Suriah Gelar Pemilu Presiden di Tengah Tudingan Rekayasa
Pemerintah Suriah menggelar pemilihan umum presiden pertama sejak krisis keamanan melanda negeri itu pada 2011. Negara Barat menuding petahana melakukan rekayasa untuk melanggengkan kekuasaannya.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
DAMASKUS, RABU — Pemerintah Suriah tetap bersikukuh menggelar pemilihan umum presiden di tengah tudingan bahwa coblosan telah direkayasa untuk memastikan kemenangan petahana, Presiden Bassar al-Assad. Apabila menang, petahana akan menjalankan pemerintahannya untuk periode keempat. Oposisi mencemaskan sistem otoriter yang ia praktikkan selama ini tidak akan memberikan perubahan ataupun mendatangkan demokrasi ke negara yang telah mengalami konflik panjang itu. Ia menjabat sebagai presiden sejak tahun 2000 menggantikan ayahnya, Hafez Assad, yang dulu menjabat sebagai presiden selama 30 tahun.
Dalam kantor berita Syrian Arab News Agency (SANA), Menteri Dalam Negeri Suriah Mohammad Rahmoun mengatakan, pemilihan umum (pemilu) berlangsung pada Rabu (26/5/2021) dimulai pukul 07.00 waktu setempat. Dari 23 juta penduduk Suriah, ia memperkirakan 18 juta orang akan mencoblos di 12.102 tempat pemungutan suara (TPS) yang tersebar di sejumlah wilayah.
Sementara itu, Menteri Informasi Suriah Imad Sarah mengatakan, warga negara Suriah yang tinggal di luar negeri telah mendatangi kedutaan-kedutaan besar Suriah untuk melakukan pencoblosan. Ia tidak memberikan keterangan jumlah warga yang tinggal di luar negeri.
Akan tetapi, sejumlah media arus utama oposisi Pemerintah Suriah ataupun media Barat menduga warga yang meninggalkan Suriah karena tidak mendukung Assad tidak akan ikut mencoblos. Sementara TPS-TPS diklaim diletakkan di kantong-kantong suara Assad.
Salah seorang warga, Hayat al-Rhaibani dari kota Douma, mengaku senang dengan adanya pemilu ini. ”Hampir sepuluh tahun tidak ada pemilu. Setidaknya saya bisa menggunakan hak pilih,” tuturnya tanpa memberi tahu kandidat yang ia coblos.
Pemilu ini adalah yang pertama kali sejak 2011. Sebab, sejak tahun itu, Suriah mengalami krisis politik dan keamanan.
Ini berawal pada Maret 2011, saat terjadi kekerasan oleh aparat terhadap pengunjuk rasa yang menggugat rezim otoriter. Konflik pun bereskalasi menjadi perang saudara berkepanjangan hingga menewaskan 388.000 orang. Ini adalah data pemerintah. Sementara sejumlah lembaga hak asasi manusia memperkirakan korban tewas jauh lebih banyak, yakni mencapai setengah juta jiwa. Adapun 5 juta warga Suriah terpaksa mengungsi ke sejumlah negara.
Dewan Demokrasi Suriah (SDC) dalam pernyataan di situs resmi mereka menyatakan menolak pemilu yang tidak sesuai dengan Resolusi 2254 Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pemilu itu bukan praktik demokrasi yang sebenarnya karena dua calon lain, Abdullah Salloum Abdullah dan Mahmoud Ahmad Marie, adalah mantan pejabat Pemerintah Suriah yang tidak dikenal oleh publik. Mereka dipasang dengan tujuan memenangkan Assad.
Sejalan dengan itu, Pemerintah Suriah dianggap menempatkan TPS hanya di lokasi yang memang warganya pro pemerintah. Provinsi Daraa dan Sweida di selatan Suriah yang dikuasai oleh pemerintah tetap mendapat protes dari warga yang menolak ikut mencoblos. Bahkan, di wilayah timur laut dan barat laut yang dikuasai pemberontak Kurdi sama sekali tidak ada TPS.
SDC mengungkapkan bahwa 80 persen rakyat Suriah hidup di bawah garis kemiskinan. Pemerintahan Assad terkenal korup dan tidak memiliki kebijakan pemberdayaan rakyat. Mereka juga dinilai gagal menangani pandemi Covid-19 dan menghabiskan biaya besar untuk kampanye pemilu ini.
Di Jordania, para pengungsi yang melarikan diri dari Suriah pada 2011 mengaku sedih dengan pemilu tersebut. ”Kami berharap demokrasi bisa datang ke Suriah. Setelah satu dekade rasanya sukar untuk percaya pada impian itu karena rakyat Suriah sendiri tampaknya tidak mau dengan demokrasi,” kata Laha Shahin, seorang pengusaha.
Sejumlah negara juga menentang pemilu Suriah 2021. Mayoritas adalah negara Barat, seperti Amerika Serikat, Perancis, Inggris, Italia, dan Jerman. Dari pihak Asia, Turki turut mengecam pemilu tersebut. Adapun pendukung pemilu Suriah adalah Iran, Rusia, dan negara-negara blok Arab. (AP/AFP/Reuters/DNE)