Menakar Langkah AS Era Biden Menangani Konflik Palestina-Israel
Pemerintahan Presiden AS Joe Biden pekan ini mengintensifkan diplomasinya dalam menangani konflik Palestina-Israel. Seriuskah AS berupaya menangani isu itu, setidaknya mendorong lagi perundingan damai Timur Tengah?
Amerika Serikat dan Inggris serentak mendatangi Palestina dan Israel untuk mencegah agar konflik terbuka tidak meletus lagi di sana. Walakin, sulit mengharapkan konflik akan segera usai dalam waktu dekat. Sebab, banyak sekali tantangan untuk bisa menuntaskan konflik sepenuhnya.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken dan Menlu Inggris Dominic Raab datang bergantian. Blinken tiba pada Selasa (25/5/2021), sementara Raab tiba pada Rabu.
Pernyataan resmi London menyebut kunjungan Raab untuk mendorong penyelesaian konflik Palestina-Israel dan mempertahankan gencatan senjata. Seperti Blinken, Raab dijadwalkan menemui para pejabat Palestina dan Israel.
Baca juga : AS: Jangan Sulut Lagi Api Konflik Palestina-Israel
Dalam lawatannya, Blinken bertemu dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Menlu Israel Gabi Ashkenazi, Presiden Palestina Mahmoud Abbas, dan sejumlah tokoh Palestina. ”Kami menyambut gencatan senjata terus berlanjut. Walakin, itu tidak cukup. Kita harus memanfaatkan gencatan senjata dan mencoba ke arah yang lebih positif,” kata Blinken setelah bertemu Abbas di Ramallah.
Dari Ramallah, Blinken bertolak ke Mesir dan Jordania. Mesir berperan penting dalam proses gencatan senjata pekan lalu. Sementara Jordania menjadi pengelola kawasan Masjid Al Aqsa dan sebagian Kota Tua Jerusalem. “Kami berkomitmen pada status quo Haram al Sharif,” kata Blinken menggunakan nama kompleks suci di Kota Tua Jerusalem dalam bahasa Arab.
Penggunaan istilah itu bisa menjadi tanda perubahan kebijakan AS terkait Palestina. Di masa pemerintahan Donald Trump, AS mengejutkan dunia karena mengakui seluruh Jerusalem, termasuk kawasan Kota Tua, sebagai ibu kota Israel. Trump juga memberikan lebih dari separuh Tepi Barat kepada Israel.
Menurut resolusi PBB nomor 181 tahun 1947 dan resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB nomor 242 tahun 1967, Jerusalem mempunyai status terpisah. Pada 1947, PBB mengusulkan Jerusalem menjadi wilayah internasional yang tidak dikelola negara mana pun. Selepas perang 1967, DK PBB menyebut Jerusalem dibagi dua untuk Israel dan Palestina dan seluruh Tepi Barat milik Palestina.
Baca juga : Pastikan Gencatan Senjata Israel-Palestina Langgeng
Pemerintahan Biden juga kembali mengucurkan dana untuk bantuan kemanusiaan Palestina. Selepas Perang 11 Hari antara faksi-faksi Palestina di Jalur Gaza, terutama Hamas, dan Israel, Biden menjanjikan dana tambahan untuk pemulihan Gaza.
Selain AS dan Inggris, kekuatan regional dan internasional lain juga mulai mendorong dibentuknya pemerintah persatuan nasional antara Hamas dan Fatah di Palestina. Selain untuk lebih memudahkan dalam menjaga gencatan senjata dan memulai proyek pembangunan kembali Jalur Gaza, hal itu juga untuk memulai lagi perundingan Palestina-Israel.
PBB, Uni Eropa, Rusia, Mesir, Jordania, dan Qatar segera terlibat dalam koordinasi untuk pembentukan pemerintah persatuan nasional Palestina. Qatar dan Mesir akan menggunakan pengaruhnya untuk menekan para tokoh Hamas. Adapun PBB, Uni Eropa, Rusia, Mesir, dan Jordania akan membujuk Abbas, pemimpin Fatah yang juga Presiden Palestina. Jerman dan Perancis kini juga mulai mempelajari upaya membuka komunikasi dengan Hamas.
Faktor perubahan AS
AS sendiri diharapkan mampu membujuk Israel. Perubahan kebijakan AS soal Palestina tidak lepas dari dasar kebijakan AS pada era Biden dan kondisi politik AS saat ini. Semasa menjadi peneliti di Carnigie Endowment for International Peace, Jake Sullivan dan rekannya merekomendasikan politik luar negeri harus melayani kepentingan kelas menengah. Sebab, mereka populasi terbanyak dan karenanya menjadi sumber suara terbesar di pemilu. Kini, Sullivan menjadi Penasihat Keamanan Nasional yang ikut berperan membentuk kebijakan luar negeri AS.
Sementara dalam pemilu 2020, kubu progresif dan pemuda menjadi salah satu kunci kemenangan Biden. Di sisi lain, kubu progresif juga cenderung lebih simpatik terhadap Palestina karena alasan kemanusiaan. Laporan lembaga HAM Israel, B’Tselem, dan Human Rights Watch mengeluarkan laporan terpisah tentang praktik apartheid Israel.
Dukungan kepada Palestina juga ditunjukkan di parlemen AS. Senator progresif dari Demokrat, Elizabeth Warner dan Bernie Sanders, menunjukkan dukungan kepada Palestina. Demikian pula sejumlah anggota DPR AS dari Demokrat.
Baca juga : Blinken Memulai Kunjungan ke Jerusalem dan Ramallah
Di komunitas Yahudi AS pun ada dukungan pada perdamaian Palestina-Israel karena alasan kemanusiaan. Dalam jajak pendapat Pew Research Center pada 2019-2020 ditemukan, mayoritas pemilih muda Yahudi mendukung Demokrat. Adapun pemilih Yahudi berusia di atas 64 tahun, yang jumlahnya terus menurun, cenderung mendukung Republikan.
Sejumlah pemuda Yahudi di AS juga ikut dalam unjuk rasa menentang apartheid di Israel.
Salah satu contoh Yahudi muda yang mendukung Palestina adalah Emily Wilder. Perempuan itu baru saja diberhentikan kantor berita Associated Press setelah kelompok Yahudi garis keras memprotes dukungan Wilder kepada Palestina. Wilder menunjukkan dukungan selama masa kuliah.
Sejumlah pemuda Yahudi di AS juga ikut dalam unjuk rasa menentang apartheid di Israel. Meski mendukung negara Israel, mereka menolak kekerasan dan diskriminasi yang ditunjukkan Israel selama bertahun-tahun.
Di tengah penguatan dukungan, Perang 11 Hari meletus. Kondisi itu memaksa Biden kembali fokus pada masalah Palestina. Pada awal masa pemerintahannya, Biden berniat lebih fokus ke Asia Pasifik karena faktor China. Kini, ia terpaksa kembali menangani isu Palestina. Blinken sampai terpaksa membatalkan pertemuan virtual dengan para menlu ASEAN gara-gara harus mengurus isu Palestina.
Pertemuan dengan para menlu ASEAN sudah disiapkan jauh-jauh hari dan direncanakan pada 25 Mei lalu. Ternyata, Blinken mendadak harus ke Palestina. Pada jam pertemuan, Blinken tengah di udara sehingga tidak mungkin mengikuti pertemuan virtual. Sejumlah diplomat senior ASEAN kecewa walau memahami pilihan kebijakan Biden dan Blinken. Apalagi, isu Palestina juga penting bagi trio anggota ASEAN, Indonesia-Malaysia-Brunei Darussalam.
Belum ada jaminan
Meski demikian, belum ada jaminan Blinken bisa membawa resolusi konflik Palestina-Israel. Diplomat berusia 59 tahun itu hanya bisa mengelola potensi konflik dan mencegah perang terbuka kembali meletus.
Keengganan AS melibatkan Hamas juga menjadi masalah. Legitimasi Fatah yang mengendalikan pemerintahan Palestina semakin menurun, apalagi setelah pemilu 2021 mendadak ditunda. Warga menginginkan pemerintahan persatuan yang melibatkan Hamas, Fatah, dan semua faksi di Palestina.
Baca juga : Mesir-Jordania Mulai Galang Upaya Perundingan Damai Palestina-Israel
Di Israel, hambatannya adalah ketiadaan pemerintahan definitif sejak 2018. Ketiadaan pemerintahan definitif sejak November 2018 membuat Israel tidak bisa mengambil keputusan penting, seperti terkait solusi dua negara. Padahal, Biden berkali-kali menekankan solusi dua negara bisa menyelesaikan masalah Palestina.
Dalam konferensi pers di Jerusalem, Selasa (25/5/2021), misalnya, Blinken menegaskan, Washington mendukung solusi dua negara untuk menyelesaikan konflik Palestina-Israel jika persyaratan untuk itu bisa dipenuhi para pihak bertikai.
”Pada akhirnya, ada kemungkinan untuk melanjutkan upaya mencapai solusi dua negara, yang terus kami yakini satu-satunya cara untuk benar-benar menjamin masa depan Israel sebagai negara Yahudi dan demokratis. Dan, tentu saja memberi rakyat Palestina sebuah negara yang menjadi hak mereka,” katanya.
Blinken, dalam pertemuannya dengan Menteri Pertahanan Israel Benny Gantz, juga menekankan perlunya Israel dan Palestina untuk hidup dalam keselamatan, keamanan, serta menikmati kebebasan, keamanan, kemakmuran, dan demokrasi yang setara. Pernyataan ini dianggap sebagai sinyal perubahan kebijakan Gedung Putih terhadap Palestina pada era pemerintahan Biden.
Namun, masalah lain, seperti terungkap dalam jajak pendapat oleh Palestinian Center for Policy and Survey Research di Ramallah dan Evens Program in Mediation and Conflict Management dari Tel Aviv University pada 2019, menunjukkan hasil mencemaskan. Hanya 43 persen warga Palestina dan 42 persen warga Israel mendukung solusi dua negara.
Selain itu, kelompok kanan di Israel terus menguat. Berbagai pihak ragu kelompok kanan Israel mau menerima solusi dua negara. Para pendukung kelompok kanan Israel berkali-kali menyerang warga Palestina di Tepi Barat dan warga komunitas Arab di wilayah Israel.
Selain itu, muncul pandangan skeptis terhadap kunjungan lawatan Blinken ke Timur Tengah. Direktur Pusat Studi Timur Tengah Universitas Oklahoma Joshua Landis, seperti dikutip dari laman Al Jazeera, menilai kunjungan Blinken tidak lebih untuk menyenangkan anggota Partai Demokrat AS, partai pendukung Biden, yang menekan pemerintahannya untuk segera bersikap dan membantu rakyat Palestina.
”Blinken dan pemerintahan Biden tidak memiliki jawaban untuk menyelesaikan konflik Palestina-Israel. Mereka hanya ingin agar tidak terjebak dalam apa yang mereka anggap sebagai sebuah misi yang mustahil,” kata Landis.
Ia menyebut upaya-upaya seperti ini akan terus berulang paling tidak selama empat tahun pemerintahan Biden dan Partai Demokrat di Gedung Putih. (AFP/REUTERS/MTH/MHD)