Dengan sentralitasnya, ASEAN seharusnya mempunyai modal kapasitas guna menyelesaikan krisis politik di Myanmar. Namun, ternyata modal itu belum cukup.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Saat ini sudah hampir 1,5 bulan setelah para pemimpin ASEAN berkumpul khusus membahas krisis politik Myanmar di Gedung Sekretariat ASEAN, Jakarta. Lima konsensus lahir dari pertemuan 24 April 2021 itu: penghentian kekerasan dan sikap menahan diri oleh semua pihak, dialog konstruktif melibatkan semua pihak, penunjukan utusan khusus ASEAN, bantuan kemanusiaan, dan kunjungan utusan khusus ASEAN ke Myanmar. Namun, tak satu pun yang terlaksana.
Di Myanmar, kekerasan hingga pertempuran terus berkecamuk. Penangkapan aktivis dan jurnalis oleh aparat junta berlanjut, menyulitkan upaya membangun kepercayaan di kalangan yang bertikai. Keterbelahan kian menganga. Pemerintahan Persatuan Nasional (NUG)—tandingan junta—membentuk pasukan militer. Banyak pihak memperingatkan ancaman perang saudara, seperti di Suriah, Yaman, atau Libya, bisa melanda Myanmar.
Dalam situasi seperti itu, wajar jika kritik perlu diarahkan kepada ASEAN. Satu langkah awal yang harus dilakukan ASEAN, tetapi tak kunjung diwujudkan, sesuai konsensus 24 April lalu, ialah menunjuk utusan khusus. Belum ada utusan khusus, upaya mediasi belum dijalankan. Ini mengherankan, sekaligus menyisakan pertanyaan, ada apa dengan ASEAN? Apakah ada keterbelahan di tubuh ASEAN dalam isu ini?
Perhimpunan itu diakui memiliki modal penting, yang kerap disebut ”sentralitas ASEAN”, guna menangani krisis seperti di Myanmar. Dengan kredo sentralitasnya itu, ASEAN menjadi kekuatan utama penggerak di kawasan dalam mengelola persoalan kawasan ataupun dalam relasinya dengan pihak luar melalui arsitektur yang terbuka, transparan, dan inklusif.
Banyak pihak mengakui kekuatan ASEAN, seperti dikatakan Wakil Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Wendy Sherman dan Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Josep Borrell, yang dikutip harian ini, Kamis (3/6/2021). Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan China juga mendukung peran sentral ASEAN. Namun, ada satu elemen lain yang tak bisa dipisahkan dari sentralitas, yaitu persatuan (unity). Bagi ASEAN, sentralitas dan persatuan bak satu tarikan napas.
Elemen persatuan ini sangat relevan disampaikan lantaran ada isu keterbelahan di kalangan negara-negara ASEAN terkait krisis Myanmar. Disebut ada semacam dua kamp: Indonesia, Malaysia, dan Singapura plus Filipina sebagai pihak yang kritis atas situasi di Myanmar; serta Thailand, Vietnam, Kamboja plus Laos, yang akomodatif pada junta. Penunjukan utusan khusus ASEAN disebut, antara lain, sebagai efek keterbelahan itu.
Sudah saatnya ASEAN bangun dari kemandekan dan bersatu meninggalkan keterbelahan itu. Peran Brunei Darussalam sebagai Ketua ASEAN tahun ini sangat vital dalam menjaga sentralitas dan persatuan ASEAN dalam menangani krisis di Myanmar. Jangan tunggu Myanmar menjadi seperti Suriah, Yaman, atau Libya.