WHO: Korban Mati Akibat Covid-19 Capai 2-3 Kali Lipat dari Laporan
Organisasi Kesehatan Dunia meyakini angka kematian penduduk dunia akibat pandemi Covid-19 lebih besar dua hingga tiga kali lipat dari data yang dilaporkan. Akurasi pendataan menjadi masalah.
Oleh
Mahdi Muhammad
·5 menit baca
GENEVA, JUMAT – Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO memperkirakan angka kematian akibat pandemi Covid-19 di seluruh dunia sesungguhnya berjumlah dua hingga tiga kali lipat dari data yang tercatat. Ini terjadi karena sistem pencatatan warga yang meninggal akibat Covid-19 di banyak negara tidak andal. Akibatnya, tak semua korban meninggal tercatat.
“Kita berhadapan dengan kemungkinan jumlah kematian, langsung atau tidak langsung terkait dengan Covid-19, yang tidak masuk dalam penghitungan.” Demikian pernyataan WHO saat mengeluarkan laporan statistik kesehatan dunia 2020, Kamis (20/5).
Angka kematian akibat pandemi Covid-19 secara global pada 2020, menurut data WHO, adalah 3,4 juta jiwa. Jumlah ini, 1,2 juta lebih banyak dibandingkan rekonsiliasi laporan dari seluruh negara di dunia yang berjumlah 1,8 juta jiwa.
Asisten Direktur Jenderal WHO Bidang Divisi Data dan Analitik, Samira Asma, mengatakan, angka kematian yang lebih besar dari data tercatat bisa terjadi karena peningkatan jumlah kematian di kawasan Amerika Latin dan Asia ketika mutasi virus SARS-CoV-2 menyebar di kedua kawasan itu. Apalagi dalam banyak kasus di banyak negara, warga yang meninggal dunia tidak sempat menjalani tes PCR untuk memastikan penyakit yang dideritanya.
“Jadi, saya pikir, jumlah angka kematian antara enam hingga delapan juta orang bisa menjadi catatan peringatan bagi kita semua,” kata Asma.
Analis Data WHO, William Msemburi, mengatakan, perkiraan lonjakan kematian akibat Covid-19 bisa terjadi karena kematian tidak dilaporkan. Bisa juga akibat kematian tidak langsung karena pasien atau keluarganya tidak mendatangi pusat pelayanan kesehatan, seperti rumah sakit, karena keterbatasan kapasitas. Selain itu, pembatasan gerak juga dinilai turut memiliki andil pada kurangnya pelaporan kematian warga akibat Covid-19.
Hal itu tidak hanya terjadi di negara-negara yang memang memiliki masalah dengan pendataan, tapi bahkan terjadi di negara dengan sistem pelaporan yang relatif andal. WHO mencontohkan Eropa. Kawasan yang relatif baik dalam data itu diperkirakan memiliki tingkat kematian antara 1,1 juta-1,2 juta akibat Covid-19. Angka ini dua kali lipat dari sekitar 600.000 kematian yang tercatat resmi oleh pemerintah di kawasan ini.
Petugas medis memindahkan pasien dengan tandu dari ambulans di Rumah Sakit Coral Gables tempat pasien Corona virus dirawat di Coral Gables dekat Miami, Florida, Kamis (10/12/2020). Berdasarkan data hitungan dari Universitas Johns Hopkins, Amerika Serikat mencatat lebih dari 3.000 kematian akibat Covid-19 dalam 24 jam, tertinggi sejak April. AFP/ CHANDAN KHANNADi Amerika, jumlah kematian diperkirakan mencapai 1,3 juta hingga 1,5 juta jiwa selama tahun 2020. Angka ini 60 persen lebih tinggi dari angka resmi pemerintah AS yang mencapai 900.000 orang.
WHO menyebut statistik itu sebagai perkiraan karena ketidakpastian data yang dilaporkan dari lapangan. Menurut Msemburi, WHO tengah mencari cara untuk menentukan metode terbaik mengidentifikasi kematian akibat Covid-19 yang tidak tercatat oleh pemerintah.
Penularan di Kamp Pengungsi
Sementara itu, Pemerintah Bangladesh memerintahkan karantina ketat pada lima lokasi pengungsi Rohingya yang menampung sekitar 100.000 orang. Ini dilakukan menyusul lonjakan kasus infeksi Covid-19 di lokasi tersebut.
“Penyebaran virus rendah pada awal pandemi. Tapi, lonjakan membuat kami mengambil keputusan ini sebagai langkah pencegahan,” kata Douza, yang bekerja di Komisi Pengungsi, Bantuan dan Pemulangan (RRRC) Pemerintah Bangladesh.
Hampir satu juta pengungsi Rohingya asal Myanmar berada di lokasi pengungsi di wilayah Cox’s Bazaar, Bangladesh. Di lokasi pengungsian yang dinilai sebagai lokasi pengungsian terbesar di dunia itu, petugas kesehatan menemukan peningkatan infeksi yang cukup besar setelah melakukan pengujian secara acak terhadap para pengungsi. Sebanyak 45 dari 247 penghuni lokasi pengungsian diketahui positif terinfeksi Covid-19.
Selama masa penguncian yang mulai berlaku Kamis (20/5), para pengungsi tidak bisa berpindah dari satu lokasi ke lokasi lainnya dan hanya layanan penting yang akan beroperasi. Sejauh ini, dari 41.500 pengungsi yang dites, terdapat 845 kasus Covid-19 dan 13 kematian. Temuan terakhir membuat tenaga kesehatan di lokasi pengungsian bersikap waspada.
Pemerintah Bangladesh berencana memasukkan para pengungsi ke dalam daftar penerima vaksin Covid-19. Namun, program itu terhenti setelah India memutuskan menghentikan ekspor vaksin karena kebutuhan dalam negeri yang meningkat.
Bangladesh seharusnya menerima sekitar 30 juta dosis vaksin AstraZeneca dari India tahun ini. Namun, hingga saat ini, Bangladesh baru menerima 7 juga dosis dan sejauh ini baru bisa menjangkau dua persen warganya dari total 170 juta jiwa.
Virus Korona pada Anjing
Para peneliti kesehatan dari Institut Kesehatan Global Universitas Duke, Amerika Serikat merilis temuan penelitian mereka yang menyatakan virus korona yang semula ditemukan pada hewan peliharaan (anjing) ditemukan pada sekelompok pasien anak-anak yang dirawat di rumah sakit di Malaysia, antara tahun 2017 dan 2018. Pasien anak-anak itu dirujuk ke rumah sakit karena penumonia atau lebih dikenal dengan radang paru-paru.
Temuan Profesor Gregory Grey dan koleganya, Lishan Xiu, seorang mahasiswa-sarjana PhD Cina, yang dirilis Kamis di Clinical Infectious Diseases, menunjukkan virus corona pada anjing ada pada sekelompok pasien anak-anak yang dirawat di rumah sakit karena pneumonia di Malaysia pada 2017 dan 2018.
Menggunakan tes virus korona pan-spesies, tim menggunakan alat ini untuk melakukan tes usap hidung dari para pasien sebuah rumah sakit di Sarawak, Malaysia. Hasilnya, delapan dari 301 sampel memiliki virus yang identik dengan virus korona.
Untuk memperkuat temuannya, tim bekerja sama dengan ahli virologi dari Ohio State University Anastasia Vlasova. Hasil temuannya mengonfirmasi bahwa virus, yang mereka sebut sebagai CcoV-HuPn-2018, sebagian besar berasal dari anjing. Tapi, ada juga komponen berasal dari kucing dan babi.
Gray mengatakan, temuan itu mengonfirmasi virus bermutasi secara konsisten dan beradaptasi untuk bertransmisi di antara manusia. Namun, Gray tidak bisa memastikan berapa lama mutasi ini telah terjadi.
Fakta bahwa tim peneliti menemukan virus korona yang bersumber dari anjing pada manusia, menurut Gray, menunjukkan masalah yang jauh lebih besar. menurutnya, dengan hasil penelitian ini, otoritas kesehatan masing-masing negara bisa melakukan pengawasan kesehatan kepada orang-orang yang bekerja di peternakan atau pembiakan hewan. (Thomson Reuters Foundation/Reuters/AFP)