Milisi Sayap NIIS Serang Pengungsi di RD Kongo, Puluhan Orang Tewas
Serangan dilakukan kelompok radikal yang berafiliasi dengan NIIS, yang secara historis terlibat serangkaian pembantaian dalam 18 bulan terakhir ini di RD Kongo.
Oleh
Pascal S Bin Saju
·3 menit baca
KINSHASA, SENIN — Pejabat di Kinshasa, ibu kota Republik Demokratik Kongo, Afrika Tengah, Senin (31/5/2021) siang waktu setempat atau Senin malam WIB, melaporkan, sedikitnya 50 orang tewas dalam serangan di bagian timur negara itu. Serangan yang menarget kamp pengungsi tersebut diduga dilakukan oleh milisi yang berafiliasi dengan Negara Islam di Irak dan Suriah atau NIIS.
Wilayah Republik Demokratik (RD) Kongo timur saat ini sedang dilanda bencana alam letusan gunung api Nyiragongo. Gunung yang meletus sejak 22 Mei itu telah menyebabkan lebih dari 420.000 orang mengungsi ke tenda-tenda darurat di tempat yang relatif aman dari aliran material vulkanik.
Kelompok Kivu Security Tracker (KST) melaporkan, jumlah korban yang dilaporkan tersebut masih bersifat sementara. Besar kemungkinan jumlah korban akan bertambah. Kivu adalah nama wilayah yang meliputi dua provinsi (Kivu Utara dan Kivu Selatan) paling bergolak dan pusat kekerasan etnis di RD Kongo.
Menurut KST, dari sekitar 50 korban tewas itu, 28 orang tewas di Boga dan 22 orang lagi korban kekerasan di Tchabi. Dua desa itu berjarak sekitar 10 kilometer, tetapi terletak di wilayah Kivu yang selama bertahun-tahun menjadi pusaran pergolakan etnis dan titik serangan Pasukan Demokratik Sekutu atau Allied Democratic Forces (ADF).
Seorang pemimpin masyarakat sipil setempat mengaitkan serangan itu dengan ADF, kelompok Islamis yang secara historis disalahkan atas serangkaian pembantaian dalam 18 bulan terakhir. Dua pejabat lokal di Boga mengatakan, serangan menyasar sebuah kamp pengungsian. Sejauh ini 36 korban tewas telah ditemukan di Boga, tetapi angka ini belum dikonfirmasi secara independen.
KST, sebuah lembaga swadaya masyarakat ternama di wilayah itu, yang memantau kekerasan di RD Kongo timur, mengatakan, istri seorang pemimpin tradisional di Benyali-Tchabi tewas dalam serangan di Tchabi.
ADF beranggotakan 122 militan bersenjata yang beroperasi di wilayah kaya mineral di RD Kongo timur. Mereka umumnya terlibat perang regional dari tahun 1996 hingga 2003.
Menurut perkiraan KST, hingga akhir pekan lalu, 1.228 warga sipil tewas di wilayah Beni, Provinsi Kivu Utara, sejak November 2019. Saat itu, pasukan RD Kongo memulai operasi militer untuk memecah ADF menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil dan lemah. Namun, perlawanan dari kelompok yang berafiliasi dengan NIIS ini justru tidak kalah sengit.
Jatuhnya korban tewas itu menambah jumlah korban pembunuhan yang diduga dilakukan ADF menjadi sedikitnya 78 orang dalam enam hari terakhir. Tiga serangan lainnya sejak Selasa lalu telah merenggut nyawa 39 orang.
Pada 11 Maret, Amerika Serikat mengatakan ADF terkait dengan NIIS, yang juga dikenal dengan Islamic State. ADF disebut sebagai NIIS-nya RD Kongo atau dalam bahasa Arab disebut Madina at Tauheed Wau Mujahedeen. Presiden RD Kongo Felix Tshisekedi, 6 Mei lalu, mengumumkan pengepungan selama 30 hari di Kivu Utara dan Ituri untuk mengakhiri pertumpahan darah oleh ADF.
Ituri merupakan daerah yang kaya akan sumber daya alam. Namun, wilayah itu mengalami sejumlah pertempuran sengit antara 1999 dan 2007, setelah perebutan kekuasaan di antara pemberontak.
Salah satu konflik besar yang terjadi di Kongo adalah pertempuran di Kolwezi. Pertempuran itu terjadi pada 1978 antara Legiun Asing Perancis yang didukung pasukan Belgia melawan pemberontak yang dibantu oleh personel asing dari Kuba dan Jerman Timur. Tugas pasukan Perancis adalah membebaskan kota Kolwezi yang diduduki pemberontak, sementara pasukan Belgia dikirim untuk mengevakuasi warga, khususnya warga asing, dari kota itu.
Tahun lalu, kekerasan bersenjata di RD Kongo yang menyasar warga sipil berulang setiap pekan dan bahkan terjadi nyaris setiap hari. Sejak awal hingga menjelang akhir 2020, pembunuhan yang, antara lain, dipicu oleh konflik etnis menyebabkan setidaknya 1.300 orang tewas. Selain itu, kekerasan memaksa 400.000 orang mengungsi.
Berulangnya kekerasan yang menyebabkan korban jiwa menandai ketidakberdayaan aparat negara tersebut. (AFP/REUTERS)