Hamas Terbuka untuk Pertukaran Tawanan dengan Israel
Kelompok Hamas siap untuk saling bertukar tawanan dengan militer Israel. Namun, Hamas menolak jika pertukaran tawanan itu dijadikan syarat untuk rekonstruksi Gaza.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
GAZA, SELASA — Kelompok Hamas siap berunding dengan militer Israel untuk bertukar tawanan melalui sebuah perundingan tidak langsung dan cepat. Mereka juga membuka peluang untuk pembicaraan tentang rekonstruksi dan penghentian blokade Gaza yang telah berlangsung selama lebih dari satu dekade oleh Pemerintah Israel.
Pernyataan itu disampaikan pemimpin sayap politik Hamas di Jalur Gaza, Yahya Sinwar, di sela-sela kunjungan Kepala Intelijen Mesir Abbas Kamel, Senin (31/5/2021). Kamel bekerja untuk memperkuat gencatan senjata yang ditengahi Kairo antara Israel dan Hamas yang mulai berlaku pada 21 Mei setelah 11 hari tembakan roket militan Palestina dan serangan udara Israel.
”Sekarang ada peluang nyata untuk meneruskan hal ini. Kami siap untuk bernegosiasi tidak langsung, mendesak dan cepat untuk menyelesaikan hal ini,” kata Sinwar.
Seorang pejabat Hamas, yang tidak mau disebut namanya, mengatakan, pembicaraan Gaza difokuskan pada tiga poin: mengubah gencatan senjata menjadi gencatan senjata jangka panjang, pertukaran tahanan, dan rekonstruksi Gaza.
Sinwar mengatakan, Hamas tidak keberatan untuk membicarakan rekonstruksi dan pengepungan atau blokade Gaza yang telah berlangsung lebih dari satu dekade dengan Israel selama pembicaraan itu bergerak maju dan paralel dengan perundingan soal pertukaran tahanan. Sebaliknya, Hamas, menurut Sinwar, akan menolak jika para pihak mengaitkan pertukaran tahanan dengan dua subyek pembicaraan itu.
”Kami dengan tegas menolak kaitan di antara kedua aspek ini,” katanya.
Sejak Perang Gaza tahun 2014, Hamas diyakini menahan jenazah dua tentara Israel, yaitu Oron Shaul dan Hadar Goldin. Walau begitu, Hamas tidak pernah mengonfirmasi kematian mereka.
Pemerintah Israel juga meyakini Hamas menahan dua warga Israel yang memasuki Gaza sendirian. Keluarganya menyatakan mereka memiliki masalah kesehatan mental. Permasalahan ini juga disinggung oleh Menteri Luar Negeri Israel Gabi Ashkenazi saat bertemu koleganya di Kairo.
Sementara itu, Israel menahan lebih dari 5.000 warga Palestina di penjara-penjara mereka.
Dikutip dari laman Times of Israel, pertukaran tahanan besar terakhir antara Palestina dan Israel terjadi pada tahun 2011. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu saat itu mengizinkan pembebasan 1.027 tawanan Palestina dengan imbalan tentara Israel, Gilad Shalit, yang ditawan kelompok Hamas.
Salah satu tahanan yang dibebaskan dalam pertukaran itu adalah Sinwar, yang dihukum seumur hidup di penjara Israel karena pembunuhan. Namun, peran kunci Sinwar membuatnya dibebaskan. Salah satu negosiator Israel saat itu mengatakan, Sinwar adalah pengambil keputusan. ”Atas kehendak (Sinwar), akan ada kesepakatan, dan atas kehendaknya, tidak akan ada kesepakatan,” kata salah satu perunding Israel saat itu.
Tidak jelas berapa banyak tahanan yang akan diminta Hamas untuk ditukar dengan dua warga yang masih hidup dan jenazah dua tentara Israel. Sinwar mengindikasikan kepada sejumlah jurnalis untuk menuliskan angka 1.111 tanpa menjelaskan apa yang dimaksud.
”Anda akan mengingatnya dengan baik (di masa mendatang),” kata Sinwar.
Solusi jangka panjang
Mesir terus memperkuat upaya diplomasinya dengan beberapa negara di kawasan untuk memperkuat gencatan senjata di Palestina-Israel. Menlu Mesir Sameh Shoukry, dikutip dari laman media Mesir, Al-Ahram, berbicara dengan Menlu Jordania Ayman al-Safadi, Senin (31/5/2021), untuk mencari jalan dimulainya kembali perundingan Palestina-Israel berdasarkan solusi dua negara.
Selain itu, Mesir juga dilaporkan telah mengundang Israel, Hamas, dan Otoritas Palestina untuk merundingkan soal gencatan senjata jangka panjang di Kairo.
Khalil al-Hayya, wakil Sinwar, mengatakan, mereka akan meminta Israel menghentikan agresinya di Gaza, Jerusalem, Sheikh Jarrah, dan seluruh wilayah Palestina.
”Keputusan internasional telah dibuat untuk mendukung negara Palestina dan pengungsi dan sebagainya. Ini harus dilaksanakan. Hanya dengan begitu bisa tenang dan stabilitas kembali,” kata Al-Hayya. (AFP)