Buruh Indonesia Tak Terima Gaji Bertahun-tahun di Malaysia
Buruh migran Indonesia di Malaysia tidak digaji selama bertahun-tahun. Persoalan klasik yang masih terus berlangsung ini mencerminkan lemahnya perlindungan warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri.
Oleh
kris mada
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur menerima 119 pengaduan soal penahanan gaji sepanjang 2021 saja. Dari seluruh aduan, 46 kasus sudah diselesaikan dengan jumlah pembayaran mencapai Rp 2,9 miliar.
Atase Ketenagakerjaan KBRI Kuala Lumpur Budi Hidayat Laksana mengatakan, penyelesaian pembayaran terbaru dilakukan untuk dua pekerja migran asal Nusa Tenggara Timur. Mereka tidak menerima gaji masing-masing selama tujuh tahun dan sembilan tahun. ”Tidak ada toleransi untuk pemberi kerja dan agen penyalur yang tidak membayar gaji,” ujarnya, Jumat (28/5/2021), di Kuala Lumpur.
KBRI Kuala Lumpur membantu dua pekerja NTT itu mendapatkan masing-masing 77.180 ringgit dan 80.000 ringgit. Setelah mendapat gaji, mereka pulang ke kampung. ”Masih banyak kasus sejenis sedang ditangani,” ujarnya.
Saat ini, KBRI Kuala Lumpur tengah mendampingi 73 pekerja migran yang tidak menerima gaji. Pada 2020, KBRI Kuala Lumpur menangani 69 aduan dengan nilai tagihan mencapai Rp 2,2 miliar. ”Dibandingkan 2020, ada peningkatan signifikan pada jumlah aduan dan nilai gaji yang bisa diselesaikan. Ini menggambarkan pelanggaran hak pekerja masih amat besar dan terus terjadi,” kata Budi.
Ia khawatir, jumlah kasus sesungguhnya lebih besar. Sebab, KBRI Kuala Lumpur hanya dapat mendampingi pekerja apabila ada aduan. Sementara sebagian pekerja tidak mengadukan persoalan mereka karena berbagai alasan. Salah satunya, pemberi kerja membatasi akses komunikasi. Ini terutama terjadi pada pekerja domestik. Berkali-kali terungkap ada pekerja migran Indonesia dianiaya dan tidak digaji dalam jangka panjang.
Sayangnya, pekerja tersebut tidak bisa mengadu ke siapa-siapa karena akses komunikasi dibatasi. Bahkan, kerap kali pekerja tidak bisa berkomunikasi dengan keluarga.
Budi mengatakan, sejumlah upaya sudah dilakukan untuk mencegah pelanggaraan hak dan penganiayaan pekerja terjadi. Terhadap agen penyalur, diwajibkan untuk terus memantau pekerja yang sudah ditempatkan.
Jika kewajiban itu tidak dilakukan, agen dapat dijatuhi sanksi. Bentuknya bisa teguran hingga larangan merekrut. Pemantauan berkala diperlukan untuk mencegah penganiayaan dan aneka pelanggaran hak pekerja.
KBRI Kuala Lumpur juga menyediakan layanan pengaduan. Siapa pun yang mengetahui dugaan pelanggaran hak pekerja migran Indonesia di Malaysia bisa menyampaikan pengaduan. ”Bisa disampaikan melalui media sosial atau telepon. Pengadu bisa dari Malaysia atau Indonesia,” kata Budi.
Sejauh ini, saluran pengaduan itu menyibak banyaknya kasus pelanggaran hak pekerja Indonesia. Hal ini menjadi salah satu penyebab pemerintah menangguhkan pengiriman pekerja migran, khususnya sektor domestik.
Penangguhan pengiriman pekerja migran sebenarnya sudah terjadi sejak 2016. Sebab, Jakarta-Kuala Lumpur sedang merundingkan kesepakatan soal perekrutan dan perlindungan pekerja migran Indonesia di Malaysia.
Indonesia meminta perekrutan hanya boleh melalui satu jalur yang disahkan Pemerintah Malaysia. Hal itu untuk memudahkan pengawasan dan perlindungan terhadap pekerja. Sementara Kuala Lumpur meminta Jakarta memastikan pekerja migran yang ke Malaysia berangkat melalui jalur resmi.
Indonesia-Malaysia memiliki data berbeda soal jumlah pekerja migran Indonesia di Malaysia. Versi Indonesia, pekerja migran Indonesia berjumlah 1,3 juta orang. Sementara Malaysia menaksir sedikitnya 4 juta orang. Selisih lebih dari 2 juta orang itu terjadi, antara lain, karena banyak pekerja masuk ke Malaysia secara ilegal.
Di tengah pandemi Covid-19, Malaysia mengizinkan mayoritas pekerja ilegal pulang dengan penghapusan sebagian sanksi. Alih-alih dipenjara dan membayar denda besar, pelanggar hanya membayar sedikit denda. (*)