Pembekuan Sel Telur, antara Aturan dan Hak Reproduksi Perempuan
Membekukan sel telur di Singapura menjadi impian bagi perempuan di negara tersebut. Aturan pemerintah dan norma sosial yang melarangnya membuat mereka terbang ke negara tetangga untuk melakukannya.
Oleh
Mahdi Muhammad
·5 menit baca
Pekerjaan yang menyita sebagian waktunya untuk melayani klien pada sebuah perusahaan periklanan membuat Erica, warga Singapura, hanya memiliki sedikit waktu untuk memulai sebuah keluarga. Dengan usia yang sudah memasuki kepala empat, Erica menyadari kondisi fisiologis dan biologis tubuhnya akan rentan jika ingin memiliki anak di kemudian hari.
Namun, dia masih memiliki harapan suatu saat nanti bisa berkeluarga dan memiliki anak. Yang terpenting sekarang bagi dia adalah bagaimana caranya agar sel telur miliknya bisa disimpan supaya tetap sehat serta siap ditanamkan kembali sewaktu-waktu, saat dia dan pasangan hidupnya kelak siap memiliki keturunan.
Yang menjadi masalah, di Singapura ada larangan bagi kaum perempuan untuk menyimpan dan membekukan sel telur mereka di rumah sakit atau laboratorium khusus.
”Sangat tidak adil bagi perempuan di sini. Kebijakan itu tidak memberikan kami, perempuan yang tinggal di Singapura, peluang untuk melahirkan pada usia 40-an. Dan, karena kebijakan itu, mereka (kaum perempuan Singapura) harus sudah mapan secara karier pada usia 30-an tahun. Waktu tidak berpihak kepada kami,” kata Erica, yang memilih tidak menggunakan nama aslinya.
Kini, tumbuh kesadaran dari berbagai pihak yang mendorong agar pemerintah melonggarkan aturan pelarangan membekukan sel telur bagi kaum perempuan. Salah satu alasannya adalah membantu meningkatkan jumlah kelahiran di Singapura, salah satu yang terendah di dunia.
Data Pemerintah Singapura menunjukkan, tingkat kelahiran bayi total di negara ini mencapai 38.590 orang pada 2020 atau menurun sekitar 1,8 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Apabila dijabarkan lebih detail lagi, angka kelahiran hidup penduduk di negara kota ini mencapai 34.233 orang atau turun 3,2 persen dibandingkan dengan tahun lalu.
Sementara itu, tingkat kesuburan perempuan di Singapura pada 2020 menurun menjadi 1,1 kelahiran per orang dari sebelumnya 1,14. Angka ini jauh dari angka rata-rata global yang mencapai 2,4 kelahiran bayi per orang.
Persaingan ketat di dunia kerja, yang membuat laki-laki atau perempuan muda memilih untuk meniti karier terlebih dahulu, membuat usia pernikahan menjadi lebih tua. Untuk laki-laki, pada 2009, usia pernikahan pertama rata-rata terjadi pada umur 29,8 tahun. Satu dekade berikutnya, tahun 2019, rata-rata pernikahan terjadi pada usia 30,4 tahun.
Sama halnya dengan laki-laki, usia pernikahan perempuan di Singapura juga mengalami perubahan. Dari rata-rata menikah pada usia 27,5 tahun pada tahun 2009 menjadi 28,8 tahun pada 2019.
Dorongan pemerintah untuk meningkatkan kelahiran, termasuk adanya bantuan atau subsidi bagi pasangan yang memiliki bayi hingga perawatan kesuburan untuk pasangan yang sudah menikah, tampaknya tidak menyaring minat kaum muda untuk menikah lebih cepat.
Para pendukung pembekuan sel telur mengatakan, tindakan medis itu dapat membantu mengangkat tingkat kelahiran bayi di Singapura. Namun, sejauh ini, pemerintah baru mengizinkan tindakan tersebut dilakukan pada perempuan yang membutuhkan tindakan medis tertentu untuk menyelamatkan sel telurnya, seperti pasien kanker yang membutuhkan kemoterapi.
Selain masalah medis, Singapura juga dikenal masih konservatif soal reproduksi terencana, terutama pembekuan sel telur yang ujungnya nanti adalah program bayi tabung. Dalam pandangan pemerintah dan kelompok agama, pembekuan sel telur akan mendorong perempuan untuk menunda pernikahan dan memiliki anak.
Berbeda dengan Singapura, banyak negara lain, termasuk sejumlah negara di Asia Tenggara, mengizinkan prosedur ini. Bahkan, tanpa alasan medis apa pun.
Kelonggaran inilah yang membuat Erica terbang ke Kuala Lumpur, Malaysia, untuk melakukan prosedur pengambilan sel telur dan membekukannya. Prosedur ini dilakukannya sekitar lima tahun lalu, saat dia masih berusia 36 tahun dan baru saja putus dengan pacarnya yang telah bersama selama enam tahun.
Dinamika sosial
Erica bukan satu-satunya perempuan asal Singapura yang memilih membekukan sel telurnya di luar negeri. Menurut data Sunfert Internasional, perusahaan yang memiliki beberapa klinik kesuburan di seluruh Malaysia, sebelum pandemi, permintaan dari pasien asal Singapura meningkat hampir 15 persen setiap tahun. Negara tujuan calon pasien tidak hanya Malaysia, tapi juga Thailand dan Australia.
Membekukan sel telur tidak bisa berlangsung satu kali. Erica membutuhkan setidaknya lima kali pergi pulang untuk berkonsultasi dan berujung pada tindakan medis, yaitu pengambilan sel telur. Dokter, dengan persetujuan pasien, akan melakukan beberapa suntikan hormon untuk memperkuat dinding ovarium sebelum sel-sel telur yang dianggap bagus dan berkualitas tinggi (grade AA+ atau AA atau AB) diambil dan kemudian disimpan dalam sebuah tempat penyimpanan khusus.
Apabila nantinya pasien menghendaki dan siap untuk proses kehamilan alamiah, dokter dan timnya akan kembali meletakkan kembali sel-sel telur itu di ovarium. Sebaliknya, jika pasangan menghendaki proses pembuahan terjadi di luar tubuh, penyatuan sel sperma dan sel telur akan dilakukan di laboratorium sebelum akhirnya embrio yang dihasilkan dikembalikan ke tubuh pemiliknya, si calon ibu, yang disebut sebagai program bayi tabung.
Helena Lim, dokter pada Kuala Lumpur Fertility Center, mengatakan, dinamika sosial yang berubah di masyarakat membuat permintaan pembekuan sel telur ini meningkat, khususnya dari Singapura. Sebelum perbatasan ditutup karena pandemi Covid-19, klinik tersebut kedatangan tiga hingga enam perempuan asal Singapura dalam setahun untuk melakukan prosedur pembekuan seperti ini.
”Dengan menunda kehamilan, perempuan memiliki lebih banyak kesempatan untuk menikmati pendidikan yang tinggi dan gaya hidup yang berbeda,” katanya.
Namun, kondisi itu tidak hanya terjadi di negara-negara maju, seperti Singapura. Di banyak negara, perempuan menunda melahirkan atau bahkan berumah tangga karena pertimbangan keuangan dan tekanan karier.
Namun, dinamika masyarakat maju, termasuk yang dirasakan oleh kaum perempuan di Singapura, tak membuat pemerintah berpikiran untuk mengubah atau sedikit memperlonggar aturan. Kementerian Sosial dan Pembangunan Keluarga, tahun lalu, mengatakan, ada keprihatinan etis dan sosial jika membebaskan pembekuan sel telur perempuan. Mereka khawatir pencabutan larangan itu akan membuat lebih banyak perempuan muda menunda pernikahan dan menjadi orangtua.
Dewan Gereja Nasional Singapura juga tidak sepakat soal pencabutan larangan tersebut. Mereka menyebut pencabutan larangan ataupun pembekuan sel telur sebagai tindakan yang sangat egois. Mereka berpandangan bahwa perempuan seharusnya didorong untuk memiliki anak lebih awal dalam kehidupannya.
Akan tetapi, bagi Erica, keputusan untuk terbang ke Kuala Lumpur dan membekukan sel telur adalah keputusan terbaik baginya dan bagi pasangannya. Kebebasan bagi kaum perempuan untuk memilih apa yang terbaik bagi dirinya dan masa depannya memberikan kepuasan tersendiri, selain hal itu adalah haknya sebagai pribadi.
”Saya merasa itu (membekukan sel telur) adalah keputusan yang bagus,” kata Erica. (AFP)