Berakhirnya perang Gaza menjadi momentum memulai kembali perundingan Palestina-Israel. Upaya itu diharapkan menghasilkan solusi yang adil dan komprehensif bagi Palestina.
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN (KAIRO), MAHDI MUHAMMAD (JAKARTA)
·4 menit baca
AFP/AHMAD GHARABLI
Warga Palestina mengibarkan bendera Palestina saat menghadiri pemakaman Mohammad Kiwan, remaja Palestina berusia 17 tahun, yang tewas akibat tembakan tentara Israel pekan lalu, di kota Umm al-Fahm, Israel utara, 20 Mei 2021.
KAIRO, KOMPAS — Perang Gaza selama 11 hari (10-20/5/2021) melahirkan realitas baru dalam bentuk kesadaran masyarakat internasional tentang mendesaknya dimulai kembali perundingan damai Palestina-Israel. Mesir, yang berperan besar dalam gencatan senjata pekan lalu, aktif berkomunikasi dengan kekuatan regional dan internasional guna menghidupkan proses perdamaian Timur Tengah untuk solusi adil dan menyeluruh atas isu Palestina.
Terakhir, perundingan Palestina-Israel digelar pada 2013-2014 di bawah inisiatif Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry. Perundingan itu gagal.
Presiden Mesir Abdel Fatah el-Sisi, seperti dikutip Al Ahram, Sabtu (22/5/2021), menegaskan, Mesir berharap bisa bekerja sama dengan AS guna menghidupkan lagi proses perdamaian Timur Tengah untuk mencari solusi yang adil dan menyeluruh atas isu Palestina. Melalui solusi dua negara, diharapkan berdiri negara Palestina di atas tanah tahun 1967 dengan ibu kota di Jerusalem Timur.
Perang Gaza antara faksi-faksi Palestina di Jalur Gaza, terutama Hamas, dan Israel berakhir pada Jumat (21/5/2021) dini hari melalui kesepakatan gencatan senjata. Kementerian Kesehatan Palestina, Minggu, merilis laporan bahwa perang itu telah mengakibatkan 248 orang tewas, di antaranya 66 anak kecil, 39 perempuan, dan 17 orang lansia, serta 2.000 orang luka-luka. Sekitar 17.000 rumah rusak dengan kondisi hancur total dan kerusakan berat atau ringan.
Di pihak Israel, 12 orang tewas, termasuk seorang anak- anak dan seorang tentara, serta sedikitnya 336 orang dirawat.
Sejak Jumat sore, dua tim diplomat Mesir berangkat ke Israel dan Gaza bertemu dengan para pengambil kebijakan di kedua pihak untuk memastikan agar situasi keamanan terus terjaga dalam jangka panjang. Di Palestina, tim mediator Mesir berbicara dengan Presiden Palestina Mahmoud Abbas dan para tokoh Hamas.
Kompas
Menteri Luar Negeri Mesir Sameh Shoukry (kanan) bertemu dengan pejabat organisasi Fatah, Azzam Al-Ahmad, di kantor Kementerian Luar Negeri Mesir di Kairo, Kamis (20/5/2021).
Seorang diplomat Mesir yang mengetahui keberangkatan tim mediator itu mengatakan, salah satu isu yang dibicarakan adalah persoalan kekerasan di Masjid Al Aqsa dan rencana penggusuran warga Palestina dari Distrik Sheikh Jarrah.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken juga akan mengunjungi Israel, wilayah Palestina, Jordania, dan Mesir mulai Rabu (26/5/2021). Departemen Luar Negeri AS menyebutkan, misi lawatan Blinken itu guna memperkuat terjaganya gencatan senjata, membahas mekanisme pelaksanaan pembangunan kembali Jalur Gaza, dan menghidupkan lagi perundingan damai Palestina-Israel.
Menlu Mesir Sameh Shoukry mengungkapkan, tidak tertutup kemungkinan Mesir menawarkan menjadi tuan rumah perundingan damai Palestina-Israel. Perang Gaza, kata Shoukry, menyadarkan ”kepentingan kita semua adalah segera mencapai solusi adil dan menyeluruh atas isu Palestina”.
Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Josep Borrell juga mendesak Palestina dan Israel kembali ke meja perundingan, melanjutkan pembicaraan mengenai solusi dua negara yang mendapat persetujuan dunia internasional.
Desakan pada perundingan damai antara Palestina dan Israel juga disampaikan Ayman Odeh, pemimpin partai utama Arab di Knesset (parlemen Israel). ”Ada dua kelompok manusia di sini. Keduanya berhak atas hak untuk menentukan nasib mereka sendiri,” katanya.
Sementara Menlu Israel Gabi Ashkenazi mengatakan, setiap upaya menuju perdamaian abadi di wilayah itu harus mencakup jaminan masalah keamanan dan kebijakan yang prinsipil.
Penyatuan Hamas-Fatah
Terkait internal Palestina, seperti dilansir harian berbahasa Arab, Asharq al-Awsat, Minggu (23/5/2021), kekuatan regional dan internasional mulai mendorong dibentuknya pemerintah persatuan nasional antara Hamas dan Fatah di Palestina. Hal ini dimaksudkan untuk lebih memudahkan dalam menjaga gencatan senjata, memulai proyek pembangunan kembali Jalur Gaza, serta memulai lagi perundingan Palestina-Israel.
Hamas dan Fatah dilansir secara prinsip menyambut baik aspirasi regional dan internasional tersebut. Mereka bersedia membuka perundingan bagi pembentukan pemerintah persatuan nasional Palestina.
Menurut Asharq al-Awsat, PBB, Uni Eropa, Rusia, Mesir, Jordania, dan Qatar segera terlibat dalam koordinasi untuk pembentukan pemerintah persatuan nasional Palestina. Qatar dan Mesir akan menggunakan pengaruhnya untuk menekan para tokoh Hamas. Adapun PBB, Uni Eropa, Rusia, Mesir, dan Jordania akan membujuk Abbas, pemimpin Fatah yang juga Presiden Palestina.
Jerman dan Perancis kini juga mulai mempelajari upaya membuka komunikasi dengan Hamas. Mengutip pejabat tinggi Eropa, televisi Al Jazeera melaporkan, Jerman dan Perancis mulai melihat Hamas bagian dari solusi Palestina. Karena itu, harus ada komunikasi dengan Hamas, meski secara tidak langsung, lewat Mesir atau Qatar.
Kompas
Pemimpin Hamas, Khalil al-Haya, mengacung tanda V (kemenangan) dengan jari saat warga Palestina di Jalur Gaza merayakan gencatan senjata antara faksi-faksi Palestina dan Israel di Gaza City, Jumat (21/5/2021).
Mantan Dubes AS untuk Israel yang juga mantan Utusan Khusus AS untuk Timur Tengah, Martin Indyk, Sabtu lalu, menyebutkan AS juga melakukan komunikasi tidak langsung dengan Hamas melalui Mesir untuk mencapai gencatan senjata di Jalur Gaza. AS tidak bisa melakukan hubungan langsung dengan Hamas saat ini karena AS menetapkan Hamas sebagai organisasi teroris.
Di New York, AS, sidang Dewan Keamanan PBB, Sabtu lalu, menyerukan Palestina dan Israel agar menghormati gencatan senjata. DK PBB juga menegaskan pentingnya segera terwujud perdamaian menyeluruh atas dasar adanya dua negara demokrasi Israel dan Palestina yang hidup damai berdampingan di lingkup perbatasan yang aman dan diakui. (AP/REUTERS)