Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa (UE) Josep Borrell mengungkapkan rencana UE memperkuat kehadirannya di Indo-Pasifik. Ia menegaskan, UE menghindari konfrontasi. Sejarah, katanya, akan ditulis di Indo-Pasifik.
Oleh
KRIS MADA
·3 menit baca
Kepala Kebijakan Luar Negeri dan Keamanan Uni Eropa Josep Borrell Fontelles melawat ke Indonesia. Ia bertemu dengan sejumlah pihak dan membahas aneka isu. Ekspor produk sawit Indonesia ke Uni Eropa, perundingan perjanjian dagang Jakarta-Brussels, hingga vaksin Covid-19 menjadi agenda lawatannya.
Ia mengatakan, kapal-kapal perang anggota UE akan lebih sering hadir di kawasan. Semua bertujuan memperkuat kehadiran Uni Eropa di Indo-Pasifik. Di sela-sela kegiatannya di Jakarta, Kamis (3/6/2021), Borrell melayani wawancara media, termasuk Kompas. Berikut petikannya:
Benarkah Uni Eropa melarang produk sawit Indonesia masuk?
Tidak ada yang namanya pelarangan. Bagaimana disebut melarang jika tahun lalu (2020) naik 26 persen. Uni Eropa membeli lebih banyak dibandingkan yang lain. Di India dan China, bea masuk lebih tinggi.
Isu ini memang sangat berdampak (pada hubungan Jakarta-Brussels). Harus diselesaikan bersama-sama. Ada perbedaan pandangan pada beberapa hal. Selesaikan di meja perundingan. Tidak ada yang ditutupi. Tunjukkan bukti ilmiah untuk mendukungnya. Kami tidak mendiskriminasi.
Konsumsi minyak memang berkurang, baik minyak bumi maupun nabati. Sebab, kami mendorong elektrifikasi sistem transportasi yang menghadirkan sejumlah kondisi. Minyak bumi dan nabati ada di jalur lain. Di jalur yang menurun.
Bagaimana dengan sengketa di WTO?
Mekanisme yang tersedia memang seperti itu. Kami akan menuruti apa pun keputusan WTO. Ikuti prosesnya.
Pada persoalan perdagangan lebih luas, bagaimana cara meningkatkan hubungan Indonesia-UE?
Untuk meningkatkan perdagangan, dibutuhkan kerangka kerja. Inilah yang sedang diupayakan. Perdagangan Indonesia-Uni Eropa belum mencerminkan potensi masing-masing. Masih banyak peluang peningkatan. Lewat kesepakatan dagang, peluang itu ada. Kita sudah berunding tujuh tahun, mudah-mudahan segera selesai. Kerja sama Uni Eropa-Indonesia amat luas dan sudah lama. Ada ribuan pelajar Indonesia mendapat beasiswa di Uni Eropa.
Selain perdagangan, bagaimana dengan kerja sama pertahanan?
Kami semakin sering mengundang para perwira Asia Tenggara ikut latihan bersama. Ikut kapal-kapal operasi kami. Ini untuk meningkatkan pemahaman dan hubungan masing-masing. Kami sudah mengusulkan untuk menjadi peninjau di ADMM (ASEAN Defense Minister Meeting) agar bisa semakin terlibat di kawasan.
Armada kami akan lebih sering hadir di kawasan. Tentu bukan dalam arti armada seperti milik China atau Amerika Serikat karena kami tidak punya. Lebih kepada armada milik negara-negara anggota kami akan lebih sering di kawasan.
Sejarah masa depan tidak ditulis di tempat lain. Sejarah akan ditulis di sini, di Indo-Pasifik. Dulu Eropa jadi medan perang, persaingan. Sekarang, berpindah ke sini. Persaingan kekuatan besar ada di sini. Pada 2030, 2,5 miliar kelas menengah ada di Indo-Pasifik. Kawasan ini akan berkontribusi pada 60 persen perekonomian global. Kami ingin hadir di sini dengan kepentingan kami.
Mengapa Uni Eropa perlu membuat versi Indo-Pasifik sendiri, tidak mengikuti AS?
Kami memang dekat dengan Washington, tentu saja. Sistem ekonomi sama, multipartai, pasar bebas. Walakin, kepentingan kami kadang berbeda. Kami tidak harus selalu ikut saja. Kami harus berperan untuk membela kepentingan kami. Kami mencoba menghindari konfrontasi, dunia bipolar versi baru.
Hal ini bisa dipakai di Indo-Pasifik dan negara-negara Asia Tenggara. Strategi kami adalah strategi kerja sama. Kemampuan lebih besar untuk bersekutu dengan negara yang berpikiran sama di kawasan.
Bagaimana dengan penanggulangan pandemi Covid-19?
Separuh vaksin produksi kami diekspor. AS dan Inggris hampir tidak mengekspor. Itu bukti komitmen kami. Kami juga berpartisipasi aktif di Covax. Menyumbangkan miliaran euro untuk membantu pengadaan vaksin di Afrika karena kapasitas produksi di sana amat rendah.
Mengapa Uni Eropa keberatan dengan penangguhan hak paten vaksin?
Pertanyaannya adalah apakah itu (penangguhan) bisa meningkatkan ketersediaan? Masalahnya adalah kapasitas produksi. Seharusnya itu diatasi. Produksi vaksin membutuhkan banyak pengetahuan dan pengembangan itu membutuhkan dana. Karena itu, butuh hak paten.