Pemetik Teh India Sudah Jatuh, Tertimpa Tangga Pula...
India adalah penghasil teh terbesar kedua dunia. Industri teh di sana dituduh mengeksploitasi pekerjanya dengan dengan jam kerja lama, upah rendah, layanan kesehatan minim. Ini membuat mereka rentan terpapar Covid-19.
Oleh
Luki Aulia
·5 menit baca
Bagi para pemetik teh di perkebunan teh India, terinfeksi Covid-19 terasa seperti akhir dunia mereka. Tak hanya harus dikarantina selama dua pekan, mereka juga harus kehilangan seluruh uang tabungan. Tidak ada tetangga yang mau membantu karena takut tertular. Tak ada juga bantuan dari pemilik perkebunan maupun pemerintah. Mereka harus mengeluarkan uang sendiri untuk membeli kebutuhan makanan, minuman, dan obat-obatan.
Ketika Bholanath Natto (55), pemetik teh di Benggala Barat, dan istrinya terinfeksi Covid-19, keduanya tak terlalu mengkhawatirkan kondisi kesehatan mereka. Pasangan itu justru pusing memikirkan di mana harus menjalani karantina dan cara mendapat makanan dan minuman. Mereka tidak akan memiliki uang cukup jika Natto tidak bekerja.
Di sejumlah kota di India yang terdampak krisis Covid-19, kasus melonjak di perkebunan teh. Jutaan pemetik teh tertular karena mereka terpaksa hidup di rumah petak yang sempit dan padat penduduk sehingga susah mencegah penyebaran virus.
Natto adalah salah satu korbannya. Ketika dites positif Covid-19, Natto dan istrinya diminta petugas rumah sakit untuk segera karantina. Tak ada tempat lain untuk karantina keduanya selain gudang kayu di belakang rumah petak mereka.
Selama 15 hari, Natto dan istrinya bersembunyi di gudang kayu di dalam kawasan perkebunan teh itu. Mereka memilih tinggal di gudang karena rumah petak mereka sempit. Hanya ada dua kamar yang harus dibagi dengan dua anak remaja mereka. ”Kami mengubah gudang untuk menyimpan kayu saat gas untuk memasak habis ini jadi kamar isolasi,” kata Natto.
Untuk menyediakan makanan dan minuman, hanya anak perempuan dan laki-laki mereka yang membantu. Tak satu pun tetangga mau membantu karena takut tertular. Masalahnya, persediaan makanan mereka menipis. Begitu pula uang tabungan mereka.
Penambahan kasus baru harian India dilaporkan menurun sejak 11 April lalu. Tetapi, jumlah kasus baru masih terus bertambah di daerah-daerah timur dan utara yang dikenal sebagai kawasan perkebunan teh penyuplai sebagian besar teh dunia. Kementerian Kesehatan India menyebutkan, sejak awal pandemi ada 28 juta kasus Covid-19 dan 329.100 orang di antaranya tewas.
Menurut data pemerintah, sedikitnya 3,5 juta pemetik teh bekerja di seluruh perkebunan teh di India. Ribuan pekerja di antaranya saat ini tengah menjalani karantina di rumah petak yang sempit dan padat. Mereka kesulitan mendapatkan makanan, minuman, air bersih, dan bantuan lainnya. Khusus di Benggala Barat, terdapat lebih dari 4.500 kasus Covid-19 di 300 dari 800 perkebunan teh milik negara.
Tiga kali lipat
Kasus-kasus Covid-19 di perkebunan teh di daerah tetangga Assam itu meningkat tiga kali lipat selama 10 hari terakhir. Lebih dari 6.000 pemetik teh dan anggota keluarganya positif Covid-19.
”Situasi ini mengkhawatirkan,” kata Presiden Persatuan Tarai Sangrami Cha Shramik Abhijit Mazumdar, mewakili para pemetik teh di Benggala Barat.
Mereka tidak mendapatkan fasilitas apapun. Tidak juga dirawat di pusat-pusat karantina yang layak dan memadai. Tidak ada dokter dan tidak ada juga apotek. Para pemetik teh harus berjuang sendirian menghadapi Covid-19. Kasus- kasus bertambah terus dan mereka yang positif Covid-19 terjebak di rumah bersama keluarganya. Mereka pasrah.
India merupakan penghasil teh terbesar kedua di dunia. Industri teh di negara itu selama ini dituduh mengeksploitasi para pekerjanya dengan mempekerjakan mereka dengan jam kerja panjang, upah rendah, layanan kesehatan minim, dan pemukiman tidak layak. Mereka bahkan harus bekerja tanpa henti ketika musim panen tiba. Kelompok-kelompok pejuang hak buruh mengatakan, persoalan- persoalan semacam itu yang membuat perkebunan teh dan pemukiman pekerja menjadi rentan Covid-19.
”Perkebunan teh itu terisolasi. Seharusnya di setiap perkebunan teh tersedia segala fasilitas yang dibutuhkan pekerja yang tinggal di lokasi itu. Tetapi kenyataannya, mereka terabaikan,” kata Mazumdar.
Kelompok industri teh, Asosiasi Teh India, menyatakan selama ini telah mendorong perkebunan-perkebunan teh untuk memastikan seluruh pekerja dan anggota keluarganya mendapatkan vaksin di lokasi masing-masing.
”Kami juga ingin memastikan semua pekerja aman. Semua pekerja harus dites, pusat-pusat sanitasi dan perawatan Covid-19 juga harus ada. Kami berhasil menekan penyebaran, tetapi tak mudah,” kata Sekjen Asosisasi Teh India Arijit Raha.
Meski demikian, di perkebunan teh yang sulit terjangkau itu para pemetik teh mengaku mereka tidak memiliki akses pada fasilitas karantina. Mereka khawatir, virus akan menulari keluarganya. ”Ada setidaknya tiga generasi yang tinggal di rumah petak dengan dua kamar, kerap kali kondisi rumahnya juga bobrok, dan hanya ada satu kamar mandi,” kata Victor Basu, pendiri badan amal yang memperjuangkan hak pekerja teh, Dooars Jagron.
Situasi seperti ini akan bisa menjadi bencana. Apalagi, rumah sakit di perkebunan teh tidak berfungsi. Jika tempat-tempat aman untuk karantina tidak segera dibuat, pandemi dikhawatirkan akan bisa menyebar dengan cepat bagaikan kobaran api yang liar. Gangaran Teli (39), satpam perkebunan di Banarhat, Distrik Jalpaiguri, Benggala Barat, mengkhawatirkan persediaan air bersih bagi para pekerja. Hanya ada satu kran air untuk empat rumah.
”Bagi keluarga yang terdampak, mengakses air bersih atau membeli keperluan sehari-hari itu sangat sulit. Sebagian dari kami mengumpulkan uang untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga yang sakit,” ujarnya.
Natto sudah sembuh, tetapi selama beberapa hari terakhir kehidupan mereka semakin susah. Uang tabungan mereka habis terpakai untuk membeli bahan makanan selama karantina tiga pekan.
”Saya sudah merasa sehat, tetapi belum boleh keluar rumah selama beberapa hari lagi,” kata Natto, yang mendapat upah sekitar 96 dollar AS (sekitar Rp 1,3 juta) per bulan dan hanya mendapat empat hari cuti sakit yang dibayar.
”Kami perlu makanan dan saya harus punya pulsa untuk menelepon dokter atau minta bantuan ke siapa pun. Saya harus kembali bekerja. Tidak ada jalan lain,” kata Natto. (THOMSON REUTERS FOUNDATION)