Kelompok Etnis di Namibia Tolak Kompensasi Genosida oleh Jerman
Suku Ovaherero dan Nama dari Namibia menolak permintaan maaf Jerman atas genosida yang terjadi kepada nenek moyang mereka. Genosida itu terjadi ketika Namibia masih merupakan wilayah jajahan Kekaisaran Jerman.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
WINDHOEK, JUMAT — Suku bangsa Ovaherero dan Nama dari Namibia menolak permintaan maaf Jerman atas genosida yang terjadi kepada nenek moyang mereka di awal abad ke-20. Mereka juga menolak kesepakatan Pemerintah Namibia dengan Jerman yang akan mengucurkan dana pembangunan nasional negara di selatan benua Afrika itu sebagai kompensasi terhadap kejahatan perang tersebut.
Dilansir dari surat kabar The Namibian pada hari Kamis (28/5/2021), juru bicara Kantor Kepresidenan Namibia, Alfredo Hengari, mengungkapkan pembicaraan mengenai tanggung jawab Jerman terhadap genosida itu telah dilakukan sejak tahun 2016. Setelah sembilan kali pertemuan yang berakhir di tanggal 15 Mei, dicapai kesepakatan bahwa Jerman akan membayar 1,1 miliar euro sebagai kompensasi atas perbuatan mereka pada 1904-1908.
”Dana itu akan dikucurkan selama 30 tahun ke depan dan dipakai untuk program pembangunan nasional Namibia. Menurut rencana, fokus di pendidikan, kesehatan, dan pelatihan kerja,” kata Hengari.
Menurut dia, Presiden Namibia Hage Geingob akan melakukan perjalanan dinas untuk bertemu dengan Otoritas Tradisional Ovaherero (OTA) dan Asosiasi Pemimpin Tradisional Nama (NTLA). Pertemuan ini terpaksa ditunda karena Presiden Geingob saat ini masih dalam isolasi akibat tertular Covid-19.
Juru bicara OTA, Vekuii Rokuro, mengatakan, pihaknya menolak kesepakatan tersebut. Pemerintah Namibia tidak melibatkan perwakilan dari Ovaherero ataupun Nama dalam diskusi dengan Jerman. Genosida atau pembunuhan massal dan sistematis terhadap kelompok etnis tertentu tidak bisa dimaafkan hanya dengan pembayaran uang dari pihak pelaku.
”Kami minta masalah ini diselesaikan melalui pengadilan hak asasi manusia. Kalaupun nanti akan ada kompensasi finansial, harus berdasarkan kesepakatan dengan OTA dan NTLA sebagai pihak yang terdampak, bukan dimasukkan ke dalam program pembangunan nasional karena nanti akan jadi akal-akalan pemerintah menguasai dana tersebut,” ujar Rokuro.
Selain itu, OTA dan NTLA meminta Jerman mengembalikan semua artefak kedua suku yang dicuri dan kini disimpan di museum-museum di Eropa. Mereka juga meminta pemulangan semua tengkorak serta tulang belulang warga Ovaherero dan Nama yang dibawa ke Jerman setelah genosida untuk diteliti.
Genosida pertama
Pembantaian massal ini terjadi ketika Namibia masih merupakan wilayah jajahan Kekaisaran Jerman yang dinamakan Afrika Barat Daya. Jerman berkuasa di wilayah ini pada tahun 1884 sampai dengan 1915. Setelah itu, wilayah Namibia menjadi bagian dari negara Afrika Selatan dan baru menjadi negara merdeka pada 1990.
Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas awal pekan ini akhirnya mengakui bahwa perbuatan Jerman terhadap warga Ovaherero dan Nama adalah genosida. Selama ini, Jerman tidak mau mengategorikan kejahatan perang itu sebagai genosida. Oleh karena itu, genosida ini dinyatakan sebagai yang pertama kali terjadi di abad ke-20, menggantikan holocaust pada Perang Dunia II.
”Genosida ini akan dimasukkan ke dalam kurikulum nasional Jerman tanpa ditutup-tutupi agar generasi mendatang belajar dari sejarah,” ujar Maas.
Pakar kajian genosida dari Universitas Hamburg, Jurgen Zimmener, ketika berbicara dengan harian The Telegraph menjelaskan, pembantaian orang-orang Ovaherero dan Nama terjadi pada 1904-1908. Saat itu, Jenderal Kekaisaran Jerman, Lothar von Trotha ditugasi, menghentikan pemberontakan penduduk lokal.
Setelah membantai para pemberontak, pasukan Von Trotha mengejar warga Ovaherero dan Nama yang tersisa sampai ke Gurun Kalahari. Di sana, para penduduk yang mencakup warga lansia, perempuan, dan anak-anak ini banyak yang tewas akibat kelaparan, kehausan, dan kelelahan.
Mereka yang hidup kemudian ditangkap untuk dimasukkan ke dalam kemah konsentrasi. Salah satu arsitek kemah itu adalah Franz Ritter von Epp yang kemudian membangun kemah konsentrasi pertama untuk warga Yahudi Jerman di Dachau semasa Perang Dunia II.
Di kemah itu juga ada Eugen Fischer, ilmuwan yang turut mengembangkan teori superioritas ras Aria yang menjadi landasan falsafah partai NAZI. Arsip sejarah membuktikan Fischer melakukan berbagai penelitian kejam terhadap para tawanan. Riset dia tidak mengikuti kode etik ilmiah maupun moral sehingga banyak tawanan yang tewas di tangannya. Sama seperti Von Epp, Fischer nanti juga terlibat sebagai pelaku Holocaust terhadap warga Yahudi Jerman.
”Ini bukan sekadar penumpasan pemberontakan, melainkan pembantaian massal yang sistematis. Tujuannya untuk melanggengkan kekuasaan penjajah,” papar Zimmener.
Catatan sejarah mengungkapkan, dari 80.000 penduduk Ovaherero kala itu, 65.000 orang tewas dalam genosida. Adapun untuk kelompok etnis Nama, ada 10.000 jiwa dari 20.000 penduduknya yang kehilangan nyawa akibat perbuatan pemerintah kolonial Kekaisaran Jerman.
Pada tahun 2007, anak cucu Von Trotha datang ke Namibia, yakni kota Omaruru. Di depan para kepala suku Ovaherero, Wolf-Thilo von Trotha selaku perwakilan keluarga besar Von Trotha memohon maaf atas perbuatan kakeknya. Kunjungan keluarga Von Trotha itu bersifat pribadi, bukan bagian dari program rekonsiliasi Jerman maupun Namibia. (AP/Reuters)