Para peneliti mulai melirik obat untuk mengatasi Covid-19, selain vaksinasi. Obat semacam pil ini dinilai lebih praktis dan mudah didistribusikan dibandingkan vaksin yang sampai saat ini masih menghadapi banyak kendala.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
Pasti semua sepakat, mencegah memang lebih baik ketimbang mengobati. Pada kasus pandemi Covid-19, langkah preventifnya tak hanya wajib menjaga protokol kesehatan, tetapi juga vaksinasi. Hanya, masih saja ada orang yang belum mendapatkan akses vaksin karena menunggu giliran atau keterbatasan jumlah vaksin. Bahkan, masih banyak juga orang yang memang tidak mau divaksin dengan macam-macam alasan. Ada pula yang sudah divaksin, tetapi belum mampu membentuk sistem kekebalan tubuh terhadap Covid-19.
Untuk mengatasi itu, banyak perusahaan farmasi atau produsen obat-obatan dan vaksin yang kini tengah mencoba membuat obat Covid-19 berbentuk pil yang dikonsumsi setelah seseorang dipastikan positif Covid-19. Pil itu diharapkan akan mampu mencegah virus korona baru berdampak lebih parah dan menjadikannya setidaknya seperti influenza.
Sejumlah perusahaan tengah mengembangkan apa yang disebut dengan antivirus oral yang akan meniru apa yang digunakan Tamiflu sebagai obat influenza. ”Sudah bagus sekali kita punya vaksin yang signifikan. Namun, bisa jadi tidak semua orang mau divaksin. Dan, tidak semua orang yang sudah divaksin akan merasakan keampuhannya,” kata pakar penyakit menular di Northwell Health di New York, Amerika Serikat, David Hirschwerk.
Obat berbentuk pil yang mudah disimpan dan diangkut juga dinilai akan lebih praktis ketimbang perawatan yang ada saat ini seperti antibodi monoklonal yang disuntikkan. Perusahaan farmasi Merck bekerja sama dengan Ridgeback Biotherapeutics tengah memelopori upaya ini dengan mengembangkan obat yang dikonsumsi dua kali sehari yang disebut Molnupiravir.
Hasil uji coba tahap kedua mereka menunjukkan, dari puluhan sukarelawan yang awalnya dites positif Covid-19, tidak satu pun dari mereka yang mendapat obat itu terdeteksi memiliki virus pada hari kelima. Sementara seperempat dari mereka yang mendapat plasebo terdeteksi memiliki virus. Jumlah ini menjanjikan, tetapi terlalu sedikit untuk bisa dibuat kesimpulan yang pasti. Agar lebih pasti, kini tengah dilakukan uji tahap ketiga yang melibatkan 1.850 sukarelawan.
”Virus-virus pada dasarnya seperti mesin-mesin kecil dan mereka membutuhkan komponen-komponen tertentu untuk mereplikasi diri. Obat antivirus ini didesain untuk menghalangi proses itu,” kata pemimpin para peneliti di Merck, Daria Hazuda.
Molnupiravir termasuk dalam kelas antivirus yang disebut ”inhibitor polimerase” yang bekerja dengan menyasar enzim yang dibutuhkan virus untuk menyalin materi genetiknya dan menyebabkan mutasi yang membuat mereka tidak dapat bereplikasi. Antibodi menyasar permukaan protein virus Covid-19 yang terus berkembang dan antivirus diharapkan akan lebih tahan terhadap varian-varian Covid-19.
Untuk saat ini baru ada satu antivirus yang disetujui oleh Badan Pangan dan Obat-obatan Amerika Serikat untuk menangani Covid-19, yakni Remdesivir yang dibuat oleh Gilead Sciences. Remdesivir ini seperti Molnupiravir, tetapi cara kerjanya sedikit berbeda. Keuntungan terbesar Remdesivir adalah obat itu dikembangkan sebagai obat intravena atau obat yang dimasukkan langsung ke dalam pembuluh darah dengan menggunakan jarum atau tabung dan diperuntukkan bagi pasien Covid-19 yang dirawat di rumah sakit. Khasiatnya, mempercepat pemulihan.
Namun, ketika Covid-19 kemudian berkembang menjadi semakin parah, sistem kekebalan pasien bekerja berlebihan dan malah bersifat merusak, bahkan merusak organ mereka dan tidak mereplikasi virus. Dengan alasan ini, fokus produksi obat-obatan untuk Covid-19 tertuju pada formulasi obat oral yang bisa dikonsumsi dalam beberapa hari setelah infeksi.
Selain Merck, akan ada beberapa perusahaan lain yang memproduksi obat serupa. Misalnya, Roche dan Atea yang sudah mulai menguji 1.400 pasien untuk mempelajari inhibitor polimerase oral mereka sendiri, AT-527.
”Obat ini sampai sejauh ini terbukti manjur. Saya pikir setelah pandemi, kita akan memasuki Covid-19 tahapan endemik,” kata pendiri dan CEO Atea, Jean-Pierre Sommadossi, yang berharap perusahaannya akan bisa memasukkan otoritasi obatnya pada akhir tahun dan meluncurkan obat itu pada 2022.
Pfizer, yang telah mengembangkan salah satu vaksin pandemi, kini juga mulai membuat obat oral, PF-07321332, yang diuji pertama kali pada manusia, Maret 2020. Proses Pfizer agak tertinggal dibandingkan yang lain karena obat yang termasuk dalam kelas yang disebut ”protease inhibitor” itu dirancang khusus untuk melawan virus SARS-CoV-2. Enzim protease bertindak seperti gunting molekuler yang akan memotong rantai protein yang panjang menjadi potongan-potongan kecil yang kemudian dipasang kembali sebagai bagian dari replikasi virus.
Kepala Desain Obat-obatan untuk Pfizer Charlotte Allerton berharap akan memperluas studi tahap akhir pada pertengahan tahun ini. Semua produsen obat-obatan juga berencana mempelajari obat-obatan mereka untuk penggunaan preventif di antara orang-orang terdekat atau orang yang pernah berkontak dengan mereka yang terinfeksi Covid-19.
Obat antivirus yang tengah dikembangkan itu sudah menunjukkan bukti efektivitas di studi-studi laboratorium terhadap tipe-tipe Covid-19 yang lain, sebagian di antaranya tipe yang menyebabkan penyakit serius, seperti SARS dan MERS, dan sebagian lagi menyebabkan flu.
”Jika obat ini terbukti aman dan efektif, akan bisa digunakan secara meluas,” kata Hazuda. (AFP)