Jumlah kematian di Jepang akibat bunuh diri lebih tinggi ketimbang akibat Covid-19. Karena itu, Jepang berupaya menekan angka bunuh diri.
Oleh
kris mada
·3 menit baca
Sepanjang tahun 2020, jumlah kematian di Jepang akibat Covid-19 lebih rendah dibandingkan dengan jumlah orang yang bunuh diri. Hal yang lebih mencemaskan, jumlah bunuh diri di kalangan pelajar meningkat tajam. Pemerintah dan masyarakat Jepang berupaya bersama-sama mengatasi fenomena itu.
Dalam pengumuman yang dirilis pada Februari 2021, sebanyak 20.919 warga Jepang meninggal karena bunuh diri sepanjang 2020. Pada periode yang sama, pandemi Covid-19 menewaskan 3.460 orang di Jepang.
”Kenaikan (jumlah) bunuh diri di Jepang sangat mencolok. Covid-19 jelas menjadi salah satu faktor. Sulit menyangkal, jumlahnya akan meningkat tahun ini,” kata Michiko Ueda, peneliti kasus bunuh diri di Waseda University, Tokyo.
Di kalangan pelajar dan pemuda, jumlah bunuh diri tercatat 499 orang atau yang tertinggi sejak 1980. Dibandingkan dengan 2019, jumlah pemuda dan pelajar yang bunuh diri naik 140 persen.
Bagi pemuda dan pelajar, pandemi Covid-19 meningkatkan kecemasan dan kesepian sekaligus. ”Mereka cemas akan masa depan. Mereka tidak tahu harus melakukan apa. Dulu bisa melepaskan ketegangan dengan berbicara kepada teman. Sekarang, ke karaoke saja tidak bisa,” kata Akiko Mura, konselor di Pusat Bunuh Diri Tokyo.
”Banyak penelitian menunjukkan, usia remaja adalah periode puncak masalah penyakit mental,” jelas Tsukasa Sasaki, pakar kesehatan mental pada University of Tokyo, kepada Kyodonews, Kamis (27/5/2021).
Penanganan
Jepang melakukan berbagai cara untuk mengidentifikasi penyebab dan menekan angka kasus bunuh diri. Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga menunjuk Tetsushi Sakamoto menjadi menteri yang mengurusi cara warga mengatasi kesepian. Seperti direkomendasikan sejumlah pihak, kesepian merupakan salah satu penyebab warga Jepang bunuh diri.
Langkah lain adalah memasukkan lagi pendidikan soal kesehatan mental bagi pelajar SMA. Pelajaran itu dihapus dari kurikulum Jepang pada 1982.
Dalam buku pelajaran SMA Jepang mulai tahun 2022, akan dibahas tentang pencegahan dan pemulihan dari gangguan kejiwaan. Para pelajar akan mempelajari tentang penyakit jiwa, termasuk mengenali siapa saja yang rawan terkena penyakit jiwa.
Mereka juga akan diajari bahwa ada peluang penyembuhan jika penyakit jiwa segera diketahui. Sejumlah tokoh yang pulih dari masalah kejiwaan akan dijadikan contoh dalam buku tersebut. Pengalaman mereka memulihkan diri juga akan dimasukkan dalam buku pelajaran.
”Penyebaran pengetahuan soal itu amat penting,” kata Sasaki.
Selain kepada pelajar, menurut Sasaki, pengetahuan soal kesehatan mental juga disebarkan kepada guru dan pegawai sekolah. Penyebaran pengetahuan itu akan membantu sekolah membuka kesempatan lebih besar untuk membantu pelajar yang membutuhkan konsultasi.
Salah satu yang dilibatkan adalah Emiko Michigami, perawat di SMA Soka Higashi yang terletak di Saitama, sekitar 30 kilometer barat laut Tokyo. Selama tugasnya, Michigami terus berusaha mencari cara mengajarkan soal penyakit dan masalah kejiwaan kepada pelajar di sekolahnya. Ia menemukan bahwa masalah mental kerap hadir jika ada gangguan pada ritme kehidupan sehari-hari.
Michigami adalah salah seorang yang dilibatkan dalam persiapan pendidikan masalah kejiwaan di Jepang. Sejak enam tahun lalu, ia mulai membuka kelas soal pendidikan kejiwaan untuk pelajar di sekolah. Tidak semua pelajar ikut. Sejauh ini, hanya 320 orang hadir di kelas tambahan yang diselenggarakan Michigami.
Inisiatif Michigami adalah salah satu contoh upaya warga menangani isu bunuh diri. Mahasiswa Keio University, Koki Ozora, juga berinisiatif untuk menangani isu itu. Ozora memang tidak fokus ke soal bunuh diri, tetapi soal kesepian yang menjadi salah satu penyebab bunuh diri.
Bagi Ozora, kesempatan berbicara secara bebas tanpa harus malu bisa menghilangkan rasa kesepian. Karena itu, ia membuat forum perbincangan dunia maya yang dinamai Anata no Ibasho atau ”Tempat untukmu”.
Pengguna forum itu tetap anonim kala mengungkapkan apa saja isi kepalanya. Ada sukarelawan yang membantu menjadi pendengar. Sebagian sukarelawan itu merupakan pakar, sebagian lagi adalah orang biasa yang mau mendengar keluh kesah para pelajar dan pemuda lewat forum tersebut. Pelantar buatan Ozora melayani 42.000 konsultasi sepanjang 2020. (AFP)