India kikuk merespons kekerasan di Jalur Gaza baru-baru ini. Di satu sisi, negara itu tengah meningkatkan kerja sama bilateral dengan Israel. Di sisi lain, ada arus aspirasi domestik-global mendukung Palestina.
Oleh
Pascal S Bin Saju
·5 menit baca
Mayoritas negara di dunia mengecam Israel dan mendukung Palestina ketika terjadi baku serang antara militer Israel dan Hamas selama 11 hari yang lalu. Ada juga negara yang mendukung Israel. Namun, India memiliki sikap sedikit berbeda yang memperlihatkan kesulitan diplomasi negara itu dalam mencapai keseimbangan.
Wakil Tetap India di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) TS Tirumurti mencuit pernyataan yang kontroversial di Twitter, 12 Mei 2021. India, katanya, mengecam ”semua tindakan kekerasan, terutama serangan roket dari Gaza”. Beberapa hari berikutnya, menurut India Today (17/5/2021), India mendukung Palestina untuk solusi dua negara dan gencatan senjata Israel-Hamas.
Situs berita Times of India (13/5/2021) menyebutkan, serangan roket Hamas di Gaza yang menewaskan Soumya Shantosh, warga Kerala, India, di Ashkelon, Israel, jadi faktor pemicu Pemerintah India marah kepada Hamas. Di samping itu, mengutip Foreign Policy (18/5/2021), New Delhi-Tel Aviv sedang menikmati hubungan mesra setelah sekian lama India ragu-ragu menjalin hubungan diplomatik dengan Israel.
Dua fakta itu menggarisbawahi bagaimana hubungan kemitraan India-Israel berkembang sejak berakhirnya Perang Dingin. Selama Perang Dingin, India hampir tegas mendukung perjuangan Palestina dan menjaga jarak dengan Israel. Cuitan Tirumurti atas konflik terbaru Palestina-Israel menyiratkan posisi India yang tidak mudah menjalankan diplomasinya di Timur Tengah.
Sejarah mencatat bahwa pada Sidang Umum PBB, November 1947, India menentang pembentukan negara Israel. New Delhi juga amat peka terhadap sentimen populasi pemeluk Islam, agama dengan pengikut terbesar kedua di India setelah Hindu, yang mendukung perjuangan Palestina.
India secara resmi mengakui Israel pada 1950, tetapi menolak untuk menjalin hubungan diplomatik penuh dengan negara baru itu. Meski banyak tawaran menarik dari Israel, semisal dukungan militer untuk India selama perang dengan Pakistan pada 1965 dan 1971, New Delhi tetap bergeming.
Hubungan India-Israel mulai dekat pada akhir 1970-an saat partai Kongres Nasional India (INC) terdepak dari kekuasaan. Namun, ketika kembali ke tampuk kekuasaan pada 1980, INC melanjutkan posisinya untuk menghindari hubungan apa pun dengan Israel.
Setelah Konferensi Madrid 1991, ketika proses perdamaian Palestina-Israel dimulai kembali dan hubungan Israel dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) mencair, India berubah sikap. New Delhi memanfaatkan peluang ini untuk menjalin hubungan diplomatik penuh dengan Israel dan membuka kedutaan besar di Tel Aviv pada Januari 1992.
Sejak saat itu, hubungan India-Israel berkembang baik. Ini tecermin pada intensitas komunikasi pemimpin kedua negara, pembelian senjata, dan kerja sama kontraterorisme. Perdana Menteri (PM) India Narendra Modi dan PM Israel Benjamin Netanyahu, saat ini menikmati hubungan yang erat. Modi menjadi PM India pertama yang mengunjungi Israel pada 2017. Sebagai balasan, Netanyahu berkunjung ke India pada 2018.
Selama perjuangan kemerdekaan di masa penjajahan Inggris, nasionalis India mendukung nasionalis Palestina. Posisi ini membuat India yang baru merdeka (Uni India) dari Inggris pada 15 Agustus 1947 mendukung pembentukan negara federal Palestina yang merdeka di PBB. Namun setelah Israel merdeka pada 1948 yang diikuti konflik Arab-Israel, India sangat berhati-hati dengan berbagai entitas yang menyatakan diri wakil Palestina. India memutuskan untuk tidak mengakui Pemerintah Seluruh Palestina (All-Palestine Government) pada 1948.
Hal itu berubah pada 1970-an ketika India mengembangkan hubungan yang kuat dengan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). India menjadi negara non-Arab pertama yang mengakui PLO sebagai ”satu-satunya perwakilan rakyat Palestina yang sah” pada 1974. Kantor PLO didirikan di New Delhi pada 1975. Hubungan diplomatik penuh dikukuhkan pada Maret 1980. India kembali menjadi negara non-Arab pertama yang mengakui negara Palestina, November 1988.
Namun, pada 2015 dan 2016, India abstain terhadap resolusi yang dimotori Palestina di Dewan Hak Asasi Manusia PBB di Geneva, Swiss. Resolusi itu bertujuan untuk mendorong penyelidikan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) terhadap Israel atas kejahatan perang selama krisis Gaza 2014. Namun, India tetap mendukung PLO dan mempertahankan dukungan diplomatiknya untuk solusi dua negara.
Pada 2017, Perdana Menteri Narendra Modi mengundang Presiden Palestina Mahmoud Abbas ke New Delhi sebelum melakukan perjalanan ke Tel Aviv. Beberapa minggu sebelum kunjungan Netanyahu pada 2018, India juga mendukung pemungutan suara Majelis Umum PBB yang menentang deklarasi sepihak Presiden AS Donald Trump tentang Jerusalem sebagai ibu kota Israel.
New Delhi lalu memutuskan untuk melipatgandakan bantuan pengungsi melalui Badan Pekerjaan dan Pemulihan PBB untuk pengungsi Palestina di Timur Dekat (UNWRA) pada November 2020. Langkah New Delhi ini dipuji dan tetap populer secara luas di kalangan masyarakat India.
Sumit Ganguly (pakar ilmu politik dalam budaya dan peradaban India di Universitas Indiana, AS) dan Nicolas Blarel (pakar hubungan internasional di Institut Ilmu Politik di Universitas Leiden, Belanda), mengatakan, dengan latar belakang itulah pernyataan India tentang kekerasan di Israel dan Tepi Barat baru-baru ini dimengerti. ”Pernyataan itu mencerminkan tindakan penyeimbangan yang rumit,” kata keduanya dalam artikel mereka di Foreign Policy.
Semakin kuatnya hubungan bilateral India-Israel dan dekatnya hubungan pribadi Modi dengan Netanyahu menjadi alasan India mengecam serangan roket Hamas. Namun, New Delhi dengan diplomatis menyebutkan bahwa kecamannya tertuju pada ”semua tindakan kekerasan”.
Sikap India, atau setidaknya pernyataan Tirumurti, terkait konflik terbaru Israel-Palestina menyembunyikan kalkulasi yang rumit tentang tekanan domestik dan internasional yang saling berkaitan. India harus membuat pernyataan yang meyakinkan mitra strategisnya, Israel, tanpa memprovokasi warga India yang pro-Palestina atau sentimen sekutunya di dunia Arab. Perjalanan waktu akan membuktikan apakah India akan bisa mendapatkan keseimbangan yang tepat.