Jerusalem, Kota Suci Mikrokosmos Konflik Palestina-Israel
Konflik di Jerusalem tak hanya akibat politik dan lahan, tetapi ada semangat spiritualitas yang dimaknai lebih oleh warganya. Ada kerinduan intrinsik yang tak bisa dijabarkan oleh akal sehat saat membicarakan Jerusalem.

Tangkapan gambar dari video AFPTV ini memperlihatkan sebuah pohon terbakar di dekat bangunan Kubah Batu (Dome of the Rock) di kompleks Masjid Al Aqsa, Jerusalem, menyusul meletusnya bentrokan antara warga Palestina dan polisi Israel.
Berlangsungnya gencatan senjata antara faksi-faksi Palestina di Jalur Gaza, terutama Hamas, dan Israel disambut baik tak hanya oleh warga setempat. Dunia pun demikian, dengan harapan perdamaian akan langgeng di tanah itu. Dari mana pun upaya merintis perdamaian itu dilakukan, banyak kalangan mengingatkan pentingnya posisi Jerusalem.
Secara teori dan spiritual, kota ini suci bagi umat tiga agama: Islam, Kristen, dan Yahudi. Area kota tua terbagi dalam empat bagian, yaitu wilayah Islam, Yahudi, Kristen, dan Armenia. Di daerah ini terdapat situs-situs suci Muslim, Nasrani, dan Yahudi. Sejak lama, berbagai upaya telah dilakukan guna menyelesaikan status Jerusalem, termasuk mendorong wilayah itu sebagai corpus separatum (entitas terpisah) di bawah mandat internasional.
Baca juga: Perjuangan Palestina dari Perang 1948 hingga 2021
Namun, hingga hari ini belum ada titik terang penyelesaian atas isu Jerusalem. Palestina mencita-citakan Jerusalem Timur sebagai ibu kota negara yang tengah mereka perjuangkan. Namun, dengan bantuan pemerintahan AS era Presiden Donald Trump, tahun 2017 Israel mendapat dukungan legitimasi atas klaim keseluruhan Jerusalem sebagai ibu kotanya.
Posisi Jerusalem diakui banyak kalangan sangat sentral dalam konflik Palestina-Israel. Sedemikian sentralnya, sangat penting pula penghormatan posisi kota itu, khususnya kompleks suci yang disebut Al Haram Asy Syarif dalam bahasa Arab atau Bukit Kuil (Temple Mount) bagi umat Yahudi. Serangkaian perang, termasuk baru-baru ini, kerap terkait dengan pelanggaran atas kompleks suci itu.

Pertempuran antara faksi Palestina dan Israel mulai meletus 10 Mei lalu saat Hamas menembakkan roket ke Jerusalem menyusul bentrokan antara warga Palestina dan polisi Israel di Masjid Al Aqsa pada bulan Ramadhan serta rencana Israel menggusur warga Palestina dari rumah mereka di Distrik Sheikh Jarrah, Jerusalem Timur.
Baca juga: Konflik di Sheikh Jarrah, Potret Legalisasi Penggusuran Palestina di Jerusalem Timur
”Jerusalem sesungguhnya adalah mikrokosmos Palestina yang diduduki,” tulis Marwan Bishara, analis politik Al Jazeera. ”Tempat selama puluhan tahun Israel merampas atau menghancurkan tanah, rumah, atau bisnis Palestina demi mendukung imigran Yahudi dan mendekonsentrasi atau mengonsentrasi ulang banyak situs suci Palestina dalam proses Yahudinisasi”.
Jerusalem sesungguhnya adalah mikrokosmos Palestina yang diduduki.
Di tengah konflik, di kalangan warga kecil ada upaya agar orang Arab-Yahudi bisa hidup berdampingan secara damai. Pada Sabtu (22/5/2021), media Times of Israel dan Daily Mail menerbitkan artikel mengenai ginjal milik seorang Yahudi, Yigal Yehoshua, didonorkan kepada seorang perempuan Arab Kristen dari Jerusalem. Yehoshua meninggal dalam usia 56 tahun akibat kerusuhan warga Arab-Israel dan warga Yahudi di kota Lod, Israel. Ia terdaftar sebagai donor organ sehingga keluarga menyumbangkan sejumlah organnya kepada rumah sakit.
Randa Aweis adalah perempuan Arab berusia 58 tahun dan beragama Kristen dari Jerusalem. Setelah menunggu selama tujuh tahun untuk mendapat ginjal, harapannya menyambung hidup akhirnya terkabul. Ginjal Yehoshua dicangkokkan kepada Aweis.
”Seumur hidup saya hidup berdampingan dengan kaum Arab dan Yahudi. Hati saya sedih karena saya bisa tetap hidup, tetapi berkat bantuan seseorang yang tewas dengan cara mengenaskan akibat konflik. Di saat yang bersamaan, ini mengukuhkan hubungan kekeluargaan saya dengan keluarga Yehoshua walaupun kami berbeda keyakinan,” tutur Aweis.

Seorang pemuda Palestina menunjukkan kebolehannya dalam bersalto dalam suasana Idul Fitri di kompleks Masjid Al Aqsa, Jerusalem, Kamis (13/5/2021).
Dikutip dari Jerusalem Post, Ashram Imam dan Abed Halaila, dua dokter di Rumah Sakit Universitas Hadassah yang melakukan operasi pencangkokan ginjal ke Aweis, berharap peristiwa ini bisa menginspirasi masyarakat luas. Menurut keduanya, ini adalah bukti tidak ada dikotomi Arab dan Yahudi karena manusia diwajibkan hidup berdampingan dan saling menolong.
Konflik dan okupasi
Pengembalian Jerusalem sebagai entitas terpisah mungkin bisa menyelesaikan konflik terpendam yang ada di dalam warganya. Selama ini, sejarah menceritakan, banyak periode warga Jerusalem hidup dalam perdamaian semu. Status quo untuk tidak saling mengganggu benar-benar dipraktikkan secara harfiah. Masyarakat hidup terkotak-kotak. Tidak saling mengganggu, tetapi juga minim interaksi.
”Masalahnya berkelindan sekali, mulai dari perebutan lahan, zionisme, hingga kesenjangan ekonomi. Harus ada cara untuk mendiskusikan masalah ini tanpa terseret arus politik Israel, Palestina, ataupun internasional,” kata pakar Timur Tengah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Hamdan Basyar, ketika dihubungi di Jakarta, Jumat (21/5/2021).
Baca juga: Memotret Perjalanan di Jerusalem
Sejarah modern Jerusalem tidak bisa dilepaskan dari konflik dan okupasi. Karen Armstrong dalam bukunya, Jerusalem: Satu Kota, Tiga Agama, menulis bahwa Jerusalem di abad ke-19 berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Utsmaniyah atau Ottoman. Ketika itu, masyarakat Muslim, Kristen, dan Yahudi hidup berdampingan, tetapi tidak ajek.
Aliran-aliran Nasrani seperti Ortodoks, Koptik, Yunani, dan Armenia saling bersaing mencari lokasi prestigius untuk dijadikan tempat ibadah. Di tengah kaum Yahudi ada ketegangan antara Sephardim dan Ashkenazim, serta Hasidim melawan Mitnaggedim. Bahkan, di kalangan Arab Muslim pun terjadi persaingan antara aliran agama, trah keluarga, hingga suku bangsa.

Permukiman di Kota Tua Jerusalem dilihat dari Bukit Zaitun, 24 Desember 2015.
Pada tahun 1917, kekuasaan Utsmaniyah di Jerusalem berakhir akibat munculnya pemberontakan bangsa Arab terhadap wangsa itu yang kemudian melahirkan negara-negara baru seperti Jordania, Suriah, dan Lebanon. Jerusalem diambil alih oleh Inggris dengan janji akan menjaga keharmonisan tiga agama tersebut.
Melalui Gubernur Militer Inggris, Letnan Kolonel Roland Storrs, didirikanlah Pro-Jerusalem Society yang beranggotakan tokoh-tokoh agama dan masyarakat dari ketiga agama. Berbagai pembangunan infrastruktur juga dilakukan, seperti membangun jalanan dan saluran air. Sejumlah upaya untuk mengembangkan industri di kota ini turut dilaksanakan.
Penuh kecurigaan
Meskipun demikian, Armstrong menjabarkan, kependudukan Inggris tetap dipandang dengan penuh kecurigaan, baik oleh kaum Yahudi pribumi, Yahudi Zionis yang baru datang dari Eropa akibat pengusiran besar-besaran (pogrom), Arab Muslim, dan Arab Kristen. Setiap kelompok menduga Inggris bekerja untuk saingan mereka.
Baca juga: Stop Perang, Jangan Tambah Korban
Gerakan zionisme yang terus digaungkan sejak akhir abad ke-19 mengakibatkan semakin banyak diaspora Yahudi yang datang ke Jerusalem dan menempati tempat-tempat yang dulunya wilayah netral atau wilayah umum. Kedatangan mereka juga menuai pro dan kontra di kalangan Yahudi Timur Tengah yang sejak dulu tinggal di Jerusalem dan merasakan ketegangan kian memanas dengan tetangga-tetangga Muslim dan Kristen.
Apalagi, ideologi zionis ini menghasilkan pemikiran baru di kalangan Yahudi yang baru pulang kampung. Akibatnya, terbentuk negara dalam negara karena komunitas Zionis memiliki aturan, sistem pajak, hingga satuan pengamanan sendiri. Di pihak Arab, muncul pula kelompok-kelompok radikal.

Warga Israel mengibarkan bendera Israel dalam pawai perayaan Hari Jerusalem di Jerusalem, 10 Mei 2021.
Armstrong menulis, ketegangan di Jerusalem tidak hanya akibat politik dan lahan, tetapi ada semangat spiritualitas yang menjadikan perebutan wilayah ini dimaknai lebih oleh warganya. ”Terlepas individu tersebut penganut taat agamanya atau tidak, ada kerinduan intrinsik yang tidak bisa dijabarkan oleh akal sehat ketika membicarakan Jerusalem,” tulisnya.
Konflik antaretnis dan antaragama pecah secara sporadis di Jerusalem dari tahun 1920 sampai dengan 1936. Pada 1937, gagasan agar Jerusalem menjadi kota entitas sendiri mulai dibahas. Hal tersebut menjadi kenyataan dengan pengesahan Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 181 Tahun 1947 tentang Rencana Pembagian Palestina. Jerusalem dinyatakan sebagai corpus separatum. Bukan bagian dari Arab ataupun Israel.
Baca juga: Bersatulah Pejuang Palestina
Dua tahun kemudian, yaitu tahun 1949, PBB mengeluarkan Resolusi 303 yang menyatakan pengelolaan Jerusalem dilakukan oleh Dewan Perwalian yang bekerja di bawah pengawasan PBB.
Terlepas individu tersebut penganut taat agamanya atau tidak, ada kerinduan intrinsik yang tidak bisa dijabarkan oleh akal sehat ketika membicarakan Jerusalem.
Masalahnya, pembagian wilayah tersebut tidak disetujui negara-negara Arab. Hal itu disusul dengan perang Arab-Israel pertama tahun 1948. Konflik kian berkecamuk. Terjadi pengusiran warga Palestina secara besar-besaran melalui peristiwa Nakba tahun 1948. Jerusalem pun tidak bisa lolos dari perpecahan. Wilayah sisi timur dihuni oleh kelompok Arab, sedangkan wilayah sisi Barat oleh Yahudi. Kehidupan bak perang dingin pun berlanjut di antara warganya.
Pada 1967 dalam Perang Enam Hari, Israel mengokupasi Jerusalem dengan alasan hendak membuka akses umat Yahudi ke Tembok Ratapan. Aksi ini dikecam dunia, termasuk Amerika Serikat yang biasanya membela Israel.

Foto dokumentasi tanggal 8 Juni 1967 ini memperlihatkan tentara Israel menggeledah para tahanan asal Jordania dalam operasi di Kota Tua Jerusalem setelah kota itu diduduki Israel dalam Perang Enam Hari.
Sejak saat itu, berbagai upaya penggusuran kelompok Arab, Muslim, ataupun Kristen dimulai. Rumah-rumah mereka diambil alih untuk dijadikan permukiman Yahudi. Penggusuran di Sheikh Jarrah menjadi pemicu konflik terakhir Palestina dan Israel.
Hamdan Basyar menjelaskan, apabila pembahasan mengenai kemerdekaan Palestina masih mendatangkan pro dan kontra serta panjang jalannya, pembahasan mengenai pembebasan Jerusalem dari kuasa politik tertentu dan mengembalikan statusnya sebagai corpus separatum bisa disegerakan.
”Ini tidak hanya demi kaum Muslim, Yahudi, Nasrani, dan agama-agama lokal di Jerusalem. Narasi yang harus diangkat adalah Jerusalem sebagai kota suci semua penganut agama samawi di dunia. Jerusalem bukan milik Palestina ataupun Israel. Jerusalem milik dunia,” tuturnya.
Baca juga: Detrumpfikasi dan Solusi Dua Negara
Menurut dia, kunci dari membuat Jerusalem sebagai protektorat global kini di tangan Amerika Serikat. Ketika Donald Trump menjabat sebagai presiden dan mengakui keseluruhan Jerusalem sebagai ibu kota Israel, lalu memindahkan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Jerusalem, dunia melihatnya sebagai preseden lampu hijau bagi Israel mengokupasi Jerusalem. Apalagi, pada tahun 2018 Australia ikut-ikutan melakukan hal serupa.

Pemerintahan AS di bawah Joe Biden memiliki kekuatan untuk menentukan masa depan Jerusalem. Apakah akan menjadi wilayah yang independen dan terbuka bagi peziarah seluruh dunia serta memastikan tidak ada politik apartheid yang menomorduakan masyarakat non-Yahudi, atau tetap menjadi daerah pendudukan Israel dengan risiko kesenjangan akses bagi sebagian besar warganya?
Namun, seperti ditulis wartawan senior Trias Kuncahyono, sudah demikian banyak perundingan tentang Jerusalem, sidang-sidang yang membahas Jerusalem, dan seruan-seruan atau imbauan-imbauan untuk penyelesaian masalah Jerusalem. Namun, membicarakan masalah pembagian Jerusalem atau mungkin lebih tepat penyelesaian status Jerusalem lebih mudah dibandingkan dengan pelaksanaannya (Kompas, 21 Januari 2017).
Meskipun banyak proposal untuk merundingkan masalah Jerusalem, setiap rencana yang disepakati untuk menyelesaikan status Kota Suci itu selalu ditentang oleh para perunding selanjutnya. Pada Perjanjian Oslo (1993) disepakati bahwa Jerusalem menjadi salah satu subyek perundingan akhir permanen antara Israel dan Palestina. Namun, Perdana Menteri Yitzhak Rabin dalam pidatonya di Knesset (Oktober 1995) menyatakan bahwa Jerusalem adalah tetap bersatu di bawah kedaulatan Israel.
Sikap dan pendirian seperti itu, demikian tulis Trias, tentu menjadi penghambat terciptanya perdamaian atau sekurang-kurangnya tercapainya kesepakatan antara Israel dan Palestina. Itu karena sikap Palestina jelas: menjadikan Jerusalem Timur (yang direbut Israel pada Perang 1967) menjadi ibu kota Palestina pada masa depan.
Baca juga: Benang Kusut Konflik Israel Vs Palestina
Trias menjelaskan, pada 15 Februari 2000, Takhta Suci dan PLO memperkenalkan ”Kesepakatan Mendasar” mereka untuk meminta ”Statuta Internasional Terjamin” untuk mempertahankan Jerusalem tetap di bawah kontrol internasional sesuai dengan hukum internasional. Hal-hal yang disoroti antara lain soal kebebasan akses ke tempat-tempat suci dan tempat-tempat ibadah lainnya; kebebasan beragama bagi semua orang, kesamaan hukum bagi tiga agama monolitik, dan institusi-institusinya serta status para pengikutnya.
Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh semua pihak terkait status Jerusalem itu adalah penghormatan, kebebasan akses pada tempat-tempat suci, dan kebebasan beragama bagi semua orang. Jika dilanggar atau dinodai, hal ini tentu bisa kembali memercik api konflik, seperti yang baru-baru ini terjadi.