Hong Kong menambah hukuman penjara para aktivis prodemokrasi. Mereka didakwa bersalah karena mengumpulkan massa tanpa izin dan bekerja sama dengan pihak asing untuk campur tangan urusan Hong Kong.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
HONG KONG, JUMAT —Taipan media dan aktivis prodemokrasi Hong Kong, Jimmy Lai (73), mendapat hukuman penjara tambahan 14 bulan karena ikut protes antipemerintah pada 1 Oktober 2019. Selain Lai, ada sembilan aktivis yang juga dipidana penjara karena ikut berunjuk rasa bersama ribuan orang untuk memprotes pemberangusan kebebasan politik di Hong Kong. Ke-10 warga Hong Kong itu mengaku bersalah karena mengoordinasi pengumpulan massa tanpa izin.
Lai kini masih menjalani hukuman penjara selama 14 bulan setelah awal tahun ini didakwa bersalah atas kasus yang sama. Pendiri tabloid prodemokrasi The Apple Daily ini juga tengah diselidiki di bawah undang-undang keamanan nasional karena dicurigai bekerja sama dengan pihak asing untuk campur tangan dalam persoalan Hong Kong.
Putusan sidang pengadilan, Jumat (28/5/2021), juga menjatuhkan hukuman penjara 18 bulan masing-masing kepada mantan anggota parlemen Albert Ho dan Leung Kwok-hung, aktivis prodemokrasi Lee Cheuk-yan, serta pemimpin organisasi politik Figo Chan. Tiga aktivis lain, yakni Yeung Sum, Cyd Ho, dan Avery Ng, dipenjara 14 bulan. Sementara hukuman penjara dua aktivis lainnya, Richard Tsoi dan Sin Chung-kai, ditunda.
Beberapa aktivis sudah menjalani masa hukuman penjara mereka yang diputuskan dalam sidang sebelumnya. Selama satu tahun terakhir, China memberangus kebebasan sipil untuk menekan gelombang protes. Otoritas Hong Kong telah menahan dan menghukum sebagian advokat prodemokrasi, termasuk Joshua Wong, pelajar pemimpin protes 2014. Namun, banyak juga yang telah melarikan diri ke luar negeri.
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken meminta otoritas Hong Kong untuk mencabut tuntutan terhadap warga yang mengekspresikan kebebasan berpendapatnya. Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Zhao Lijian, menuding AS mencampuri urusan China yang hendak memperbaiki sistem pemilu di Hong Kong. ”AS tidak peduli pada demokrasi dan hak rakyat Hong Kong, tetapi hanya mau mencampuri politik Hong Kong serta urusan dalam negeri China,” kata Zhao.
Sebelumnya, Kamis, parlemen Hong Kong yang didominasi anggota parlemen pro-China, mengesahkan rancangan undang-undang yang mengurangi jumlah kursi yang dipilih langsung dan menambah jumlah anggota parlemen yang ditunjuk komite yang isinya pun mayoritas pro-China.
Anti-kekerasan
Banyak dari aktivis yang ditahan dan dipenjara telah mengadvokasi anti-kekerasan dan kebebasan selama belasan tahun. Figo Chan (25), misalnya, merupakan tokoh penting dalam Front Hak Asasi Manusia Sipil, koalisi yang mengorganisasi sejumlah unjuk rasa besar yang diikuti ratusan ribu orang pada 2019. Chan menuding para pemimpin Hong Kong gagal memberikan rakyat ruang untuk menyuarakan aspirasi mereka.
”Jika pemerintah mendengarkan aspirasi rakyat sejak awal, rakyat tidak akan menggunakan kekerasan hanya supaya pemerintah mau mendengar,” kata Chan di pengadilan.
Chan tidak takut dipenjara. Bahkan, ia menyatakan penjara akan membuatnya menjadi orang yang lebih baik. ”Lebih baik dipenjara saat saya masih muda. Saya masih bisa olahraga dan melatih otot-otot saya. Saya juga akan banyak membaca dan keluar menjadi orang yang lebih baik,” ujarnya.
Lee Cheuk-yan (63) mengaku tidak takut dan menyesali dirinya dipenjara. Ia mengatakan selama 40 tahun telah ikut berjuang dalam reformasi demokrasi di China. ”Ini demi cinta saya pada negeri,” ujarnya.
China berdalih semua tindak keamanan yang dilakukan di Hong Kong untuk memulihkan stabilitas keamanan wilayah itu. China mengabaikan tuntutan demokrasi para pengunjuk rasa dan bahkan menuduh mereka dihasut oleh pihak asing yang mau merusak China. Negara-negara di Barat menilai China membuyarkan janji bahwa Hong Kong akan bisa mempertahankan kebebasan dan otonomi wilayahnya di bawah kesepakatan ”Satu Negara, Dua Sistem” sebelum Inggris menyerahkan Hong Kong kembali ke China pada 1997. (AFP/AP)