Banyak Anak, Banyak Rezeki? Keraguan atas Kebijakan 3 Anak di China
Banyak faktor menyebabkan warga China, terutama yang tinggal di daerah perkotaan, kini tak mau menambah atau bahkan tak mau memiliki anak.
Perubahan kebijakan Pemerintah China untuk memperbolehkan setiap keluarga memiliki hingga tiga anak tidak akan lantas membuat masyarakat setempat mau serta-merta menambah anak. Ada banyak faktor yang membuat warga China, terutama yang tinggal di daerah perkotaan, kini tak mau menambah atau bahkan tak mau memiliki anak.
Salah satunya karena faktor ekonomi. Tak hanya biaya berbagai macam perawatan anak atau biaya pendidikan anak, tetapi juga harga beli atau sewa rumah dan biaya hidup di perkotaan yang semakin mahal.
Sikap skeptis pada perubahan kebijakan pemerintah di China itu beredar di media-media sosial, antara lain di Weibo. Ada pandangan, toh ”kebijakan dua anak” yang dibuat pemerintah pun tak terlihat hasilnya.
Baca juga : Kebijakan Tiga Anak Isyaratkan Masalah Demografis yang Serius
Hasil rapat Politburo yang dipimpin Presiden China Xi Jinping, Senin lalu, menyebutkan bahwa untuk mendorong kebijakan baru ini, pemerintah akan menurunkan biaya pendidikan, meningkatkan pajak, memberikan bantuan perumahan, dan menjamin keberpihakan hukum pada perempuan yang bekerja.
Langkah-langkah ini semua dilakukan demi mendorong tingkat kelahiran. Partai Komunis China (PKC) membuat keputusan tersebut setelah data sensus setiap 10 tahun sekali, bulan lalu, menunjukkan populasi China yang menua dengan cepat dan penurunan tingkat kelahiran. Tingkat pertumbuhan populasi tercatat paling lambat sejak 1950-an. China—yang dikenal sebagai negara berpenduduk paling banyak di dunia, yakni 1,4 miliar jiwa—rupanya mulai menunjukkan jumlah populasi yang menyusut.
Tren ini membuat otoritas khawatir, China akan bisa tua sebelum menjadi kaya. Kantor berita China, Xinhua, menyebutkan perubahan kebijakan besar-besaran ini akan mencakup langkah-langkah pendukung yang kondusif untuk meningkatkan struktur penduduk.
Baca juga : Populasi Menua, Beban Pensiun China Menggelembung
”Saya tidak paham maksud pemerintah dengan langkah-langkah pendukung itu. Jelaskan saja dulu,” kata salah seorang pengguna aplikasi Weibo yang mendapat dukungan dari 128.000 orang.
Biaya tinggi
Para pengguna media sosial China mengaku orang semakin enggan menambah atau memiliki anak karena biaya membesarkan anak di daerah perkotaan tinggi. Harga rumah semakin mahal, biaya pendidikan tambahan, seperti kursus, pun mahal. Padahal, mau tak mau anak harus ikut kursus atau les tambahan karena persaingan yang ketat di dunia pendidikan.
Bukan hanya itu persoalannya. Laporan hasil penelitian Institut Peterson untuk Ekonomi Internasional, tahun lalu, menyebutkan posisi perempuan di China saat ini tak mudah karena menghadapi kesenjangan jender, terutama dalam partisipasi di dunia kerja dan pendapatan. Padahal, perempuan juga harus ikut mencari nafkah demi anak sejak pemerintah tidak lagi memberikan bantuan terkait kebutuhan anak.
”Perempuan yang bekerja di kota besar akan semakin terdiskriminasi dan kian sulit mencari kerja, terutama yang berusia di atas 30 tahun,” kata salah satu pengguna Weibo.
Kepala Ekonom di Standard Chartered di Hong Kong Shuang Ding menilai sebenarnya arah pemerintah dengan kebijakan baru ini sudah benar. Hanya saja, seharusnya dilakukan paling tidak sejak lima tahun lalu.
”Sudah terlambat kalau baru mulai sekarang. Tetapi, ya sudah, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali,” ujarnya.
Baca juga : Potret China yang Dibayangi Perlambatan Populasi
Guru Besar Sekolah Ekonomi di Peking University dan pendiri perusahaan raksasa perjalanan online Trip.com Group, James Liang, bulan lalu pernah mendorong pemerintah agar memberikan setiap orangtua uang sebesar 1 miliar yuan untuk setiap kelahiran anak. Itu jika mau meningkatkan tingkat kelahiran anak 1,3 anak per perempuan.
Tingkat kelahiran tersebut akan sama dengan negara-negara lain, seperti Jepang dan Italia. Itu pun masih jauh di bawah angka 2,1 anak per perempuan yang harus dipenuhi jika mau mengatasi ketertinggalan.
Liang juga mengatakan, pemerintah harus mengeluarkan anggaran sekitar 5 persen dari produk domestik bruto (PDB) dalam bentuk uang tunai, keringanan pajak, subsidi perumahan, penitipan anak, dan insentif lain agar bisa meraih tingkat kesuburan hingga sekitar 1,6 anak per perempuan. Negara-negara maju biasanya mengeluarkan anggaran 1-4 persen dari PDB untuk rencana seperti itu.
Baca juga : China Hadapi Perubahan Demografi
”Sebenarnya yang paling penting itu subsidi biaya perumahan, khususnya di kota besar. Jika pemerintah daerah bisa mengembalikan pajak tanah atau memberi diskon pada pasangan yang memiliki 2-3 anak, hal itu akan bisa membantu,” kata Liang.
Sosiolog di NYU Shanghai, Yifei Li, juga menilai, selain kebutuhan primer, kebutuhan sekunder dan tersier pun terus meningkat. Tidak akan mudah membuat masyarakat mau memperbesar keluarganya karena kebutuhan yang juga bertambah.
Baca juga : Asia Hadapi Masalah Populasi yang Menua
Zhang Xinyu (30), ibu satu anak di Zhengzhou, Provinsi Henan, menambahkan, bukan perempuan tidak mau memiliki anak lagi, tetapi masalahnya di China sekarang adalah perempuanlah yang lebih banyak harus menanggung beban tanggung jawab membesarkan anak. ”Kalau saja laki-laki bisa membesarkan anak atau jika keluarga bisa membantu perempuan, pasti banyak yang mau punya anak lagi,” ujarnya.
Ditilik dari sejarahnya, China memberlakukan kebijakan satu anak pada tahun 1979 karena khawatir akan terjadi ledakan penduduk tak terkendali. Kebijakan itu berhasil menahan pertumbuhan penduduk, tetapi juga membuat warga harus melakukan sterilisasi dan aborsi. Ketidakseimbangan jumlah penduduk laki-laki dan perempuan kemudian terjadi karena rupanya banyak orangtua yang lebih memilih memiliki anak laki-laki ketimbang perempuan.
Baca juga : Membangun Warga Lansia
Hasil studi yang dilakukan para akademisi di Hangzhou University, awal tahun ini, menunjukkan kebijakan dua anak mendorong pasangan kaya yang sudah memiliki anak memberikan pendidikan dan perawatan yang terbaik untuk anaknya, dan biasanya ini berbiaya tinggi. Ini membuat pasangan muda khawatir dan merasa tidak bisa memberikan yang terbaik untuk anaknya, lalu memilih untuk tidak memiliki atau menambah anak.
Arti keluarga
Ketika China menghapus ”kebijakan satu anak” pada 2016, memang ada peningkatan jumlah kelahiran. Akan tetapi, hal itu tak lama karena langsung turun tajam lantaran biaya yang terus meningkat.
Ilmuwan di University of Wisconsin dan pengkritik kebijakan kelahiran China, Yi Fuxian, menilai kebijakan satu anak China yang berlangsung selama bertahun-tahun itu telanjur membentuk perilaku ”malas” memiliki atau menambah anak.
Baca juga : Rencana China Hapus Kebijakan Satu Anak
Berkaca dari pengalaman Jepang, kebijakan memberikan perawatan dan pendidikan anak gratis, subsidi perumahan untuk pasangan muda, dan perawatan medis gratis untuk anak terbukti membantu meningkatkan angka kesuburan dari 1,26 pada 2005 menjadi 1,45 pada 2015 dan hanya pernah turun menjadi 1,35 pada 2019.
”Masalahnya, di China, hanya punya satu anak atau tidak memiliki anak telanjur menjadi norma sosial,” kata Fuxian.
Media yang dikelola Partai Komunis China, The Global Times, mengakui bahwa sulit memiliki tiga anak di kota-kota besar. Namun, faktor ekonomi bukan satu-satunya penyebab. ”Mengubah pandangan masyarakat tentang nilai-nilai anak dan keluarga juga penting. Perlu dibangkitkan harapan baru dan pandangan baru mengenai arti kebahagiaan,” sebut media itu dalam editorialnya.
Dan, yang tak kalah penting juga, anak-anak muda juga perlu diedukasi mengenai arti cinta dan pernikahan. (REUTERS)