
”Jenazah-jenazah itu dimakamkan secara massal,” kata pejabat itu menambahkan. ”Kami harus tetap bersatu dan solid menghadapi pasukan bertopeng itu.”
Juru bicara Pemerintah Burkina Faso, Ousseni Tamboura, Sabtu, menuding kelompok militan sebagai pelaku serangan. Selain menembaki warga sipil, kelompok itu juga membakar pasar dan sejumlah desa di daerah perbatasan dengan Niger.
Peneliti senior pada Proyek Data Event dan Lokasi Konflik Bersenjata, Heni Nsaibia, mengatakan bahwa gejolak kekerasan tersebut merupakan yang terparah di Burkina Faso sejak negara itu dikendalikan kelompok-kelompok terkait dengan Al Qaeda dan NIIS. ”Kelompok militan semakin tidak terkendali di Burkina Faso dan mulai menjalar ke daerah di luar jangkauan pasukan koalisi kontraterorisme pimpinan Perancis yang melawan mereka di perbatasan,” ujarnya.
Sampai sejauh ini belum ada kelompok yang mengaku bertanggung jawab atas serangan pada Jumat lalu. Pemerintahan Kabore mengecam aksi teroris dalam serangan yang tidak berperikemanusiaan dengan membunuh warga sipil tanpa peduli usia itu.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres, melalui juru bicaranya, mengekspresikan kemarahan dan mengecam gejolak kekerasan itu. Guterres menekankan pentingnya komunitas internasional meningkatkan perlawanan terhadap kekerasan dan ekstremisme yang menewaskan banyak warga sipil. ”PBB akan membantu sepenuhnya,” kata juru bicara PBB, Stephane Dujarric.
Kekacauan meningkat
Saat ini, lebih dari 5.000 tentara Perancis dikerahkan di kawasan Sahel. Kawasan ini mencakup area dari wilayah Afrika barat, mulai sisi timur Senegal, sisi selatan Mauritania, Mali, wilayah utara Burkina Faso, ujung selatan Aljazair, Niger, wilayah utara Nigeria, ujung utara Kamerun, dan Republik Afrika Tengah, Chad, hingga wilayah tengah dan selatan Sudan, Eritrea, serta ujung utara Etiopia. Meski demikian, kekerasan bersenjata oleh kelompok-kelompok militan di kawasan itu terus meningkat.
Dalam sepekan pada April lalu, lebih dari 50 orang tewas di Burkina Faso, termasuk dua wartawan Spanyol dan ahli konservasi asal Irlandia. Lebih dari 1 juta warga Burkina Faso terlunta-lunta setelah mengungsi dari kampung asal mereka.
Terkait serangan pada Jumat lalu, seorang warga setempat menuturkan, saat mengunjungi kerabatnya di sebuah klinik medis di kota Sebba, sekitar 12 kilometer dari lokasi serangan, dirinya melihat banyak korban terluka di klinik tersebut. ”Saya lihat ada 12 orang di satu ruangan dan sekitar 10 orang di ruangan lain. Banyak kerabat membawa orang-orang terluka (ke klinik itu),” katanya melalui telepon kepada kantor berita Associated Press.
”Banyak juga orang yang berlari dari Solhan masuk ke Sebba. Orang-orang itu sangat ketakutan dan terlihat cemas.”
Serangan terhadap warga sipil dan pembakaran rumah warga tersebut dimulai pada Jumat siang di Desa Solhan, Provinsi Yagha, Burkina Faso utara. Sebelumnya, terjadi serangan terhadap Sukarelawan untuk Pertahanan Ibu Pertiwi (VDP), pasukan pertahanan sipil anti-jihad yang mendukung angkatan bersenjata Burkina Faso.
Pemimpin oposisi, Eddie Komboigo, menuntut agar pembunuhan massal terhadap rakyat yang terus berulang harus segera dihentikan demi melindungi rakyat Burkina Faso.
VDP dibentuk pada Desember 2019 untuk membantu pasukan pemerintah yang minim peralatan militer dalam melawan kelompok-kelompok militan. Namun, mereka juga kewalahan dan sekitar 200 anggotanya tewas terbunuh.
Setiap anggota atau relawan VDP mendapat pelatihan militer selama dua pekan sebelum diterjunkan ke medan pertempuran. Biasanya mereka mendapatkan tugas dan tanggung jawab pengawasan, pengumpulan informasi, atau pengawalan.
Pemerintah Burkina Faso mengatakan, saat ini pasukan keamanan dan pertahanan tengah berusaha melumpuhkan kelompok teroris dan memulihkan ketenangan di daerah-daerah padat penduduk. Selama beberapa tahun terakhir, Desa Solhan yang berada sekitar 15 kilometer dari Sebba, kota utama di Provinsi Yagha, kerap dihajar serangan.
Pada 14 Mei, Menteri Pertahanan Burkina Faso Cheriff Sy berkunjung ke Sebba untuk memastikan kehidupan masyarakat kembali normal setelah beberapa operasi militer.
Serangan kelompok bersenjata itu terjadi beberapa jam setelah serangan di Desa Tadaryat yang menewaskan 14 orang. Sejak 2015, Burkina Faso berjuang keras melawan serangan dan kekerasan berbagai kelompok militan yang terus terjadi dan semakin parah. Kelompok-kelompok bersenjata itu antara lain adalah kelompok Pendukung Islam dan Muslim (GSIM) serta kelompok Negara Islam di Sahara Raya (EIGS).
Serangan terjadi pertama kali di wilayah utara dekat perbatasan Mali, lalu menyebar ke daerah-daerah lain. Sedikitnya 1.400 orang tewas dan lebih dari satu juta warga terpaksa mengungsi sejak itu. (AFP/AP)