Hampir sepekan gencatan senjata di Jalur Gaza berjalan, dunia ingin melihat Palestina-Israel menempa perdamaian lebih permanen. Tak mudah, tetapi harus diupayakan.
Oleh
REDAKSI
·1 menit baca
Dari mana harus memulai upaya perdamaian itu? Inilah pertanyaan utama, sekaligus mungkin paling rumit, yang menyita pikiran pihak-pihak di kawasan Timur Tengah ataupun internasional saat ini. Meskipun bukan jawaban yang dimaksud oleh pertanyaan tersebut, gencatan senjata antara faksi-faksi Palestina di Jalur Gaza, terutama Hamas, dan Israel pada pekan lalu bisa menjadi titik tolak awal.
Jatuhnya korban jiwa lebih dari 250 orang, sebagian besar adalah orang Palestina, dan hancurnya beberapa infrastruktur dalam 11 hari Perang Gaza itu sudah cukup menjadi pengingat bahwa konfrontasi bersenjata tidak akan menyelesaikan konflik. Kubu Hamas ataupun Israel sama-sama mengklaim sebagai pemenang dalam perang 11 hari. Namun, akar persoalan konflik—seperti yang berulang kali ditegaskan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Retno LP Marsudi—yaitu penjajahan Israel atas bangsa Palestina, belum terselesaikan.
Dalam sepekan terakhir ini, bersamaan dengan rekonstruksi dan rehabilitasi di Jalur Gaza mulai berlangsung, negara kekuatan regional dan internasional menggerakkan mesin diplomasinya. Perwakilan dari Amerika Serikat (AS), Mesir, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Uni Eropa (UE), Rusia, Jordania, dan Qatar mengintensifkan komunikasi dan bertemu pihak terkait, termasuk Palestina dan Israel. Tiga hari ini, misalnya, Menlu AS Antony Blinken, maraton bertandang ke Israel, Mesir, dan Jordania.
Seperti diberitakan, PBB, UE, Rusia, Mesir, Jordania, dan Qatar juga berkoordinasi dalam upaya pembentukan pemerintah persatuan nasional Palestina, beranggotakan faksi-faksi di Palestina, terutama faksi terbesar Fatah dan Hamas. Seolah ada pembagian tugas, Qatar dan Mesir menggunakan pengaruhnya untuk menekan Hamas. PBB, UE, Rusia, Mesir, dan Jordania membujuk pemimpin Fatah yang juga Presiden Palestina Mahmoud Abbas. Adapun AS, mitra dan pelindung Israel, diharapkan melunakkan pemerintahan kanan Perdana Menteri (PM) Netanyahu yang saat ini cenderung ingin mengelola konflik, bukan mencari solusi atas konflik.
Komunitas internasional ingin melihat upaya diplomasi mereka membuahkan hasil konkret perundingan damai Palestina-Israel. Terakhir kali perundingan damai itu digelar pada 2013-2014, dirintis Menlu AS John Kerry, tetapi bubar setelah berlangsung selama sembilan bulan. Blinken, penerus Kerry dari pemerintahan Demokrat di AS, serta aktor regional dan internasional lain, ingin menghidupkan perundingan itu.
Tentu, butuh situasi kondusif di lapangan, yakni setidaknya terjaganya gencatan senjata, selama diplomasi berlangsung. Hal-hal yang bisa memantik api konfrontasi bersenjata, seperti pelanggaran atas penghormatan kompleks tanah suci di Jerusalem, penggusuran warga Palestina dari rumah dan tanahnya, serta praktik lain penindasan orang Palestina, harus dicegah. Apa hasil diplomasi mereka, kita tunggu.